The Voice: Kekerasan Seksual Online Marak, Pekerjaan Rumah Tahun 2023

Kehadiran UU TPKS meski baru setengah hati menyoal kompleksitas KBGO, merupakan angin segar untuk dapat mengusut penyelesaian kasus-kasusnya melalui proses hukum. Unjuk giginya tentu masih harus dilihat lebih lanjut di tahun-tahun ke depan. Lantas apa yang perlu dilakukan?

Konde.co menghadirkan “The Voice” yaitu edisi khusus para aktivis perempuan menuliskan refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Pada tahun 2020, ketika pandemi melanda, kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) bak tsunami yang melanda para pengada layanan. 

Komnas Perempuan mencatat angka laporan yang meningkat drastis, laporan yang diterima naik 300% dari 281 kasus di 2019 menjadi 940.

Ramai dan riuh kelimpungan merespons banyaknya kasus yang dilaporkan. Berbagai tantangan dihadapi di berbagai lini penanganan kasus, dari SDM pengada layanan yang terbatas akibat kebijakan pandemi Covid-19, proses pelaporan ke polisi yang belum responsif dan berpihak kepada korban, hingga proses di peradilan yang menimbulkan trauma bagi korban.

Saya ingat, diskusi terpimpin banyak dilakukan secara lintas sektor, dokumentasi praktik baik dibahas dan dipublikasikan, inisiatif untuk menyebarluaskan informasi dan meningkatkan kesadaran publik bermunculan, kerja sama melalui koordinasi dan kolaborasi yang berfokus pada advokasi KBGO pun muncul, bertahan, dan menguat.

KBGO pun didorong agar masuk dalam rumusan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang saat itu masih dirujuk dengan sebutan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pada 2021, situasi belum menunjukkan perubahan yang berarti, kasus masih menunjukkan tren meningkat, terutama dalam bentuk ancaman dan penyebaran konten intim non-konsensual yang datanya terlihat mendominasi di berbagai laporan yang dikeluarkan, termasuk oleh Komnas Perempuan, SAFEnet, LBH APIK Jakarta, dan Taskforce KBGO.

Dalam laporan LBH APIK Jakarta, KBGO bahkan meningkat pesat hingga menjadi laporan yang paling banyak diterima pada tahun 2021, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang mencatat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebagai yang teratas. Ironisnya, justru dari 489 kasus yang diterima, hanya 25 kasus yang dilaporkan ke polisi, dan dua kasus yang masuk ke proses pengadilan. Ini menunjukkan tantangan besar dalam penyelesaian kasus KBGO melalui proses hukum.

Jika di tahun sebelumnya resiliensi pengada layanan diuji dengan jumlah kasus yang meningkat, di tahun 2022 ini koordinasi dan kolaborasi jaringan untuk menangani KBGO meningkat. Para pemangku kepentingan memahami bahwa KBGO tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu dengan sigap ditangani melalui berbagai instrumen baik non-litigasi maupun melalui proses litigasi. Contohnya dengan pengesahan Permendikbud PPKS No. 30/2021 yang telah mencakup beberapa bentuk KBGO pada pasal 5, yakni definisi kekerasan seksual.

Di tahun lalu, saya ingat berbagai produksi pengetahuan terkait KBGO mulai diproduksi. Tahun 2022 ini adalah waktu panen yang perlu dirayakan. Berbagai macam kajian terkait dengan jenis kekerasan online ini dirilis pada tahun ini.

Kajian dan Kebijakan Terkait KBGO Sepanjang 2022

Awas KBGO—inisiatif SAFEnet yang berfokus mengawal advokasi pada korban KBGO dan kebijakan terkaitnya—pada awal tahun menerbitkan “Kami Jadi Target” yang mendokumentasikan pengalaman Perempuan Pembela HAM (PPHAM) menghadapi KBGO serta minimnya instrumen perlindungan bagi PPHAM. Publikasi berikutnya “Jauh Panggang dari Api” yang memetakan kerangka hukum KBGO di Indonesia dan menunjukkan compang-camping perlindungan untuk korban KBGO.

Lalu, ada juga riset yang diluncurkan LBH APIK Jakarta berjudul “Dampak UU ITE terhadap Perempuan Korban Kekerasan” yang menganalisis dampak Pasal 27 Ayat (1) dan (3) Jo. Pasal 45 UU ITE. Riset ini menunjukkan bagaimana pemenuhan hak asasi perempuan korban sebagai manusia, dan haknya sebagai korban masih sangat terbatas, malah berpotensi dilanggar karena dua pasal tersebut.

