Perempuan dan Napas Kesenian Feminis dalam Biennale Jogja Khatulistiwa

Di Jogjakarta napas kesenian yang menggunakan citra dan nuansa feminis semakin banyak ditemukan lewat karya-karya seniman perempuan muda dalam seni rupa khususnya.

Jogjakarta, 6 Januari 2023.  Diskusi mengenai kesenian berlangsung secara menarik dan ramai di kalangan akademisi, seniman, dan anak muda pada siang hari yang mendung. 

Terlihat banyak seniman muda yang antusias untuk mengikuti jalannya diskusi yang menghadirkan tokoh-tokoh seni di kota istimewa. 

Alia swastika sebagai ketua biennale Jogjakarta terlihat segar dalam balutan busana yang rapi namun menyenangkan dipandang. Pak St. Sunardi yang datang tepat waktu dan mengisi formulir pendaftaran, juga Saraswati yang menjadi penulis biennale dengan fokus 3 perupa perempuan. 

Di Jogjakarta nafas kesenian yang menggunakan citra dan nuansa feminis semakin banyak ditemukan lewat karya-karya seniman perempuan muda dalam seni rupa khususnya. Banyak sekali gagasan-gagasan domestik dengan mengangkat kebutuhan rumah tangga, sirkulasi peran ibu, perempuan dalam rumah yang bisa masyarakat lihat. 

Biennale Jogja adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajat Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk ‘membaca kembali’ dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). 

Dalam perhelatan biennale tentu kita bisa melihat kiprah penulis dan seniman perempuan yang mumpuni. Seperti Saraswati yang berani berbicara mengenai wacana perempuan dan subaltern dalam biennale equator. 

Kami dengan senang meliput perspektif Saraswati, dan merasa gembira ketika menelusuri perspektif perempuan dalam kerja-kerja kurasi biennale. 

Awalnya masih awam dengan wacana seni rupa, karena kesenangan nya dengan K-pop, lalu mencoba lebih lugas dan detail mencari kontribusi seniman perempuan dalam biennale yogyakarta. Tentu saja pengalaman perempuan bisa dijadikan produksi sekaligus penciptaan ulang pengetahuan untuk disebarkan luaskan ke masyarakat dan publik seni. 

Tiga seniman perempuan itu adalah Citra Sasmita, Ampane Satoh, dan Sheba chhachhi. Dalam sesi tanya jawab dengan Saraswati, terlihat ia menjelaskan mengenai proses penelitian yang panjang dan tidak mudah karena hanya bisa mewawancarai Citra sasmita, dan belum berhasil mewawancarai Ampane satohh dan Sheba Chhachhi. 

Kerangka yang dijalankan dalam penelitian Saraswati menggunakan asas empati dan mengumpulkan dari berbagai sumber. Saraswati mengambil benang merah pada 3 perempuan perupa yang dipilihnya. Fokus yang menarik adalah mengenai pendisiplinan tubuh, dimana perempuan selalu ini seolah harus patuh dan mengikuti aturan dan norma yang berlaku pada masyarakat. 

Pil KB, kehamilan, kontrasepsi semuanya menjadi keharusan bagi perempuan untuk menjalani kehidupan yang direncanakan pemerintah. 

Program Keluarga Berencana (KB) yang direncanakan masih belum melibatkan penuh laki-laki, menurut catatan yang dikumpulkan dari sumber-sumber seperti layanan kesehatan, banyak laki-laki yang belum memahami sepenuhnya dengan program ini. Banyak laki-laki yang bersedia dengan program KB dengan pilihan vasektomi asalkan tersedia layanan, sarana dan prasarana yang memadai. 

Karya Citra Sasmita yang diteliti oleh Saraswati menekankan pada perlindungan perempuan dan fokus pada energi penjagaan yang melingkar sentripetal, dalam karya Satoh, Saraswati menerangkan bahwa militer tidak bisa mengintervensi kebebasan ekspresi dalam berpakaian. Perempuan muslimah tetap konsisten memakai jilbab atau burqa. Sedangkan pada pada karya chaachhi menekankan pada perempuan dan pencarian spiritualitas. Chhachii sendiri menuliskan bahwa, perempuan-perempuan yang berani berhubungan dengan spiritualitas mereka bisa menemukan kembali ruang milik sendiri yang terbebas dari patriarki dan dapat bertransformasi. 

Saraswati begitu runut ketika menjelaskan keterlibatannya dengan biennale Yogyakarta, meski begitu dalam sesi tanya jawab, ia begitu menyesal karena hanya bisa melakukan penelitian lebih lanjut dengan perupa Citra Sasmita. 

Ketertarikan Saraswati dengan isu gender terlihat dari geraknya yang luwes dan penyampaiannya di forum dengan bahasa yang penuh dengan pengalaman. 

Dalam penyampaiannya, Saraswati memiliki harapan dapat memproduksi kembali pengetahuan perempuan dalam wacana kesenian biennale Yogyakarta. Ia juga terlihat penuh sukacita ketika menuliskan tiga perupa perempuan dalam tulisan nya di buku 10 tahun biennale jogja khatulistiwa. 

Kampanye feminisme di Yogyakarta semakin berkembang dalam ruang -ruang kesenian. Diharapkan dimasa depan proses penulisan seni penciptaan perempuan dapat diarsipkan dan dikembangkan sebagai bentuk pengetahuan dari dan oleh perempuan untuk generasi yang akan datang. 

Sudutkantin.com menulis, soal apakah wacana dalam ruang seni bisa menjadi jendela perubahan dari setiap persoalan yang ada di suatu Negara? Karena kerap sebagian orang yang mengunjungi galeri pameran adalah hanya sekadar untuk mengabadikan foto ataupun momen, dan pamer di sosial media. Atau, mereka yang sudah memiliki tujuan awal datang ke pameran dengan niat untuk belajar seni lebih dalam akan menanyakan beberapa pertanyaan kepada seniman, kurator, maupun gallery sitter di ruang pamer ataupun memberanikan diri untuk mengontak sosial media mereka.

Proses kerja keras untuk menyikapi permasalahan di suatu negara mungkin bisa banyak menggunakan berbagai cara. Potret sejarah yang sering kali dilihat adalah dengan menggunakan aksi demo di jalan. Namun ada juga yang menyikapi permasalahan negara dengan menggunakan tulisan, musik, ataupun melakukan performance art sebagai bentuk apresiasi maupun protes.

Jessica Ayudya Lesmana

Penulis Waria Autodidak dan Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!