Konde.co menyajikan Edisi Khusus Feminisme yang bisa kamu baca setiap Senin, selama bulan November 2022 sampai Januari 2023. Edisi khusus ini berisi teori sekaligus perjuangan feminisme. Edisi ini merupakan bagian dari Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2022.
Sebagai pengguna media sosial, kamu pasti tak asing lagi dengan hashtag atau tagar #MeToo. Atau bahkan kamu pernah terlibat dalam gerakan ini.
Sejak pertama kali digunakan pada 2006 oleh seorang penyintas sekaligus aktivis dari Amerika serikat, Tarana Burke, hingga hari ini #MeToo masih dipakai.
Tarana Burke memakai frasa MeToo di Myspace untuk menguatkan korban pelecehan dan serangan seksual terutama perempuan muda kulit berwarna yang rentan melalui empati, solidaritas dan dukungan yang menunjukkan kalau korban tidak sendirian. Karena banyak perempuan lain juga punya pengalaman yang sama.
Satu dekade kemudian, pada 2017 New York Times menerbitkan artikel tentang dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Harvey Weinstein, mantan produser film. Sejumlah artis seperti Ashley Judd dan Rose McGowan dengan lantang membeberkan perbuatan Weinstein. Ini mendorong korban dan penyintas lain ikut bersuara.
Seiring itu, artis Alyssa Milano menggunakan tagar #MeToo di media sosialnya. Ia mengajak follower-nya yang pernah mengalami pelecehan atau serangan seksual untuk menulis frasa MeToo di twitter.
“Kalau kamu pernah dilecehkan atau diserang secara seksual tulis ‘me too’ sebagai balasan twit ini,” begitu bunyi cuitan akun twitter Alyssa. Twit Alyssa ini menggerakkan banyak orang untuk berbagi cerita dan pengalamannya. Sampai hari ini tagar ini masih digunakan di berbagai media sosial saat korban/penyintas bersuara (speak up).
Gerakan #MeToo bisa dibilang salah satu kampanye digital paling berpengaruh dan tersebar luas dalam satu dekade terakhir. Gerakan ini memecah keheningan seputar pelecehan dan kekerasan seksual. Bahkan mendorong diskusi soal perlunya mengubah norma sosial untuk menghapus kekerasan seksual.
Di Indonesia orang menggunakan tagar #SayaJuga atau #AkuJuga sebagai adopsi dari #MeToo sekitar tahun 2017 dan masih berlanjut sampai sekarang. Sebelum ini sebenarnya sudah ada kampanye dengan menggunakan tagar dan platform media sosial untuk mendorong penanganan kasus kekerasan seksual. Misalnya tagar #NyalaUntukYuyun pada 2016. Gerakan ini dimulai saat seorang pelajar SMP di Bengkulu diperkosa dan dibunuh oleh 14 pemuda.
Kasus ini awalnya hanya diliput oleh media lokal dan tak banyak mendapat perhatian. Ketika para aktivis perempuan mengangkat kasus ini di media sosial dengan memakai tagar, kasus pun terekspos di tingkat nasional dan menggugah perhatian publik. Proses hukum yang berjalan juga menjadi sorotan masyarakat. Pelaku akhirnya mendapat hukuman maksimal.
Pada kasus ini kampanye yang digalang di media sosial tersebut berlanjut dengan aksi massa di berbagai daerah menyuarakan darurat kekerasan seksual. Masyarakat juga menuntut pemerintah untuk menerbitkan undang-undang yang secara khusus mengatur kekerasan seksual. Waktu itu drafnya bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tapi Presiden Jokowi justru menerbitkan Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini memuat beragam hukuman, termasuk kebiri kimia. Poin ini memunculkan kritik dari sejumlah kalangan.
Potensi dan Tantangan Aktivisme Feminis Digital
Contoh di atas menunjukkan aktivisme digital punya kekuatan sangat besar. Makin populernya penggunaan platform online seperti media sosial dan blog mendorong para feminis untuk menggandeng media digital sebagai ruang signifikan untuk aktivisme. Aktivisme feminis digital ini menawarkan alat dan taktik baru bagi feminis dalam menyebarkan informasi, menumbuhkan kesadaran dan memobilisasi publik. Seperti aktivisme feminis pada umumnya, aktivisme ini didasarkan pada kritik yang lebih besar terhadap ketidaksetaraan dan masalah struktural.
Ada sejumlah istilah yang dipakai untuk merujuk aktivisme ini, selain aktivisme digital dikenal juga istilah aktivisme siber atau aktivisme online, juga e-aktivisme. Istilah aktivisme digital menyediakan kerangka kerja yang lengkap untuk memahami praktik yang menggunakan infrastruktur jaringan digital. Terminologi ini mencakup berbagai alat digital seperti ponsel dan perangkat digital offline.