Never Okay Project juga meluncurkan laporan survei “Semua Bisa Kena” yang menunjukkan situasi pelecehan dan kekerasan di dunia kerja, termasuk diantaranya dalam bentuk kekerasan berbasis gender online. Hasil survei ini juga mendorong Konvensi ILO No.190 (KILO 190) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Purple Code Collective yang juga menginisiasi Task Force KBGO—gerakan dan kerja kolektif untuk meretas KBGO—merilis “Rekoleksi Persaudarian” yaitu catatan yang menguraikan pengalaman dari sembilan penyintas KBGO. Tidak hanya itu, kolektif yang mendukung hadirnya internet feminis ini juga baru merilis buku “CTRL + F + Privasi” yang penting untuk dipahami dalam kaitannya dengan pencegahan dan penanganan KBGO.

Selain pengetahuan, wawasan, dan pengalaman terkait KBGO, hadir juga kebijakan tentang KBGO. Kebijakan yang memuat pencegahan, perlindungan, penanganan, pemulihan, serta pengakuan terkait bentuk-bentuk KBGO hadir dalam bentuk pasal kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) yang dimuat di dalam UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kehadiran UU TPKS, merupakan angin segar untuk dapat mengusut penyelesaian kasus-kasusnya melalui proses hukum. Meski baru setengah hati menyoal kompleksitas KBGO dengan pengakuan baru pada tiga bentuk KBGO saja yakni perekaman, transmisi, dan penguntitan/pelacakan yang bertujuan seksual dan dilakukan tidak konsensual. Unjuk giginya tentu masih harus dilihat lebih lanjut di tahun-tahun ke depan, seperti yang dicatat LBH APIK Jakarta dalam Laporan Akhir Tahun 2022 yang dirilis Desember ini.

Namun demikian, UU TPKS belumlah selesai. Masih ada mandat berupa peraturan turunan yang perlu dikawal hingga implementasinya benar berpihak pada korban. Penggunaan istilah KSBE pun perlu disosialisasikan lebih lanjut kepada publik. Sejalan dengan edukasi mengenai KBGO sebagai sebuah kerangka berpikir untuk menangkap fenomena dan tren yang muncul.

Masih terkait kebijakan, menjelang akhir tahun, Kementerian Agama juga mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 73/2022 yang bercermin pada Permendikbud PPKS dengan lingkup satuan pendidikan yang berada di bawah institusinya. DPR juga telah mengesahkan UU Pelindungan Data Pribadi No. 27 Tahun 2022 yang isinya terkait dengan penanganan KBGO.

Upaya yang Perlu Didorong dan Antisipasi Tahun Politik

Pengetahuan yang terus dicatat dan berkembang, disertai kebijakan yang terus mendorong perubahan ekosistem untuk peningkatan kesadaran publik dan pemenuhan hak-hak korban KBGO, menunjukkan iklim yang positif dalam advokasi isu KBGO. Koordinasi dan kolaborasi lintas sektor perlu digiatkan, bersama dengan diskusi dan proses evaluasi yang inklusif, peka dan responsif pada pengalaman kelompok-kelompok marginal.

Perlu diakui—tanpa meniadakan apresiasi pada kerja-kerja bersama—bahwa tantangan dan kendala memang masih bertebaran seperti kerikil di jalan panjang pendampingan korban. Salah satunya adalah mengupayakan untuk meningkatkan akses informasi serta kapasitas terhadap isu ini kepada kelompok marginal, seperti komunitas disabilitas netra dan tuli. Atau pada masyarakat di luar Pulau Jawa yang mungkin keterpaparannya terhadap isu KBGO belum tinggi.

Di sisi lain, perlu juga mulai mengantisipasi tren kekerasan berbasis gender online yang bersinggungan dan beririsan dengan isu lain. Misalnya perlindungan pada jurnalis perempuan atau terkait disinformasi berbasis gender yang mungkin akan marak di tahun depan: tahun politik menuju perayaan demokrasi—Pemilu 2024.

Ellen Kusuma

Kepala Subdivisi Digital At-Risks (DARK), SAFEnet.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!