Rajin Ibadah Jadi Syarat Nomor Satu Cari Pasangan? Ini Bukan Tolok Ukur

Banyak orang mencari pasangan dengan berbagai kriteria. Jika kamu termasuk orang yang menomorsatukan rajin ibadah sebagai kriteria nomor satu, kamu mesti cek lagi, jangan-jangan dia hanya rajin ibadah tapi minim kelakukan baiknya.

Sebagai remaja perempuan yang tidak jarang memikirkan romansa, saya sering terlibat dalam percakapan dengan teman-teman saya mengenai kriteria pasangan—biasanya sambil disertai tawa cekikikan dan malu-malu. 

Dari hasil pengamatan tak resmi saya, kebanyakan teman saya menempatkan “rajin beribadah” di nomor satu—syarat paling utama—dalam daftar mereka. Kalau dibilang terkejut, sepertinya tidak juga, karena sekilas tampaknya normal-normal saja di lingkungan kami. Tapi belakangan ini saya berpikir, benarkah rajin beribadah itu hal paling penting yang bisa kita harapkan dari pasangan?

Di lingkungan saya, kebanyakan perempuan umumnya menganggap laki-laki yang rajin beribadah adalah segalanya; jenis laki-laki paling sempurna yang bisa dijadikan pasangan. Dan sebagai seorang perempuan Muslim dan hidup di lingkungan kami, saya bisa paham alasannya. Tapi saya menyayangkan banyaknya perempuan—kebanyakan perempuan muda—yang mengidealisasikan laki-laki yang rajin beribadah. 

Sebenarnya itu tidak sepenuhnya salah, sih. Menurut saya, setiap orang punya hak atas kriteria pasangan idamannya masing-masing, dan di lingkungan saya, mungkin wajar menjadikan faktor agama sebagai syarat memilih pasangan. Hanya saja, kriteria ini seringnya disertai anggapan atau ekspektasi sosial (bukan hanya pribadi saja) bahwa laki-laki yang rajin beribadah otomatis adalah laki-laki yang baik dan bermoral agung. Dengan kata lain, ideal. Bahkan mungkin bisa dikatakan sempurna. Nah, untuk yang ini, saya tidak setuju.

Laki-laki yang rajin beribadah bukan laki-laki yang sempurna. Ibadah bukan jaminan moralitas. Seberapa sering kita membaca atau menonton berita tentang ustadz yang mencabuli anak didiknya di tempat mengaji? Atau suami yang ‘ahli’ agama, tetapi suka memukuli istrinya di rumah? Atau pendeta yang memerkosa jemaatnya? 

Saya sering mendengar perkataan, “Kalau seseorang ibadahnya baik, maka sisanya akan ikut baik juga.” Artinya, kalau ibadahnya sudah bagus dan rajin, hal-hal lainnya dijamin sudah pasti bagus juga. Tetapi, bagaimana bisa semua hal lain yang dilakukan laki-laki seperti ini bersifat baik, kalau dia justru malah menjadikan agama sebagai tamengnya untuk berbuat buruk? 

Tidak jarang laki-laki menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan dengan alasan-alasan agamis. Mulai dari menyalahkan korban kekerasan seksual, memaksa istri mereka untuk berhubungan seksual (dengan kata lain, melakukan marital rape—pemerkosaan dalam pernikahan—yang konsepnya masih sering didebatkan di Indonesia), hingga meyakinkan perempuan bahwa posisi mereka ada di bawah laki-laki dan karena itu harus menjadi perempuan yang serba-menurut dan tidak pernah mempertanyakan apapun.

Beberapa orang mungkin akan membela dengan mengatakan bahwa laki-laki seperti itu bukan benar-benar orang yang religius, melainkan hanya beribadah untuk mempertahankan citra dirinya di hadapan orang lain. Hal itu betul, tapi kita tidak bisa menyangkal bahwa semua laki-laki yang rajin beribadah lalu banyak mendapatkan kekaguman dan idealisasi yang sama dari masyarakat, terlepas dari apakah mereka benar-benar religius atau hanya beribadah tanpa menghayati ajaran agamanya. 

Selain itu, tidak mudah membedakan kedua jenis laki-laki tersebut. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya adalah dengan menghabiskan banyak waktu dengan mereka, dan pada saat itu, mungkin jenis laki-laki yang salah sudah melakukan sesuatu yang merugikan si perempuan. Kita tidak bisa menyalahkan perempuan yang sulit membedakan laki-laki yang sungguhan religius dengan yang hanya terlihat religius.

Itulah kenapa menjadi religius tidak cukup, dan kenapa “rajin beribadah” bukan tolok ukur yang ideal. Itulah kenapa saya tidak pernah menobatkan “rajin beribadah” sebagai faktor paling penting yang menentukan segalanya dalam kriteria pasangan ideal saya. 

Sholat lima waktu atau rajin pergi ke gereja setiap minggu tidak cukup. Berhentilah terkesan dengan laki-laki yang rajin beribadah. Beribadah bagi sebagian orang merupakan kewajiban, tapi ada juga orang yang menganggap itu personal, ada keragaman pilihan yang harus kita pahami. Kalau kita ingin tahu apakah seorang laki-laki benar-benar baik, coba lihat bagaimana mereka bersikap di masyarakat, bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang status sosialnya lebih rendah dari mereka, dan terlebih lagi, bagaimana mereka memperlakukan perempuan, apalagi saat seorang perempuan memiliki pandangan yang berbeda dari mereka, atau tidak menjalani hidup yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dianut si laki-laki. 

Memperlakukan perempuan dengan baik bukan selalu berarti bersikap “memuliakan”, yang seringnya justru berujung pada membatasi ruang gerak dan keinginan pribadi si perempuan dengan alasan ingin melindungi; bukan pula bersikap layaknya gentleman sejati yang terobsesi dengan bersikap ksatria yang malah bisa berujung pada memperlakukan si perempuan sebagai seseorang yang tidak bisa apa-apa dan selalu butuh bantuan dalam setiap hal—melainkan memperlakukan perempuan sebagai manusia yang setara, sebagai manusia yang memiliki agensi atau kemampuan untuk membuat pilihannya sendiri, dan sebagai manusia yang sama-sama hidup di dunia ini serta pantas mendapatkan rasa hormat paling standar yang bisa diberikan seorang manusia kepada yang lain.

Untuk para perempuan, yuk, tingkatkan standar kalian. Kalian pantas mendapat pasangan yang baik. Cobalah cari laki-laki yang memiliki kebaikan hati, integritas, dan kompas moral yang lurus.

Alifya Maheswari Putri W.

Seorang mahasiswa Sastra Inggris dan pegiat isu gender yang mencintai buku dan warna ungu. Dia menulis ulasan buku dan film serta kehidupan perkuliahannya di https://allthingsliterature750154581.wordpress.com/. Kontak dia melalui Instagram di @alifya31.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!