Budaya patriarki jika dilihat dari perspektif perempuan muda seringkali menjadi sebuah realita masalah.
Perempuan muda yang terjebak dalam budaya ini seringkali merasa terhambat dalam mengejar impian dan aspirasi mereka. Mereka juga menghadapi tekanan sosial untuk mematuhi norma-norma gender yang telah terbentuk dalam masyarakat.
Hal ini menghambat mereka dalam menentukan pilihan karir atau pendidikan, hak untuk mengambil keputusan atas kehidupan mereka sendiri. Bahkan hak untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas sehingga menyebabkan timbulnya perasaan termarjinalkan dalam berbagai situasi.
Namun, seiring dengan berkembangnya pemahaman mereka terkait dampak negatif dari melekatnya budaya patriarki ini, mereka mulai berjalan pelan-pelan untuk melakukan perubahan dalam budaya ini.
Perempuan muda dapat menjadi agen perubahan dalam upaya melawan budaya patriarki. Mereka aktif mencari cara untuk mengatasi ketimpangan gender dan mempromosikan kesetaraan. Hal ini dilakukan melalui berbagai bentuk dukungan terhadap gerakan feminisme. Berpartisipasi dalam advokasi hak-hak perempuan, dan memecahkan stereotip gender melalui proses aktualisasi diri dalam berbagai bidang.
Mereka percaya bahwa menepis budaya patriarki merupakan suatu keharusan untuk dapat menciptakan kehidupan yang lebih inklusif, adil, dan merata bagi semua individu, tanpa memandang gender.
Perempuan muda dapat memanfaatkan komunitas atau organisasi yang mereka ikuti sebagai ruang untuk mengaktualisasi diri. Misalnya, di lingkungan kampus, mereka dapat mempelajari ilmu baru atau sebagai ajang belajar menjadi sosok pemimpin di organisasi.
Selain itu, seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi, perempuan muda dapat memanfaatkan platform media sosial untuk menyuarakan perspektif mereka dan membangun komunitas yang mendukung perubahan sosial. Mereka dapat menjadikan platform online sebagai ruang untuk berbagi pengalaman, mendiskusikan isu-isu gender, dan menginspirasi satu sama lain.
Dalam hal ini, perempuan muda memainkan peran yang sangat krusial dalam perjuangan menuju era post-patriarchy yang lebih setara dan inklusif.
Baca Juga: Susah Payah Perempuan Meretas Cibiran ‘Ujung-ujungnya Di Dapur’
Patriarki secara harfiah diartikan sebagai “kekuasaan bapak”. Berarti dalam lingkup keluarga, sosok bapak berperan sebagai pelindung dan pemimpin.
Secara luas, budaya patriarki dapat dimaknai sebagai suatu budaya di mana posisi laki-laki dianggap sebagai pemilik kontrol utama dalam masyarakat dan memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun. Sementara perempuan diposisikan sebagai kaum yang lemah dan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat. Sehingga perempuan cenderung berada pada posisi inferior (Rabbaniyah & Salsabila, 2022).
Budaya patriarki menjadi masalah struktural yang memengaruhi individu, kelompok, dan masyarakat secara luas.
Di Indonesia, sangat sulit untuk mengurangi atau menghilangkan pola pikir patriarki yang telah tertanam. Sebab, patriarki di Indonesia tidak tumbuh sebagai entitas budaya yang independen, melainkan telah meresap dan menyatu dalam budaya masyarakat setempat.
Sebagai contoh dalam budaya masyarakat Jawa, dimana paham patrilineal masih mengakar kuat hingga saat ini. Terdapat banyak istilah Jawa yang menekankan pada inferioritas perempuan dibanding laki-laki. Misalnya, kanca wingking (istilah untuk menyebut istri, yang berarti teman belakang atau teman yang mengurusi urusan rumah tangga), macak, manak, masak (disebut dalam Serat Candrarini yang berarti istri harus berpenampilan menarik, mampu memberikan keturunan, serta mampu memasak untuk suami dan keluarga), dan masih banyak istilah-istilah lainnya.
Budaya patriarki yang melanggeng dan bertahan hingga saat ini menjadi suatu realita yang dianggap sebagai norma dan diterima oleh masyarakat sebagai hal yang lumrah. Kondisi ini menciptakan konsep hegemoni yang menimbulkan relasi kuasa yang terjadi tanpa adanya paksaan. Di mana pihak yang kurang berkuasa menerima ketimpangan kekuasaan secara sukarela.
Hal ini juga menunjukkan bahwa budaya patriarki tidak hanya sebatas eksis, melainkan telah menjadi bagian integral dari dinamika sosial yang sedang berlangsung.
Baca Juga: Celebrating or Empowered? Melihat Seksisme Tubuh Perempuan dalam Kontes Kecantikan
Dalam budaya ini, perbedaan gender menjadi dasar dan hirarki sosial yang telah memengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari rumah tangga hingga ranah publik.
Namun seiring meningkatnya kesadaran akan kesetaraan gender, mulai banyak langkah kecil yang dilakukan terutama oleh perempuan muda untuk bisa menepis hegemoni budaya patriarki di era modern ini.
