Kisah Indah dan Vega: Menjadi Janda dan Bahagia

Narasi tentang janda sebagai perempuan muda penggoda sudah waktunya ditinggalkan. Ada beragam kisah menarik tentang kehidupan mereka.

Kata janda merujuk pada perempuan yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun karena ditinggal mati suaminya. Istilah ini sebenarnya netral saja tapi dalam pemakaian sering dilekati dengan label negatif, sehingga seakan-akan kata ini menjadi negatif.

Selain itu ada kecenderungan reduksi terhadap kata janda. Ia dilihat dalam gambaran sempit sebagai perempuan muda penggoda atau perempuan tua yang memprihatinkan. Belum lagi stereotipe yang dilekatkan pada janda yang cenderung menempatkan seorang janda tak lebih sebagai objek.

Reduksi dan stereotipe seperti ini mengaburkan realitas kehidupan janda yang sangat beragam. Sebagai perempuan ia memiliki banyak identitas terkait suku, agama, ability, usia, kelas, pendidikan, status ekonomi, dll. Reduksi dan stereotipe akan menghasilkan gambaran yang tidak utuh dan merugikan para janda. Sementara perempuan yang berstatus janda seperti halnya perempuan lain sebenarnya punya kehidupan yang sangat kompleks.

Kita bisa dengan mudah menemukan kehidupan perempuan-perempuan janda yang ada di sekitar kita yang penuh warna-warni. Seperti kisah Indah dan vega yang dituturkan kepada Konde.co.

Bercerai, Sebuah Keputusan Personal

Bagi Indah tak ada yang lebih melegakan dari keluarnya keputusan pengadilan atas perceraian yang diajukannya.

“Pas dikasih tahu sama pengacara, ini sudah mbak, udah resmi tinggal nunggu 14 hari lagi untuk mastiin nggak ada yang komplen atau hal lainnya, udah kelar. Nah saat itu tuh plong, rasanya tuh udah lepas semua. Lega banget gitu. Jadi malah lebih nyaman, dan Itu juga malah lebih sehat sih jadinya secara emosional,” ujarnya.

Indah bercerai tahun 2022 setelah menikah selama 17 tahun dengan seorang laki-laki warga negara asing. Ia tinggal di Belanda sejak sebelum menikah. Tak lama setelah tinggal di Indonesia, ia memutuskan untuk bercerai.

Keputusan untuk bercerai diambil setelah melalui sejumlah proses. Melakukan couple counselling dengan psikolog dan pisah rumah untuk proses menenangkan diri. Pada akhirnya Indah memutuskan untuk bercerai setelah kemudian dia tahu suaminya selingkuh. Baginya rasa kepercayaannya sudah hilang.

“Orang-orang kalau dari luar selalu nggak ngelihat situasi di dalam, jadi nasihatnya pada pertahanin, pertahanin. Tapi kalau trust udah hilang ya susah ya di-build up lagi,” tuturnya.

Indah memilih untuk tak banyak mendengar omongan orang lain. Ia cukup selektif untuk mendengarkan masukan dan fokus pada dirinya sendiri dan apa yang ia inginkan karena ini menyangkut kebahagiaannya. Indah mengaku karena terbiasa tinggal di luar negeri jadi ia tidak terlalu terpengaruh omongan dari luar.

Sejak awal menikah Indah dan suaminya berkomitmen untuk tidak memiliki anak. Mereka berdua sama-sama punya karier, sama-sama suka traveling bareng. Karena itu punya anak bukan concern utama mereka.

Indah mengaku selama mengurus proses perceraiannya ia sangat terbantu karena punya prenuptial agreement atau perjanjian pranikah. Perjanjian ini tidak hanya mengatur soal properti tapi termasuk juga soal pensiun. Dengan perjanjian ini Indah dan suaminya sepakat membagi hartanya 50% untuk masing-masing.

Ketika mendaftarkan pernikahannya di Indonesia Indah juga membuat postnuptial atau perjanjian pasacanikah. Perjanjian ini dibuat karena perempuan Indonesia ketika menikah dengan orang asing akan kesulitan untuk membeli properti atas nama dirinya. Ketika ada postnuptial, maka hambatan tersebut bisa teratasi. Artinya perempuan tersebut bisa punya properti atas nama dirinya bukan atas nama suaminya yang warga negara asing.

Berdasarkan dua perjanjian tersebut Indah dan suaminya kemudian membuat perjanjian kesepakatan perceraian untuk mengatur harta gono gini. Perjanjian ini didasarkan pada prenuptial dengan dibuat lebih detail. Misal mobil jadi milik si A, rumah jadi milik si B, dll. Perjanjian tersebut kemudian di bawa ke pengadilan untuk proses perceraian. Jadi hakim tinggal menyetujui atau menolak kesepakatan tersebut.

