Makna ‘Hari Pelukan’: Ingatkan Kasih Sayang dan Sehatkan Mental

Tanggal 21 Januari dikenal sebagai Hari Pelukan. Hari ini merupakan hari penting karena banyak orang yang malu menunjukkan kasih sayangnya di depan umum dengan pelukan.

Tau gak lagunya Mawang yang judulnya Kasih kepada Orang Tua (2021). Itu sepanjang lagu, liriknya cuma ‘Nu hina hinu hinu, ya’ Nu hina hinu hinu, ya’ terus aja gitu diulang-ulang sampai habis. Ditambah teriakan-teriakan absurd yang bikin melongo. Tapi kalau dipikir-pikir cerdas juga ide bikin lagunya.   

Simpel. Namun, sebenarnya penuh makna. 

Lagu Kasih kepada Orang Tua itu sangat related bagi seorang anak yang susah banget menggambarkan kasih sayangnya kepada orang tua. Buat ngomong aja ‘Aku sayang Mama, Papa’ berat banget. 

Gengsi. Apalagi, sampai peluk mereka di depan umum. Duh, malu! Pola menunjukkan ‘kasih sayang’ ke orang tua ini, sebenarnya bisa jadi juga mempengaruhi relasi ke orang-orang terdekat. Jadi canggung aja gitu, mau bilang sayang dengan cara pelukan. Sering banget kita dengar percakapan seperti ini.

Satu abad lebih sebelumnya, pada tahun 1986, laki-laki asal Amerika Serikat bernama Kevin Zaborney, tampaknya merasakan hal ini juga. Dalam sejarah, dia kemudian tercatat sebagai pencetus Hari Peluk Nasional atau National Hugging Day yang diperingati setiap tanggal 21 Januari. 

Dilansir dari National Day, Kevin memilih tanggal 21 Januari sebagai Hari Pelukan Nasional itu karena waktu itu bertepatan dengan liburan musim dingin. Hari-hari setelah tahun baru yang menurutnya kala itu adalah waktu banyak orang merasa ‘tidak bersemangat’. Banyak orang yang malu menunjukkan kasih sayangnya di depan umum dengan pelukan. 

Dalam bahasa Norse Kuno sekitar 450 tahun lalu, istilah peluk atau hug berasal dari kata ‘hungga’ yang artinya ‘menghibur’. Inilah kenapa, peluk biasanya juga digunakan sebagai cara memberikan penghiburan pada orang yang sedang bersedih, butuh semangat, atau sekadar memvalidasi apa yang sedang dirasa.

Pelukan untuk Membantu Penyintas

Beberapa tahun lalu, saat letusan gunung berapi di Semeru memberi dampak kepada masyarakat, pelukan menjadi isu yang banyak dibicarakan. Termasuk bagaimana caranya menyehatkan mental seperti mengelola perasaan takut dan cemas yang dialami para penyintas. 

Human Initiative pernah melaporkan, bantuan yang pertama-tama digulirkan selain kebutuhan pokok adalah juga bantuan penanganan kesehatan mental. Human Initiative bersama Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri (IKALUIN) Jakarta serta Kesehatan Mental Indonesia memberikan bantuan kepada warga terdampak erupsi dengan layanan pendampingan psikososial. Bentuknya berupa pertolongan psikologi atau Psychological First Aid (PFA). 

PFA ini bertujuan memberikan ketenangan, kenyamanan, serta perasaan aman serta harapan kepada para penyintas erupsi Semeru. Salah satunya melalui pelukan. 

Teknik ini, sadar atau gak sadar, sebenarnya juga sering kita jumpai pada seorang yang sedang menenangkan sahabatnya saat curhat masalahnya, proses menenangkan teman yang baru saja terkena pelecehan atau kekerasan, dan lainnya. 

Lalu, apakah memang begitu besar manfaat pelukan itu? 

Secara ilmiah, pelukan —-yang tentunya berdasar consent—- itu punya banyak manfaat secara kesehatan. Mulai dari meningkatkan sistem imunitas tubuh, mengurangi depresi dan stres. Disebabkan rasa bahagia, perasaan senang, aman, dan nyaman dari ekspresi kasih sayang berpelukan. 

Penelitian Touch Research Institute di University of Miami School of Medicine mengungkapkan, sentuhan dan pelukan memiliki efek besar terhadap kesehatan tubuh. Berpelukan bahkan bisa mencegah berbagai penyakit, meredakan sakit, meningkatkan kekebalan tubuh pasien kanker hingga membuat bayi prematur lebih cepat tumbuh. 

Sistem saraf tubuh bisa diseimbangkan dengan pelukan. Kulit yang mengandung jaringan itu membuat respons dengan otak. Saraf parasimpatik itu kemudian menjadi semakin seimbang dan fungsinya makin baik. 

Pelukan Bisa Jadi Upaya Sehatkan Mental

Isu kesehatan mental utamanya kalangan anak muda sekarang memang tidak main-main. Masifnya sosial media tapi minimnya ruang aman bisa jadi salah satu faktor berpengaruh. Kehadiran orang-orang tercinta serta dukungan secara ‘nyata’ di era sosial media, jadi isu yang banyak dijumpai. 

Karakter remaja yang tertutup memungkinkan bikin situasi makin buruk. Mereka yang mengalami pengalaman traumatis seperti bullying, kekerasan dalam pacaran, pelecehan hingga penyerangan seksual, kesulitan mengungkapkan ekspresi perasaannya. Hal ini bisa menimbulkan respons emosional negatif berupa kecemasan.

Konde.co pernah menuliskan bahwa lebih dari 44% remaja dilaporkan mengalami perasaan sedih dan putus asa pada paruh pertama tahun 2021. Angka ini berdasarkan laporan dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. 

Laporan awal tahun 2022, yang didasarkan pada survei online, juga menemukan bahwa hampir 20% remaja telah mempertimbangkan untuk bunuh diri secara serius. Sedangkan, 9% lainnya sudah mencoba upaya bunuh diri. 

Situasi pandemi Covid-19 yang penuh kecemasan, kemungkinan besar menjadi kontributor angka yang mengejutkan ini. Meningkatnya penyakit mental remaja ini, tak lepas dari faktor penting dari orang tua dan lingkungan terdekatnya yang kurang memberikan perhatian serta dukungan berkualitas. Termasuk, gesture mengungkapkan kasih sayang seperti pelukan.  

Remaja yang mengalami kecemasan namun tak punya cukup ruang mengekspresikannya ini, mengalami pergolakan atau gangguan psikologis seperti emosi yang lekas marah, masalah tidur, kecenderungan perfeksionis, atau bahkan anti sosial dengan menghindari hal-hal yang menyebabkan stres. 

Jumlah remaja yang mengalami situasi tersebut nyatanya tidak sedikit. Sebanyak lebih dari 17% remaja kini yang tengah berjuang melawan depresi. Tanda umum depresi itu seperti hilangnya minat atau kesenangan pada aktivitas sehari-hari. Perasaan sedih yang mendominasi. 

Remaja bisa juga jadi menarik diri dari keluarga atau aktivitas sosial. Parahnya bahkan depresi ini bisa menimbulkan aksi seperti melukai diri sendiri dan bunuh diri. Semua dampak itu bisa disebabkan dari akumulasi emosi-emosi negatif yang tidak dirilis. Sesimpel dengan dikikis kecemasannya dari sebentuk pelukan. 

Jadi, sudahkah kamu memeluk orang-orang tercintamu hari ini? Atau gak papa juga, kalau kamu memeluk dirimu sendiri saat ini. Tenang ya, semua akan baik-baik saja. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!