Kampus sebagai Laboratorium Eksperimen Sosial
Mengenyam pendidikan tinggi menjadi suatu hal yang mampu membuat perempuan muda merasa lebih baik dan percaya diri terhadap masa depannya.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pendidikan tinggi, maka jumlah perempuan muda yang mengenyam pendidikan tinggi juga turut meningkat. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2020 hingga 2022 menunjukkan bahwa persentase perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi lebih banyak dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2020 persentase perempuan yang mengenyam jenjang pendidikan tinggi mencapai 32,21% sementara laki-laki sebesar 29,55%, pada tahun 2021 persentase perempuan sebesar 33,42 sementara laki-laki sebesar 29%, dan pada tahun 2022 persentase perempuan sebesar 33,55% sementara laki-laki sebesar 28,91%.
Berdasarkan data tersebut, dapat kita amati bahwa persentase untuk perempuan semakin meningkat dari tahun ke tahun, sementara persentase laki-laki justru semakin menurun. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan muda cenderung semakin aware akan pentingnya pendidikan tinggi untuk dapat mencapai potensi terbaik mereka.
Baca Juga: Bukan Cuma Tren, Saatnya Intervensi Mansplaining di Tempat Kerja
Mereka meyakini bahwa kampus dapat menjadi tempat bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri. Tidak hanya mendalami bidang keilmuan yang mereka tekuni, melainkan juga menjadi tempat untuk melakukan uji coba eksperimen sosial. Kegiatan-kegiatan eksperimen sosial merupakan kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan interaksi sosial antar manusia dalam kegiatan mereka sehari-hari.
Di lingkungan kampus, kegiatan-kegiatan ini dapat dilakukan dengan cara bergabung di beberapa organisasi. Seperti unit kegiatan mahasiswa, organisasi mahasiswa, atau komunitas-komunitas tertentu.
Sebagai laboratorium eksperimen sosial, kampus berperan sebagai sarana bagi mahasiswa. Tak terkecuali perempuan muda untuk mengadvokasi konsep-konsep kesetaraan gender dan feminisme. Mereka juga dapat melakukan penelitian mengenai isu-isu gender, mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif. Menciptakan budaya kehidupan kampus yang mendukung kesetaraan, serta menyediakan ruang aman bagi mahasiswa.
Peran Perempuan Muda dalam Pembebasan dari Belenggu Budaya Patriarki
Proses aktualisasi diri pada perempuan muda telah mendorong mereka untuk dapat menjadi agen yang berpengaruh dalam upaya pembebasan dari budaya patriarki.
Dalam hal ini, perempuan muda memegang peranan yang sangat krusial. Mereka mewakili generasi yang membawa semangat perubahan untuk menghadapi hegemoni. Serta melanggengnya norma-norma patriarki yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat.
Perempuan muda dapat menjadi pionir dan sosok pemimpin aksi-aksi sosial untuk mengatasi segala bentuk ketimpangan dan diskriminasi gender. Melekatnya kreativitas dan semangat mereka akan mendorong inovasi dan strategi perubahan sosial. Selain itu, mereka dapat menepis berbagai stereotip gender serta menentang norma tradisional yang mengikat peran gender. Dalam hal ini, perempuan muda berusaha untuk merangsang perubahan budaya, dari patriarki menuju post-patriarchy.
Berbagai bentuk hasil eksperimen sosial dan pengalaman yang mereka peroleh dari lingkungan kampus dapat menjadi bekal bagi mereka. Jadi, mereka bisa mengimplementasikannya di lingkungan masyarakat secara luas. Mereka dapat secara aktif melakukan edukasi kepada masyarakat berkaitan dengan isu gender dan dampak negatif budaya patriarki. Mereka dapat menggunakan platform media sosial, kampanye-kampanye pendidikan, atau acara publik untuk melakukan advokasi.
Baca Juga: Trend Tradwife Apakah Cocok untuk Hidupmu? Bagaimana Feminisme Melihat Ini
Melalui cara ini, mereka dapat menjembatani kesenjangan dalam pemahaman terkait isu gender dan mengubah pandangan masyarakat secara luas. Proses aktualisasi diri seharusnya juga menumbuhkan sikap empati terhadap sesama. Dalam hal ini, perempuan muda dapat memberikan dukungan kepada sesama perempuan dalam perjuangan melawan patriarki. Mereka dapat menciptakan jaringan solidaritas yang kuat. Ini guna memberikan ruang bagi perempuan untuk mengekspresikan diri dan menyuarakan pendapat.
Secara keseluruhan, proses perempuan muda dalam mengaktualisasi diri dan melakukan eksperimen sosial di lingkungan kampus akan mendorong mereka dalam melakukan perubahan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan setara.
Proses ini memungkinkan mereka untuk mengekspresikan identitas dan aspirasi mereka tanpa hambatan patriarki. Hal ini menciptakan efek domino yang merembet ke dalam masyarakat secara lebih luas.
Mereka dapat menggabungkan teori dengan praktik, menguji inisiatif kesetaraan gender dalam konteks nyata, dan mengukur dampaknya.
Dengan demikian, perempuan muda yang aktif di kampus memiliki peluang memiliki keterampilan, pengalaman, dan wawasan yang diperlukan untuk membantu menepis belenggu budaya patriarki.