Edisi Khusus Feminisme: Feminisme Global, Bangun Solidaritas Transnasional Hapus Penindasan

Feminisme global mulai dari kemunculannya hingga hari ini telah mengalami perkembangan. Secara mendasar feminisme global memperjuangkan stop rasialisme atas nama etnis perempuan di negara-negara Barat sampai Timur

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022.

Sebagian besar feminisme kulit putih di Barat menganggap bahwa perempuan di mana pun menghadapi penindasan yang sama yakni berdasarkan jenis kelamin/gender mereka saja. Feminisme global seperti yang pertama kali muncul pada 1980-an sebagian besar merupakan penerapan global dari pandangan feminis kulit putih ini.

Feminisme global menganjurkan untuk melampaui batas-batas negara. Pada akhir 1970-an dan awal 1980-an, feminis Afrika-Amerika dan kulit hitam yang tinggal di Barat mulai mengkritik rasisme dan imperialisme implisit dari feminis kulit putih gelombang kedua. Karena hal ini menyebabkan ketidakpedulian mereka terhadap penindasan yang kompleks dan multipel terhadap perempuan dunia ketiga dan pengabaian terhadap agensi perempuan dunia ketiga.

Feminisme global muncul di kalangan feminis kulit putih untuk mengakomodasi kritik tersebut. Karena itu feminisme global berusaha untuk mengakui keberagaman dalam penindasan perempuan di seluruh dunia.

Namun fokus tunggal pada gender sebagai penyebab utama penindasan perempuan di seluruh dunia membuat feminis kulit putih percaya hal yang sama juga terjadi pada perempuan dunia ketiga. Penindasan yang dialami perempuan dunia ketiga sama seperti yang dialami perempuan kulit putih, disebabkan oleh patriarki. Singkatnya perempuan dipandang memiliki “sikap yang sama” karena suatu kondisi umum yang, meskipun berbeda-beda derajatnya, dialami oleh semua manusia yang terlahir sebagai perempuan.

Karena itu untuk memperluas kesamaan dan solidaritas perjuangan perempuan, maka perempuan harus mengatasi beragam kekuatan sosial yang memisahkan perempuan satu sama lain. Seperti ras, kelas, orientasi seksual, kolonialisme, kemiskinan, agama, kebangsaan. Gerakan global ini harus bergerak melampaui konsep negara-bangsa.

Pandangan feminisme global ini mendapat kritik dari feminisme dunia ketiga dan feminisme transnasional. Baik feminisme dunia ketiga maupun feminisme transnasional didasarkan pada premis bahwa penindasan perempuan berbeda secara global tidak hanya karena gender, tetapi juga ras, kelas, etnis, agama, dan bangsa. Karena itu, perempuan dunia ketiga mengalami berbagai bentuk penindasan yang secara kualitatif berbeda dengan penindasan gender yang dialami oleh perempuan kulit putih kelas menengah di Barat. Namun kedua aliran feminisme tersebut berbeda, terkait tujuan dan prioritas mereka.

Chandra Mohanty merupakan salah satu feminis dunia ketiga yang mengkritik feminisme global. Kritiknya terutama tertuju pada pandangan feminisme global yang menempatkan patriarki sebagai monolitik universal. Termasuk pada anggapan yang melihat perempuan sebagai kelompok homogen lintas budaya dengan minat, perspektif, tujuan, dan pengalaman serupa.

Menurut Mohanty konsepsi ahistoris tersebut menyiratkan penghapusan sejarah dan efek imperialisme kontemporer yang sangat memperumit penindasan perempuan dunia ketiga. Mohanty juga mengemukakan homogenisasi dan reduksionisme historis semacam itu menghasilkan konsepsi perempuan dunia ketiga sebagai subjek monolitik tunggal. Pandangan “kolonialis” seperti ini mengakibatkan perempuan dunia ketiga kehilangan agensi politik dan sejarah mereka.

Penindasan perempuan dunia ketiga sangat beragam, bergantung pada bagaimana ras, kelas, etnis, dan bangsa bersinggungan. Apa yang menyatukan perempuan dunia ketiga adalah hubungan politik oposisi mereka dengan struktur seksis, rasis, dan imperialis.

Mohanty juga menekankan bahwa analisis yang membumi dan khusus tentang penindasan perempuan dunia ketiga harus dikaitkan dengan kerangka kerja ekonomi dan politik yang lebih besar, bahkan global. Ia juga mendorong pentingnya pergeseran dalam analisis feminis dari lokal, regional dan nasional ke hubungan dan proses lintas budaya sehingga lokal dipahami dalam kaitannya dengan proses lintas-nasional yang lebih besar dari ekonomi global.

Sementara itu, dari sudut pandang feminisme transnasional terutama dalam pandangan Inderpal Grewal dan Caren Kaplan kritik terhadap feminisme global diarahkan pada pengabaiannya terhadap keragaman agensi perempuan dalam konstruksinya tentang teori penindasan hegemonik di bawah kategori gender yang disatukan.

Grewal dan Kaplan mencirikan dunia kontemporer sebagai “postmodernitas”, yang merupakan kondisi sosio-politik-ekonomi di era globalisasi kapitalis neoliberal. Dalam kondisi postmodernitas, kekuasaan tidak lagi terpusat di metropolis melainkan tersebar di seluruh dunia karena modal tersebar mengikuti pergerakan perusahaan-perusahaan multinasional.

Dalam situasi seperti itu, Grewal dan Kaplan berpendapat, kaum feminis harus berkonsentrasi pada mengartikulasikan hubungan gender dengan hegemoni yang tersebar dengan memahami dinamika kondisi material perempuan secara transnasional. Ini bertujuan bukan untuk membangun teori utama tentang penindasan gender yang memasukkan keragaman kondisi perempuan, melainkan untuk membandingkan penindasan yang multipel, tumpang tindih, dan berlainan yang dihadapi oleh perempuan di lokasi konkret mereka.

Dalam perkembangannya pada tahun 2000-an istilah feminisme global mengalami kebangkitan meskipun sebelumnya dikritik terkait kecenderungan universalisasi feminisme global kulit putih. Banyak feminis, baik kulit putih maupun dunia ketiga, menggunakan istilah tersebut untuk merujuk pada pekerjaan mereka yang berkaitan dengan isu-isu feminis global. Selanjutnya, banyak yang menggunakan konsep feminisme transnasional dan feminisme global secara bergantian.

Sementara istilah feminisme dunia ketiga, yang memiliki hubungan yang lebih erat dengan aktivisme perempuan lokal, nasional, dan regional, tampaknya telah kehilangan ciri khususnya sejak pertengahan 1990-an. Sedang feminisme transnasional menjadi terkenal di kalangan feminis dunia ketiga. Para feminis dunia ketiga, termasuk Mohanty, yang awalnya mempopulerkan istilah feminisme dunia ketiga, kini tampaknya lebih suka menggolongkan feminismenya sebagai transnasional. Hal ini disebabkan meningkatnya kekuatan kapitalisme global neoliberal dan urgensi bagi kaum feminis untuk menolak dampak buruknya terhadap perempuan dunia ketiga dengan membentuk jaringan feminis transnasional (TFNs).

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!