The Voice: Bagaimana Cara Kita Memperjuangkan Teknologi Feminis

Jika kita percaya bahwa teknologi adalah jawaban dari masalah peradaban, tentu kita harus terus mengkritisi, teknologi seperti apa yang kita bayangkan? Tentu saja kita memperjuangkan teknologi yang feminis!

Konde.co menghadirkan “The Voice”: Edisi khusus para aktivis perempuan menulis tentang refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Alexa, seorang cis-perempuan usia 32 tahun yang aktif menggunakan media sosial mengeluhkan iklan yang ia terima, seperti iklan pernikahan, kelahiran anak, dan iklan-iklan yang mengajak banyak orang membeli produk-produk bayi. 

Padahal di kehidupan secara fisik (non-digital), ia sedang giat-giatnya berkarier dan belum berencana menikah, apalagi punya anak.

Kisah lainnya datang dari Dida, seorang non-biner berusia 25 tahun yang baru saja menerima hasil diagnosa medis bahwa dirinya mengidap depresi. Tak lama, ia banyak menerima iklan layanan tentang kesehatan mental dan aplikasi tentang pemulihannya.

Ada rasa penasaran juga kengerian yang riil mengenai bagaimana teknologi hari ini sangat mendikte kehidupan sehari-hari. Terlebih karena kita tidak benar-benar tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Kita mungkin pernah mengalami kejadian di atas dengan konteks masing-masing. Sedikit banyak kita mungkin terbantu atas informasi yang ditawarkan. Tidak jarang, fenomena ini dianggap normal baru yang harus kita hadapi jika kita bersedia berselancar di internet.

Dari 204,7 juta pengguna internet di Indonesia (We Are Social, 2022), berapa persenkah yang benar-benar mengetahui bagaimana teknologi internet bekerja? Berapa banyak yang memahami bagaimana data pribadi kita di internet digunakan dan dimanfaatkan? Jika kita adalah pengguna dari teknologi tersebut, mengapa kita sangat berjarak dengan pemanfaatan teknologi hari ini sehingga membuat kita seperti tidak lagi memiliki kontrol? Apakah kita memang perlu mengorbankan sejumlah hak jika ingin menikmati kemewahan dan kemudahan yang ditawarkan teknologi?

Di tengah kecepatan ritme merespons pengembangan teknologi, sudut pandang feminisme menjadi penting untuk meninjau semua proses ini. Mari kita simak mengapa perkembangan teknologi juga menjadi perjuangan feminis!

Teknologi Hari Ini Tidak Netral

Dalam kacamata feminisme, teknologi hari ini tidaklah netral. Situasi ‘tidak netral’ ini disebabkan dua hal yang saling berhubungan: minimnya representasi keberagaman dan pemikiran bias-bias yang mempengaruhi pengembangan teknologi. 

Pengembang teknologi hari ini masih didominasi laki-laki kulit putih dari negara-negara global utara. Di Amerika Serikat yang merupakan tuan rumah dari perusahaan besar seperti Facebook, Google, dan Microsoft, data menunjukkan hanya 26,7% pekerjaan teknologi dilakukan oleh perempuan. Parahnya, secara rata-rata, perempuan yang bekerja di bidang teknologi mendapat upah 3% lebih rendah dari pekerja laki-laki untuk bidang pekerjaan serupa, di perusahaan yang sama, dengan pengalaman yang sama pula.[1]

Representasi menjadi penting sebab merekalah yang menciptakan dan mendesain teknologi yang kita gunakan hari ini. Minimnya representasi perempuan serta ragam minoritas gender lainnya dan keberagaman rasial akan berdampak pada keberulangan bias-bias cara berpikir pengembangnya ke teknologi. Sebagai contoh, pada mesin penerjemahan Google Translate, kerap kali memberikan hasil terjemahan yang bias gender ketika menerjemahkan kata ganti subjek gender-netral.[2]

Misalnya, ketika kita menuliskan dalam bahasa Indonesia “Dia adalah seorang dokter”, terjemahan dalam bahasa Inggris menjadi “He is a doctor.” Ketika kita menuliskan “Dia adalah seorang perawat”, terjemahannya dalam bahasa Inggris menjadi “She is a nurse.”  Hal ini menunjukkan bahwa bias-bias dalam kehidupan fisik sehari-hari justru diterjemahkan kembali ke dalam kode-kode teknologi.

Kasus lainnya juga terjadi pada pengembangan label objek dan subjek pada aplikasi foto. Pada awal Google Photos dikembangkan, foto orang berkulit hitam mendapatkan label “gorila” atau “ape”.[3] Rasisme mendapat tempat baru bahkan turut membentuk teknologi.

Minimnya representasi dan keberagaman akan melahirkan teknologi yang memusatkan norma dasar pada nilai kapitalisme, patriarki, heteronormative, dan kolonialisme yang cenderung mengeksploitasi kita sebagai penggunanya. Praktik demikian melanggengkan kekerasan sistemik, seperti diskriminasi, rasisme, dan bentuk baru kekerasan seksual (Kekerasan berbasis Gender Online).

Feminisme tentu mengkritisi hal ini dan menolak jika teknologi menjadi perpanjangan tangan bias-bias dan kekerasan. Karena itu, representasi keberagaman baik gender, orientasi seksual, kelas, dan ability menjadi penting supaya memberikan warna serta mencatat pengalaman yang beragam dalam pengembangan teknologi yang lebih inklusif dan berkeadilan.

