Awkarin Dihujat Soal ‘Nikah Beda Agama’: Ribetnya Urus Nikah Beda Agama di Indonesia

Menikah beda agama di Indonesia selalu dijadikan polemik. Bukan saja pandangan masyarakat yang tabu, namun putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak memperbolehkan nikah beda agama jadi hambatan. Di Indonesia yang warganya sangat beragam agama dan keyakinan, mengapa menikah beda agama masih jadi hambatan?

Selebgram dan Content Creator, Awkarin Novilda, banjir hujatan warganet usai unggahannya soal nikah beda agama viral di media sosial. Di akun Instagram pribadinya, Awkarin memposting “Bisakah kita menjalin hubungan beda agama?”

Tak sedikit warganet yang menganggap Awkarin mendukung pernikahan beda agama. Sebab pendapatnya menyebutkan bahwa pernikahan beda agama banyak yang berjalan baik-baik saja. 

“Di banyak contoh pun, perkawinan campuran antara muslim dan non-muslim berlangsung baik-baik saja tanpa keributan dalam rumah tangga,” tulisnya, Senin (6/2). 

Warganet semakin heboh saat Awkarin bilang, ada mazhab besar Islam yang dikatakannya mengizinkan nikah beda agama. “Padahal juga terdapat mazhab besar Islam yang mengizinkannya dengan syarat tertentu,” kata Awkarin di unggahan itu. 

Dengan postingan ini, sejumlah netizen meminta bukti dan ‘pertanggungjawaban’ Awkarin.

Pendapat Awkarin tersebut, muncul tak lama setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan No 1 Tahun 1974. Seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya, upaya melegalkan pernikahan beda agama kembali “dimentahkan”. 

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan pada Selasa (31/1). 

Gugatan UU Pernikahan ke MK ini terbaru dilakukan oleh pemohon bernama Ramos Petege. Dia merupakan pemeluk agama Katolik yang gagal menikah dengan perempuan beragama Islam. Makanya Ia berharap, pernikahan beda agama bisa diakomodasi oleh UU Perkawinan. 

Dirinya meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 2, serta Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974 itu inkonstitusional. Sebab menurutnya, pernikahan adalah hak asasi dan ketetapan Tuhan dengan siapapun, terlepas dari perbedaan agama. Tak ada alasan negara melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. 

Namun MK tetap memutuskan menolak permohonan itu. MK menilai dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum. Di samping itu, MK menganggap tidak ada urgensi untuk menggeser pendirian MK atas keputusan-keputusan sebelumnya. 

Dari sembilan hakim di MK, ada dua hakim yang memberikan alasan berbeda yakni Suhartoyo dan Daniel Yusmic Foekh.

Menikah Beda Agama, Sulit Mengurusnya

Konde.co pernah mewawancarai dan mengumpulkan hasil diskusi dari beberapa orang yang menikah beda agama dan jungkir balik mengurusnya. 

Menikah beda agama juga jadi tantangan bagi Laki-laki asal Bekasi, Damianus. Dia merupakan seorang Katolik dan pasangannya beragama Islam. Ia pernah disindir kalangan keluarganya karena pilihannya untuk menikah beda agama. 

Ia kerap disindir di acara-acara keluarga. Di keluarga Indonesia, kadang kemarahan tidak diungkap secara terbuka, tapi diungkap lewat sindiran atau omongan yang tak enak didengar. Kondisi ini juga dialami Damianus ketika menikah beda agama

“Disindir-sindir waktu ada pengajian keluarga (calon istri). Tekanan keluarga. Gak ada keluarga yang datang (pas pernikahan), yang datang keluarga inti saja dari dia,” ujar Damianus saat berbincang dengan Konde.co, Rabu (23/4/2022).

Laki-laki tiga puluh tahunan itu mengaku lahir dan tumbuh di lingkungan Katolik membuatnya relatif lebih terbuka untuk menikah beda agama. Selain aturan agamanya yang tidak melarang, pola pikir dan pengalaman di keluarganya juga mempengaruhi. 

“Cuma di catatan sipil juga tetap ditanyain, ini beda agama ya? Terus bilang aja, kan sudah keluar di gerejanya, jadi akhirnya keluar (izin nikah),” katanya. 

Pengalaman nikah beda agama juga dialami oleh perempuan beragama Katolik bernama Elizabeth Ayudya asal Klaten, Jawa Tengah. Dia melangsungkan pernikahannya dengan pasangan muslim bernama Harry Wahyu di Gereja Katolik St Jusuf Pekerja Condongcatur, Sleman, Yogyakarta pada September 2018. 

Elizabeth bersama pasangan juga tak lepas dari komentar dan stigma negatif dari sekitarnya. Namun, mereka memutuskan untuk memasang “muka tembok” atau tak mempedulikan omongan negatif itu. 

“Sejak kami pacaran, kami ya udah sadar,  harus rai gedek (muka tembok – bahasa Jawa), bodo amat atas omongan orang, kami yakin akan bisa bahagia berdua. PR nya meyakinkan keluarga suami,” tutur Elizabeth dalam diskusi daring Pernikahan Beda Agama: Jungkir Balik Menuju Pelaminan tayang di Youtube Katolikana, Senin (28/4/2022). 