Bagi Indah perjanjian-perjanjian tersebut sangat melindungi dirinya. “Siapa yang nyangka ya kalau dipikir-pikir. Kita kan nikah nggak pengen cerai ya. Tapi kan gini lho saya melihat dari diri saya sendiri, saya lebih dari 15 tahun bersama, nggak ada masalah ekonomi, kita traveling, hidup kita nyaman, mobil ada, rumah punya, semua ada, cerai juga gitu loh. Sama-sama punya keputusan, pola pikir dan pandangan hidup sama, tetap aja cerai,” tuturnya.

Jadi keberadaan perjanjian pranikah ini penting menurutnya. “Bukan bermaksud nggak romantis gitu ya, tapi untuk menjadikan kita rasional dan itu melindungi.”

Pengalaman serupa disampaikan Vega, bukan nama sebenarnya. Setelah 20 tahun menikah, Vega merasa sudah tidak ada kecocokan dengan mantan suaminya dan memutuskan untuk bercerai pada 2004. Vega punya latar belakang pendidikan hukum, jadi ia beracara sendiri di pengadilan. Ia minta contoh surat gugatan cerai ke temannya, seorang pengacara perceraian. Lantas ia menyusun surat gugatan cerainya dan diajukan ke pengadilan agama di Depok.

“Jadi aku bawa laptop ke pengadilan agama, terus aku print terus aku bilang ke kepala pengadilan, pak ini gugat cerai kayak gini sudah cukup belum. Dia bilang, oh bu kalau di pengadilan agama nggak begitu, itu format di pengadilan negeri. Ibu saya bikinkan format. Terus ya udah aku pakai format itu aku menggugat, aku masukin secara normal aja,” jelasnya.

Agar sidang cerai berjalan dengan cepat Vega meminta mantan suaminya untuk tidak perlu datang ke pangadilan. Cukup menemui panitera dan mengatakan menerima gugatan cerai tersebut. Pada sidang pertama Vega juga sudah mengajak serta saksi-saksi yang bisa menguatkan alasan perceraiannya.

“Jadi orang yang menjadi saksi itu harus bisa menunjukkan bahwa memang ada ketidakcocokan dan ya udah sidang berikutnya putusan. Jadi cuma datang dua kali sidang, putusan, terus ya udah selesai urusannya. Karena aku yang menggugat jadi aku yang membayar,” kata Vega.

Vega menambahkan penting bagi perempuan untuk tahu prosedur hukum baik untuk menggugat cerai maupun jika digugat cerai. Karena hal itu akan membantu dan mempermudah proses di pengadilan.

“Nah itu aku sudah memitigasi proses yang lama di pengadilan itu. Dan ternyata memang itu berhasil juga. Jadi memang step-step-nya sudah aku pikirkan secara rasional karena aku bukan pihak yang diceraikan. Aku menggugat cerai, jadi aku sudah lebih siap gitu daripada mantan suamiku itu,” katanya.

Dari pernikahan tersebut Vega memiliki 2 orang anak. Anak-anak inilah yang menjadi pertimbangan utama Vega sebelum memutuskan bercerai. Sebenarnya ia sudah mau mengajukan perceraian 10 tahun sebelumnya. Namun kondisi anak-anak yang masih belia membuatnya menunda dan menunggu hingga mereka cukup dewasa.

“Tapi aku juga berpikir, wah nanti kalau aku jadi janda gimana ya, aku lebih mikirin anak-anakku sih. Gimana ya anak-anakku kalau hidup dengan ibunya atau dengan bapaknya yang bercerai. Nah aku sebenarnya tidak terlalu memikirkan bagaimana persepsi orang terhadap perempuan janda. Aku lebih banyak memikirkan gimana ya anak-anakku nanti dia akan mendapatkan label anak broken home, dan segala macam. Jadi aku menunggu 10 tahun, menunggu sampai anakku dewasa,” tuturnya.

Ketika anaknya berumur 19 dan 16 tahun Vega mengonsultasikan rencananya untuk bercerai karena tidak bahagia dengan anak-anaknya. Mereka pun mendukung keputusan Vega.  

“Jadi aku ngomong sama anak-anakku ya, I am not happy. Karena dia sudah dewasa gitu ya, dia bilang, oke mom, kalau kamu nggak happy ya sudah terserah apapun yang kamu inginkan terserah aja,” ujarnya seperti disampikan Vega.

Bagi Vega perceraian bukan hal yang tabu untuk dibicarakan dengan anak-anak. Justru dengan mengonsultasikan hal itu dengan mereka maka kemungkinan adanya trauma bisa diantisipasi.

“Jadi menurut aku itu menjadi hal yang traumatis bagi anak-anak ketika dia tidak dikonsultasikan dan dia tidak diberi ruang untuk mengekspresikan kesedihan atau kekhawatiran,” kata Vega.