Relasi Timpang Dalam Teknologi

Teknologi hari ini juga menempatkan kita pada posisi tidak setara karena tidak memiliki kontrol. Kita bisa melihat dari proses pengembangan Big Data yang menjadi dasar pengembangan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, algoritma, pengambilan keputusan otomatis (automatic decision making) yang diaplikasikan di berbagai macam teknologi mulai dari media sosial, iklan yang dipersonalisasi (personalized ads), teknologi finansial, bahkan pengembangan gig economy seperti transportasi daring atau layanan pesan-antar makanan. Tetapi, struktur dari teknologi tersebut masih menunjukkan relasi kuasa yang timpang antara pengembang dan penggunanya.

Big Data adalah akumulasi data dengan skala sangat besar dan kompleks untuk diproses menggunakan alat manajemen basis data yang tradisional.[4] Sehingga membutuhkan komputerisasi dan akurasi algoritma yang dilakukan terus-menerus. Data tersebut diproses dan dimanfaatkan untuk pengembangan bisnis, arah kebijakan termasuk teknologi. 

Setidaknya ada tiga kelompok kelas dalam ranah ini: 1) kelompok yang menciptakan data baik secara sadar maupun tidak melalui jejak digital–seperti kita khalayak pada umumnya; 2) mereka yang memiliki sumber daya untuk mengumpulkan data, yakni perusahaan dan negara; 3) kelompok yang memiliki pengetahuan dan menganalisa.

Tentunya, dua kelompok terakhir memiliki kemewahan dan berperan penting dalam menentukan bagaimana Big Data dimanfaatkan. Sedangkan pengguna internet kebanyakan yang masuk kelompok pertama tidak dapat berpartisipasi dalam hasil yang akan ditentukan dari pemanfaatannya.

Meskipun Big Data melahirkan kemungkinan dan potensi pembaruan pengetahuan dan seni budaya lintas disiplin, kerap kali juga menginvasi privasi dan kebebasan sipil, serta meningkatkan kontrol dari perusahaan dan negara. Pengembangan teknologi hari ini menunjukkan adanya relasi tidak setara antara pengembang dan pengguna.

Hari ini ramai diberitakan bahwa aplikasi Magic Avatar, yang mengubah wajah manusia menjadi animasi atau kartun ternyata dibangun oleh AI yang mencuri karya-karya seniman.[5] Di kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar cerita sopir ojek daring yang tidak bisa bekerja karena di-block oleh sistem akibat rating rendah atau karena sering membatalkan pesanan yang diterima. Seorang pengguna Pinjaman online tidak punya kontrol lagi atas data yang sudah ia berikan ke aplikasi.

Jika kembali ke kisah Alexa dan Dida, mereka seakan tidak punya kontrol atas hasil “profiling” mereka yang berdampak pada iklan media sosial yang mereka terima. Sekalipun ada upaya untuk melakukan banding atau menolak dari keputusan yang dihasilkan teknologi, mekanismenya kerap kali sulit ditempuh dan terkadang tidak mudah diakses.

Feminisme hadir untuk membongkar konsep teknologi dengan relasi kuasa yang timpang. Apalagi jika praktik ini dijadikan dasar pengambilan keputusan atau kebijakan tunggal, maka akan membuat kelompok minoritas seperti kelompok gender dan orientasi seksual minoritas, kelompok miskin, masyarakat adat—semakin rentan dan tertindas.

Mereklaim Kembali Privasi

Isu privasi sangat lekat ketika kita berbicara mengenai teknologi. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada proses pengawasan (surveilans) secara terus-menerus terhadap kita sebagai pengguna. 

Dari segi penggunaan dan pemanfaatan data juga dilakukan dengan sangat masif, transfer data terjadi begitu cepat. Kita sebagai pengguna yang merupakan subjek data seolah tidak memiliki kontrol ketika data disebarkan.

Situasi tersebut sebenarnya bukan hal baru, sebab sejarah mencatat bahwa pengawasan dan kontrol berlebih terhadap tubuh perempuan, transgender dan non-biner telah lama berlangsung di kehidupan fisik. Sejak lama pula, gerakan feminis menuntut otonomi atas tubuh yang membebaskan.

Feminisme menegaskan bahwa perlindungan privasi merupakan bentuk dari penghormatan atas agensi. Privasi bukan sekadar kerahasian atau hak atas properti semata. Tetapi lebih dari itu, privasi adalah otonomi dan kontrol atas diri dan tubuhnya. Agensi di era digital diwujudkan dalam bentuk penghormatan atas persetujuan atau konsen dalam setiap pemrosesan data. Feminisme juga terus mendorong adanya akuntabilitas dan transparansi dari setiap bentuk pemrosesan data.

Penghormatan hak atas privasi harus bisa dimiliki oleh semua orang. Tidak terbatas pada mereka yang mengerti teknologi atau bahasa tertentu, atau mereka yang bisa mengakses perangkat yang lebih mahal. Feminisme mendorong supaya teknologi terus berinovasi dan memastikan bahwa privasi dan keamanan menjadi dasar dalam setiap pengembangannya.

Jika kita percaya bahwa teknologi adalah jawaban dari masalah peradaban, tentu kita harus terus mengkritisi, teknologi seperti apa yang kita bayangkan? Tentu saja teknologi yang feminis! Teknologi yang membebaskan dan tidak melukai, yang dapat mentransformasi dinamika antara pengembang dan pengguna dalam relasi yang setara.

Tentunya hal ini bisa terwujud jika kita terus mendorong pengembangan teknologi dan penulisan kode-kode yang dapat mencerminkan tubuh dan pemikiran yang beragam. Termasuk membangun ekosistem internet dengan prinsip internet feminis.

Blandina Lintang

Project Officer di Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial untuk isu Digital Rights. Ia juga aktif di kolektif feminis Purple Code Collective.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!