Eliz panggilan Elizabeth itu mengaku, selama menjalin hubungan pernikahan itu mereka berdua berkomitmen untuk saling toleransi dan tak memaksa. Termasuk soal agama dan pilihan anak mereka nantinya 

“Saya dan suami sama-sama menghargai pilihan masing-masing dan mendidik anak dengan ajaran cinta kasih. Kami mengajarkan dia bebas memilih mana yang paling cocok bagi dia,” imbuhnya. 

Tak kalah penting, Eliz berpendapat pola komunikasi juga penting untuk menjalani kehidupan pernikahan beda agama. Misalnya saja, tidak langsung “tersulut emosi” saat menghadapi problematika kehidupan dengan perbedaan pandangan masing-masing. 

“Kami pacaran kebetulan cuma 8 bulan, struggle-nya muncul pas pernikahan. Kami saling menerima, diketawain aja dulu (masalahnya), semakin dipikirin semakin pusing,” ujar perempuan yang menjadi pekerja media itu. 

Ini artinya, penyesuaian dalam perkawinan itu tidak hanya menyangkut soal beda agama, tetapi juga beda sifat, beda kebudayaan, hal-hal yang lazim harus disesuaikan

Menikah beda agama di Indonesia selalu dijadikan polemik. Bukan saja pandangan masyarakat yang tabu baik dikaitkan dengan norma agama maupun sosial, namun juga aturan pemerintah yang banyak jadi hambatan. Di Indonesia yang warganya sangat beragam agama dan keyakinannya, mengapa menikah beda agama masih jadi sesuatu yang sulit dilakukan? 

Komnas Perempuan: Putusan MK Perkuat Diskriminasi Perempuan 

Komnas Perempuan menyesalkan Putusan MK soal uji materiil UU Perkawinan pada 31 Januari 2023 tersebut.  Ini merupakan kali kedua usai sebelumnya Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra juga mengajukan uji materiil yang sama (Putusan No 68/PUU-XII/2014). 

“Kedua putusan tersebut (2014 dan 2023) tidak mendasar pada berbagai masukan para pihak termasuk Komnas Perempuan,” tulis Komnas Perempuan dalam pernyataan resminya yang diterima Konde.co pada Senin (6/2). 

Pihaknya menyayangkan MK tidak mempertimbangkan Pandangan Komnas Perempuan yang telah memberikan keterangan tertulis (Ad Informandum) yang diserahkan MK pada 7 November 2022 lalu dan dirilis kepada publik pada 24 November 2022. Komnas Perempuan menekankan, MK mestinya mempertimbangkan hambatan administrasi pernikahan bagi perempuan yang menikah beda agama. 

Menyoal konsep pernikahan, Komnas Perempuan juga tetap pada pendapat bahwa frasa “membentuk keluarga” dalam Pasal 28B ayat (1) UUD RI Tahun 1945 merupakan bentuk realisasi “setiap orang berhak” dan tindakan “membentuk keluarga” adalah pada kehendak bebas (free consent) warga negara sebagai pemegang hak dasar (right holder) yang secara asasi masuk dalam ranah privat atau keperdataan.

Oleh karena itu, kehadiran hukum negara dalam proses ‘membentuk keluarga’ adalah bersifat komplemen dan seharusnya menghormati terhadap hak sipil kewarganegaraan. Di sisi lain, pernikahan beda agama juga semestinya beririsan erat dengan hak dasar kebebasan beragama yang dijamin Konstitusi RI.

“(Namun yang terjadi justru–red) Sekalipun tidak ada pelarangan secara eksplisit terhadap pernikahan beda agama, namun interpretasi agama mempengaruhi cara bekerja aparatur negara untuk membatasi perkawinan beda agama ini. 

Komnas Perempuan mencatatkan, perempuan mengalami stigma lebih dibandingkan laki-laki ketika memilih melakukan pernikahan beda agama. Pengaduan ke Komnas Perempuan menunjukan bahwa perempuan yang menikah beda agama dianggap melakukan zina, perempuan sebagai anak diusir dari rumahnya, dan rentan mengalami kekerasan dari keluarga. 

Kekerasan yang dilakukan oleh keluarga antara lain berbentuk memisahkan paksa perempuan dari pasangannya/suami dan anak-anaknya, kekerasan psikis dan ekonomi. Hal serupa dialami oleh perempuan penghayat yang melakukan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama yang tidak dicatatkan dapat menimbulkan berbagai dampak sosial terhadap anak-anak yang dilahirkan.

“Dengan demikian, perempuan dalam posisi subordinat baik secara sosial maupun tafsir keagamaan, kondisi itu sangatlah diskriminatif dan penyebab kekerasan terhadap perempuan,” imbuh Komnas Perempuan.  

Komnas Perempuan lantas mendesak dua hal. Pertama, DPR dan Pemerintah mesti segera melakukan kajian yang lebih mendalam dan komprehensif tentang realitas perkawinan beda agama, dan dampak berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. 

“Dialog konstruktif dengan melibatkan banyak pihak termasuk para perempuan yang mengalami hambatan administrasi perkawinan karena berbeda agama, sehingga dapat memberikan perlindungan kepada semua warga negara,” katanya.

Selain itu, MK juga perlu mempertimbangkan saran dan masukan dan Lembaga Negara Hak Asasi Manusia (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan KND/Komisi Nasional Disabilitas).

“Dengan memanggil sebagai pihak terkait dan/atau ahli untuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan penghormatan, perlindungan dan  pemenuhan hak asasi manusia khususnya perempuan,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!