Perempuan Tomboy Dianggap Lebih Keren Daripada Laki-laki Feminin? Stop Stigmatisasi

Apakah laki-laki yang feminim dianggap tidak keren dibanding perempuan tomboy? Sebagai generasi muda yang lebih memahami konteks ini, alangkah baiknya jika kita mengubah dan meluruskan pola pikir ini, stop stigmatisasi pada keduanya

Pernah dengar sebutan tomboy atau sebutan banci? Ya. Sebutan tersebut merupakan sebutan yang seringkali diutarakan kepada mereka yang dianggap berperilaku diluar standar gender mereka. Sebagian besar orang masih sering mengaitkan feminin dengan perempuan dan maskulin dengan laki-laki

Tomboy merupakan sebutan bagi para perempuan yang dianggap maskulin dan berperilaku seperti laki-laki. 

Sedangkan banci merupakan sebutan bagi laki-laki yang berperilaku feminin seperti perempuan. Oleh karena itu, tidak jarang pula mereka melabelkan bahwa perempuan yang berlagak layaknya laki-laki atau tomboy, dan laki-laki yang berlagak layaknya perempuan atau banci sebagai sebuah penyimpangan gender dan kodrat sosial. 

Istilah feminin dan maskulin tidak asing di telinga kita, apalagi bagi kamu generasi muda. 

Feminin sendiri diartikan sebagai segala hal yang bersifat kewanitaan atau sisi perempuan yang dipersepsikan sebagai kelembutan, kebaikan, kesabaran, keprihatinan, empati, dan lain lain. 

Sedangkan maskulin merupakan sifat yang bertolak belakang dengan sifat feminin. Maskulin sendiri diartikan sebagai segala hal yang bersifat kejantanan. Tak bisa dipungkiri bahwa di kalangan masyarakat, kata maskulin sudah melekat dengan laki-laki dan hal-hal yang berbau fisik, ketahanan mental, serta perilaku seseorang yang bersifat jantan dan “kuat.”

Pandangan Umum Mengenai Feminin dan Maskulin

Sifat maskulin umumnya dianggap lebih keren daripada laki-laki yang memiliki sifat feminin.

Semuanya kembali lagi kepada pemahaman kuno masyarakat umum mengenai kedudukan sosial. Orang-orang masih sering menganggap laki-laki (maskulin) lebih kuat, tinggi dan keren daripada perempuan (feminin). 

Pemahaman ini terjadi karena dari dulu di mata kebanyakan orang, seseorang dengan sifat maskulin yaitu laki-laki, lebih superior dibandingkan seseorang dengan sifat feminin, yaitu perempuan

Konstruksi Di Masyarakat: Kenapa ini yang Diyakini Terus- Menerus?

Dalam kehidupan sosial sehari-hari, tidak jarang ada mitos yang menyatakan bahwa laki-laki lebih sering bisa diandalkan dan dipandang daripada perempuan. 

Kebanyakan masyarakat masih menganggap bahwa laki-laki memiliki kedudukan atau peran yang lebih tinggi dan penting dibandingkan dengan perempuan. Bahwa tugas seorang laki-laki dengan maskulinitasnya adalah untuk melindungi para perempuan yang dianggap lebih lemah dan tidak berdaya dengan sifat feminimnya. 

Oleh karena itu, mereka pun memandang maskulin atau sifat yang lebih condong kepada laki-laki lebih keren dan kuat daripada feminin atau sifat yang lebih condong kepada perempuan.

Hal ini dapat kita lihat dari berbagai komentar yang keluar dari masyarakat mengenai seseorang yang berperilaku diluar mereka. 

Gender merupakan konstruksi sosial yang mengarah kepada karakteristik, status dan peran seseorang dalam suatu kelompok masyarakat di suatu wilayah. Umumnya, konstruksi gender memberikan label pada perempuan yang dikaitkan dengan sifat feminin dan laki-laki dikaitkan dengan sifat maskulin.

Meskipun masih banyak masyarakat yang memandang perempuan lebih rendah daripada mereka memandang laki-laki, tidak bisa dipungkiri pula bahwa laki-laki yang memiliki sifat feminin kerap kali memperoleh lebih banyak hujatan daripada perempuan yang bersifat maskulin.

Semua ini terjadi karena masyarakat masih memandang feminin sebagai sifat yang lebih condong ke perempuan, lemah, butuh perlindungan, terlalu emosional dan kurang berperan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sedangkan sifat maskulin lebih dibutuhkan perannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Komentar-komentar seperti:

“Wah! Kamu keren ya, tomboy seperti laki-laki, kuat angkat-angkat, sifatmu tegas dan gentle sekali.”

“Kamu perempuan, kenapa sifat kamu ga lembut? Jangan kasar-kasar ah, jangan sok tegar.”

“Kok kamu make-up an, sih? Kok kamu sabar banget? Lembut banget? Seperti perempuan saja. Banci, ya?”

“Ayo laki-laki tidak boleh nangis, masa gitu saja nangis. Jangan cengeng, yang kuat dong.”

Seringkali kita dengar atau kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Semua komentar-komentar yang tercipta karena stereotip gender, sifat feminin dan maskulin sangat sulit untuk dihindari. T

Tidak jarang pula komentar-komentar tersebut malah membuat orang yang mendengarnya sebal dan menjadi tidak percaya diri dengan jati diri mereka. Masyarakat masih memandang bahwa femininitas itu lebih lemah daripada maskulinitas, padahal seharusnya semua sifat dari semua itu sama saja.

Pandangan masyarakat yang sedemikain rupa malah membuat citra sifat feminin semakin rendah. Orang-orang yang menunjukkan sifat feminin malah disebut alay, lebay dan bahkan banci jika hal itu ditunjukkan oleh laki-laki. Tidak peduli siapa pun yang menunjukkan sifat feminin berlebihan tersebut, mereka akan dipandang lebih rendah di mata kebanyakan orang. 

Pola pikir dan pandangan masyarakat seperti inilah yang harus diluruskan kembali, dan hal ini pula lah yang menyebabkan feminisme harus semakin diperjuangkan, karena sejatinya feminin dan maskulin itu setara.

Bagaimana Cara Mengatasinya?

Sebagai generasi muda yang lebih memahami konteks ini, alangkah baiknya jika kita perlahan demi perlahan mengubah dan meluruskan pola pikir yang mengatakan bahwa sifat feminin itu lebih rendah daripada sifat maskulin. Hal ini dapat dimulai dari teman-teman, keluarga atau orang-orang dekat yang berada di sekitar kita. 

Beri mereka pengertian dan pemahaman mengenai feminin dan maskulin, serta bagaimana kesetaraan gender itu perlu ditegakkan dan tidak ada gender yang lebih superior dibandingkan gender yang lain. Padahal ini tidak boleh dianggap lebih rendah daripada mereka yang memiliki sifat maskulin lebih tinggi.

Dengan demikian, gerakan kesetaraan gender serta feminisme dapat semakin berkembang dan meluas. Orang-orang yang awalnya memiliki pandangan serta pola pikir bahwa feminin itu lebih rendah daripada maskulin dapat berkurang dan akhirnya mengubah pola pikir mereka.

Livinia Theresya Martin

Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Binus University Malang.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!