Posting di Medsos? Kamu Mesti Bedakan Antara Humor, Konteks, dan Sensitivitas 

Dalam bermedia sosial, kamu memiliki kebebasan berpendapat. Akan tetapi, sebelum kamu menyuarakan sesuatu, tampaknya kamu perlu mempertimbangkan sensitivitas dari topik yang kamu tanggapi.

Seorang komikus Kharisma Jati, pada pertengahan November 2022 lalu, membagikan cuitan yang menyinggung di akun Twitternya. Sosok yang ia singgung adalah ibu negara, Ibu Iriana. 

Dalam cuitannya, komikus tersebut mengunggah foto Ibu Iriana dengan ibu negara Korea Selatan, Kim Keon Hee di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada 15 November 2022 lalu dengan keterangan: 

“Bi, tolong buatkan tamu kita minum.” 

“Baik, Nyonya.”

Warganet Indonesia mengecam cuitan tersebut karena guyonan ini dianggap menghina. Selanjutnya, Kharisma Jati berkata bahwa ia telah menghapus cuitan guyonan tersebut karena banyak pihak yang salah paham.

Salah satu content maker yang cukup dikenal pada jagat maya, Cania Citta, turut mengomentari guyonan tersebut melalui akun Twitternya. “Sebenarnya dia hanya naruh foto dan dialog tanpa nulis nama, tapi somehow banyak yang ngebacanya itu yang kiri nyuruh yang kanan. Interesting,” ungkapnya.

Setelah menerima banyak argumentasi tertuju kepada cuitannya, Cania menjelaskan alasannya berkomentar. Berdasarkan pernyataannya, ia hanya melihat fenomena ini menarik. Ia melihat banyak orang yang secara kolektif memiliki persepsi seragam, sedangkan baginya, ada banyak kemungkinan interpretasi dari cuitan Kharisma tersebut.

Banyak warganet Twitter yang menyayangkan cuitan Cania yang sebenarnya tidak diperlukan dan hanya memperuncing keadaan. Meskipun begitu, tak hanya Cania, beberapa warganet yang turut menanggapi cuitannya juga setuju dengan ungkapannya. Alasan mereka sama: fenomena ini hanya masalah perbedaan persepsi, apalagi guyonan tersebut juga tidak mencantumkan konteks yang jelas.

Konteks dan Kesamaan Persepsi

Kesamaan persepsi oleh banyak orang (dalam hal ini, para warganet Indonesia) yang disebutkan oleh Cania bisa hadir karena adanya latar belakang yang dipahami secara kolektif. Tapi bagaimana jika pemahaman ini tidak sama?

Jika kita menengok kembali ke belakang, pada zaman kolonialisme, orang-orang Indonesia diperbudak hingga berlanjut ke masa penjajahan oleh Jepang. Rasisme yang tumbuh dari peristiwa penjajahan di Indonesia membuat adanya oknum dari negara-negara penjajah, bahkan sampai saat ini, yang masih melabeli orang keturunan Indonesia sebagai bawahan.

Dengan demikian, tentunya menjadi miris sekali jika mentalitas yang berusaha kita tinggalkan, menjadi guyonan bagi seseorang yang lahir di bangsa kita sendiri. Dengan adanya latar belakang yang dipahami bersama-sama, maka persepsi yang sama bisa terbentuk. Tanpa adanya latar belakang, Cania dan warganet yang setuju dengannya tentu benar, bahwa interpretasi dan persepsi sangat mungkin beragam.

Selain itu, persepsi yang sama juga dapat muncul karena latar belakang standar kecantikan masyarakat Indonesia. Kita semua tahu bahwa masyarakat kita masih mengagungkan warna kulit putih, terutama standar kecantikan Asia Timur yang semakin marak diadopsi sejak Gelombang Korea menguat di Indonesia. Jadi, apakah konteks yang tidak dijelaskan secara eksplisit penting untuk diangkat ketika kita mengetahui standar seperti apa yang saat ini eksis pada masyarakat kita?

Tak hanya itu, dalam cuitannya, Kharisma menyebutkan sapaan ‘bi’ yang merujuk pada kata ‘bibi’, yaitu panggilan yang mengacu pada perempuan Indonesia. Ditambah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, salah satu definisi dari ‘bibi’ adalah panggilan kepada perempuan yang lebih tua. Oleh karena itu, wajar jika warganet Indonesia menafsirkan bahwa panggilan tersebut dituju kepada Ibu Iriana.

Sensitivitas dalam Bermedia Sosial

Dalam bermedia sosial, kebebasan berpendapat dimiliki oleh semua pihak. Akan tetapi, sebelum menyuarakan sesuatu, tampaknya warganet masih perlu kemampuan yang lebih baik dalam hal mempertimbangkan sensitivitas dari topik yang akan ditanggapi. 

Memiliki kepekaan terhadap stereotip dan budaya masyarakat juga tak kalah penting. Ketika kita berpendapat di ruang publik yang membuat tanggapan kita dapat diakses oleh siapa pun, tentu kita perlu menggunakan logika. Namun, dalam beberapa kasus, yang lebih dibutuhkan adalah sensitivitas dalam berkomentar. 

Sebelum memberikan tanggapan, melakukan riset yang menyeluruh juga diperlukan, baik tentang latar belakang pihak yang bersangkutan maupun makna implisit yang diartikan oleh mayoritas orang, serta alasannya. Kenaifan yang dibalut dengan penggunaan logika justru hanya melebarkan diskusi ke bagian-bagian lainnya dan akhirnya membuat isu yang sebenarnya dibahas menjadi kabur.

Chelsea Anastasia

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!