Sementara aktivisme siber atau aktivisme online hanya mengacu pada aktivisme internet. Istilah e-aktivisme atau aktivisme elektronik mencakup praktik yang dirasa sudah tidak relevan seperti perekam pita VHS. Istilah aktivisme digital paling bisa mewakili semua contoh praktik kampanye sosial dan politik yang memakai infrastruktur jaringan digital.
Istilah feminisme siber (cyberfeminism) dikenalkan oleh Sadie Plant, Direktur Cybernetic Culture Research Unit di University of Warwick, Inggris pada tahun 1994. Frasa ini dipakai untuk menggambarkan karya para feminis yang tertarik dalam berteori, mengkritik, dan memanfaatkan internet, dunia maya, dan teknologi media baru.
Sebelum munculnya cyberfeminism, studi feminis tentang teknologi cenderung mengkaji perkembangan teknologi sebagai konstruksi sosial dan budaya. Meskipun perempuan sepanjang sejarah sudah aktif dalam mengembangkan teknologi baru, bagi feminis siber teknologi masih dipandang sebagai ciptaan maskulin. Karena itu menurut Judy Wajcman, profesor sosiologi di Universitas Nasional Australia teknologi perlu terus diinterogasi dan dikonsep ulang.
Feminisme digital sendiri mencakup aktivisme atau keterlibatan dengan feminisme dan ideologi feminis di internet. Dengan kata lain, feminisme digital adalah feminisme yang berlangsung di ranah online. Feminisme digital adalah hal baru di abad ke-21 dan mendapatkan popularitas dengan pengenalan dan pemakaian internet yang meluas.
Aliran feminisme ini menjadi ruang di mana orang-orang dari berbagai penjuru dunia dapat dengan mudah berbagi pengalaman, pengetahuan dan ideologi serta mengungkap masalah baru dengan cepat. Dunia digital sekaligus bisa menjadi tempat dimana orang bisa menemukan solidaritas, dukungan, dan saran hanya dengan menelusuri tagar seperti #MeToo.
Salah satu kontribusi penting feminisme digital adalah produksi aktivisme tagar. Aktivisme tagar terjadi ketika masalah sosial dibagikan dan berinteraksi di media sosial. Ribuan orang menggunakan tagar yang sama, yang kemudian memungkinkan orang lain dengan mudah berinteraksi dengan isu atau gerakan sosial hanya dengan mencari tagar tersebut.
Bagi feminis digital penggunaan media sosial sebagai bentuk aktivisme online untuk mengadvokasi isu-isu feminis adalah salah satu cara untuk merebut kembali ruang dan mengubahnya menjadi ruang feminis.
Potensi yang dimiliki aktivisme feminis digital juga tidak terlepas dari sejumlah tantangan yang menghadang. Seperti konstruksi gender media arus utama dan pesannya, kesenjangan digital dan masalah akses, pengawasan pemerintah dan perusahaan platform digital, privatisasi ruang digital, pelecehan dan kelelahan feminis digital.
Ruang digital memungkinkan para feminis untuk membuat suara mereka didengar, tetapi pemberitaan media arus utama dan pengguna lain sering kali mengubah atau memutarbalikkan pesan-pesan ini. Kaum feminis tidak hanya harus menghadapi tantangan-tantangan ini secara teratur, tetapi bekerja untuk mengurangi atau menghilangkannya. Ini menjadi kerja-kerja yang menguras tenaga dan waktu serta menyebabkan kelelahan fisik dan emosi.
Meski aktivisme digital telah memberdayakan banyak perempuan secara global dan menciptakan perubahan positif, aktivisme digital juga menyediakan sarana untuk voyeurisme dan penonton global. Kondisi ini memungkinkan warganet/netizen mengamati, berkomentar, dan membuat penilaian yang memicu prasangka, kebencian, dan kekerasan. Sama seperti aktivisme digital yang tumbuh, begitu juga dengan kebencian dunia maya (cyber-hatred), trolling, dan perundungan. Situasi ini dapat berdampak buruk pada individu dan kampanye. Kampanye feminis membawa serta reaksi anti feminis.
Hal lain yang perlu juga disadari oleh para feminis digital adalah keterhubungan dengan dunia fisik aktivisme. Ada dunia luar biasa dari aktivisme akar rumput yang dilakukan oleh perempuan-perempuan dan gender lain di seluruh dunia yang kisahnya tidak pernah terekam. Selain itu, ada banyak perempuan yang terpinggirkan dan rentan yang hidup dalam kemiskinan dan konflik atau perang yang tidak punya akses ke dunia digital untuk menyuarakan penderitaan dan memperjuangkan hak-hak mereka.
Tantangan ini menunjukkan ada pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan untuk memastikan ruang digital menjadi ruang publik yang lebih cair, transformatif dan setara.