‘The Conductor’: Perjuangan Perempuan Konduktor Raih Pengakuan Dunia

Film “The Conductor” memotret pengalaman-pengalaman perempuan ketika terjun ke bidang profesi yang masih didominasi laki-laki, tak terkecuali musik.

Di berbagai bidang profesi, perempuan masih menjadi minoritas, termasuk di bidang kesenian seperti musik. Pada tahun 2018, Maria Peters merilis filmnya yang berjudul “The Conductor.” 

Dibintangi oleh Christanne de Bruijn, film ini berkisah tentang Antonia Brico yang merupakan perempuan pertama pemimpin New York Philharmonic, salah satu orkestra terbesar di Amerika Serikat. 

Brico muda—yang tumbuh besar dengan nama Will Wolthuis dari orang tua angkatnya- begitu bergairah terhadap musik opera dan bertekad menjadi seorang konduktor, sebuah pekerjaan yang sangat bergengsi di ranah musik. Sayangnya, bahkan hingga saat ini, konduktor musik opera masih didominasi oleh laki-laki. Antonio Brico pun ditertawakan, dan disebut pemimpi gila, karena dinilai tidak mungkin mencapai cita-cita itu hanya karena ia perempuan.

Film ini memotret pengalaman-pengalaman perempuan ketika terjun ke bidang profesi yang masih didominasi laki-laki,  tak terkecuali musik. Salah satunya, yang mungkin akan menjadi pemicu trauma bagi sebagian penonton, adalah ketika Brico menjadi korban kekerasan seksual dari guru laki-lakinya yang cukup ternama di dunia musik, Mark Goldsmith (Seumas F. Sargent). Padahal, saat itu Brico baru saja diterima di sebuah sekolah musik bergengsi, selepas bersaing dengan banyak laki-laki.

Saat melapor ke polisi, Brico tidak dipercayai karena tidak memiliki saksi. Ia pun terpaksa mundur dari bangku sekolahnya. Pada saat itu, gerakan #MeToo baru mulai bergema pada 2017 pun tak bisa menyelamatkan Brico. Namun, Brico tidak menyerah. Pada akhirnya, ia menemukan caranya sendiri untuk mencapai cita-citanya.

Memilih Jalannya Sendiri

Selain ditertawakan mimpinya, orang-orang juga menyarankan agar Brico segera menikah dan memiliki anak. Pada saat itu, perempuan seolah sudah ditentukan jalan hidupnya oleh keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Perempuan dianggap semestinya menjadi istri dan ibu di rumah.

Tampaknya konsep ibu bekerja masih belum umum di Amerika Serikat dan Eropa tahun 1920-an. Tak peduli seberapapun besar keahlian yang dimiliki seorang perempuan, kondisi patriarki membuat perempuan harus mengubur keahlian mereka selepas menjadi istri dan ibu. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk bekerja dan memiliki gaji yang layak—persoalan yang mungkin masih berlanjut sampai saat ini di berbagai negara.

Apalagi, Brico kemudian berpacaran dengan Frank Thomsen (Benjamin Wainwright), seorang laki-laki yang berasal dari keluarga kaya raya yang juga patriarkis. Alih-alih mendukung kekasihnya, lelaki itu meminta Brico menyerah terhadap mimpinya, pulang ke Amerika Serikat, menikah, dan memiliki anak. Brico pun memilih berpisah dengan laki-laki itu dan lanjut mengejar mimpinya.

Film ini juga ingin menunjukkan kalau apapun yang dipilih perempuan, ia akan menghadapi kesulitan yang lebih banyak dibanding laki-laki. Saat memilih menjadi istri dan anak dengan sepenuhnya berada di rumah, perempuan seperti istri Goldsmith menjadi satu-satunya pihak yang menyelesaikan kerja-kerja domestik: memastikan rumah tetap bersih, memasak, dan mengurus anak-anak. Patriarki membuat kerja-kerja mereka tak tercatat, disepelekan, dan dianggap tak bernilai. Sampai sekarang, kita bisa melihat bagaimana kerja-kerja domestik dianggap tak sesulit kerja-kerja di kantor, yang berdampak juga terhadap upah pekerja-pekerja rumah tangga. Adapun saat berada di luar rumah, perempuan seperti Bricojuga mesti menghadapi berbagai diskriminasi. 

Kelompok Minoritas Membangun Support System

Salah satu yang menarik dari film ini ialah kehadiran kelompok minoritas gender lain, yakni transgender di dalam film. Sebelum diterima di sekolah bergengsi, Brico bekerja di sebuah kafe untuk menjadi pianis dari kelompok musik yang mengiringi penampilan seorang transpuan. Sebagaimana perempuan, transpuan juga memiliki ruang tampil yang tak semegah panggung orkestra milik laki-laki.

Brico kemudian direkrut oleh seorang translaki-laki bernama Robin Jones (diperankan Scott Turner Schofield, seorang translaki-laki pertama yang mendapatkan penghargaan Emmy untuk akting). Robin dan kelompok musik di kafe menjadi support system yang penting bagi Brico. Sayangnya, pada satu titik, Robin hadir di depan Bricosebagai perempuan, yang menjadikan karakternya ambigu; apakah ia menjadi trans laki-laki sekadar agar bisa tetap bermusik tanpa didiskriminasi?

Pasalnya, dalam film, Brico mendapati bahwa lowongan pekerjaan lebih banyak dibuka untuk musisi laki-laki daripada perempuan. Patriarki yang menjadikan laki-laki sebagai salah satu pihak yang wajib menafkahi istri dan anak-anak menjadi dasar dari diskriminasi ini. Karena laki-laki dianggap harus menafkahi istri dan anaknya, mereka juga harus memiliki pekerjaan. Lowongan kerja termasuk untuk menjadi musisi dalam sebuah orkestra pun diperuntukkan bagi laki-laki.

Perempuan seringkali dianggap tidak mumpuni sebagai musisi. Di sisi lain, musisi perempuan juga kesulitan membuktikan keahliannya karena tak pernah diberikan kesempatan. Hal seperti ini, sayangnya, masih terus terjadi sampai sekarang di berbagai bidang. Perempuan kerap kali dianggap sulit menjadi pemimpin karena dinilai lebih emosional dan tidak dapat mengambil keputusan–prasangka yang sulit dibuktikan ketika perempuan bahkan tidak diberi kesempatan.

Ketika menjadi pemimpin pun, sebagaimana Brico yang memimpin sebuah orkestra, perempuan masih menghadapi tantangan berupa keengganan laki-laki untuk dipimpin. Hal ini menjadikan kepemimpinan perempuan lebih sulit efektif karena terus diserang oleh laki-laki yang tidak suka menjadi bawahannya.

Brico pun muncul dengan ide membuat orkestra yang hanya diisi oleh musisi-musisi perempuan. Idenya tentu saja mendapatkan berbagai reaksi. Goldsmith, mantan gurunya, bahkan kembali menyerangnya dan tidak mempercayai mimpinya.

Film yang berdurasi cukup panjang ini (sekitar 2 jam 15 menit) mungkin akan melelahkan ditonton karena berusaha memasukkan sebanyak mungkin upaya Brico menjadi konduktor kelas dunia. Adegan kekerasan seksual di dalamnya juga dapat memantik trauma penonton yang pernah jadi korban kekerasan seksual. Tapi akting de Bruine yang memukau agaknya layak disimak, terutama untuk memberikan semangat bagi kalian yang sedang berupaya menuliskan cerita sendiri.

Sumber foto: https://thecinematheque.ca/films/2020/the-conductor

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!