Vega juga memastikan meski ia bercerai tapi ayah mereka akan tetap hadir dalam momen-momen penting di kehidupan sang anak. Ia juga memberikan jaminan anak-anaknya tetap dapat melanjutkan sekolah seperti yang mereka inginkan. Vega terus mengikuti perkembangan anak-anaknya, memastikan mereka tidak mendapat perundungan akibat perceraian tersebut. Dia juga memberi pengertian pada anak-anaknya ketika mantan suaminya kemudian menikah lagi.

Menikah Lagi Bukan Satu-Satunya Pilihan

Bercerai dengan suami, menyandang status janda dan hidup sendiri tentu memiliki konsekuensi tersendiri. Terlebih di masyarakat yang masih memegang budaya patriarki. Kekhawatiran sempat dirasakan Indah, terutama soal bagaimana ia menjalin hubungan kembali. Termasuk juga apakah nanti masih bisa traveling seperti sebelumnya karena ada beberapa hal yang harus dinegosiasikan.

Selain itu yang juga menjadi kekhawatirannya adalah kesedihan dan kesepian yang akan dirasakan. Indah merasa ia tidak yakin bisa mendapatkan pasangan lagi apalagi di usianya yang sekarang, 47 tahun.

“Saya nggak ngelihat kalau perempuan itu lebih mudah dapat pasangan ketimbang laki-laki. Kalau mantan suami saya udah langsung dapat itu, jauh lebih mudah,” ujarnya.

Ketika pisah rumah Indah sempat mencoba untuk dating, tapi tidak berjalan lancar. Ia dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan.

“Selalu jadi pertanyaan kalau pas perempuan dating, selalu jadi isu. Si cowok selalu nanya kapan cerainya, kenapa nggak mau cerai, masih sayang ya sama mantan suaminya. Jadi tuh kayak ada keragu-raguan waktu itu. Banyak juga yang ngalamin seperti itu,” tuturnya.

Indah merasa hal ini tidak baik untuk kesehatan mentalnya. Karena ia merasa seperti stresnya jadi dobel, stres karena kesendirian dan stres karena statusnya. Akhirnya Indah semakin mantap untuk menceraikan suaminya.

Indah mengaku masih trauma untuk menjalin relasi dengan laki-laki. Ia sudah pernah menikah belasan tahun tapi pada akhirnya berpisah juga. Apalagi dengan yang baru dikenal. Selain itu Indah merasa ada juga laki-laki yang ketika dating menganggap bisa melakukan hubungan seksual ketika bertemu karena statusnya sebagai janda.

“Sebenarnya saya agak kesel juga. Kesannya karena saya udah pernah melakukan hubungan seksual terus dianggap itu suatu hal yang lazim dilakukan dan saya butuh itu. Seakan-akan begitu,” ujarnya.

Situasi ini membuat tingkat traumanya makin tinggi sehingga Indah berpikir untuk jeda dari kehidupan perkencanan. Sementara untuk menikah lagi Indah tidak terlalu berpikir ke sana, tapi setidaknya punya satu pasangan untuk jangka panjang.

“Kalau untuk menikah karena kemarin pengalaman trauma proses perceraian yang cukup lama, saya mikir-mikir juga gitu pernikahannya model seperti apa nanti. Apakah memang saya mesti benar-benar percaya dulu nih sama si cowok ini untuk benar-benar ngikat pernikahan,” ujar Indah.

Meski merasa trauma tapi Indah masih berminat mencari pasangan. Ia masih membuka diri untuk dating. Tapi dari pengamatannya teman-temannya yang sudah cerai rata-rata sudah malas dating. Karena itu Indah lebih banyak jalan bareng dengan teman-temannya yang belum pernah nikah.

Indah mengaku punya binatang peliharaan juga membantu mengatasi kesepian dan menjaga kesehatan mentalnya.

“Jadi kebetulan saya punya anjing yang ikut dari Belanda sampai sekarang, dan kebetulan jadi tinggal sama saya. Nah itu kadang-kadang jalan sama dia, hiking atau keluar Jakarta, jalan aja sama dia nyetir kemana, itu ngebantu juga sih sebenarnya. Ada companion gitu jadinya nggak sendirian. Punya pet gitu sebenarnya bisa bantu support mental health kita juga.”

Indah menambahkan mengikuti latihan muay thai secara rutin juga membantu dirinya dalam proses healing dari perceraian dan stigma janda. “Udah 2 tahun latihan muay thai dan itu empowering banget,” pungkasnya.

Berbeda dengan Vega, ia justru menikmati kesendirian setelah bercerai. Perasaan sedih atau kehilangan tidak terlalu dirasakannya.

“Aku pada dasarnya menikamati sendirian, aku kayaknya longing for it. Ketika punya suami gitu aku berpikir, alangkah enaknya kalau aku memutuskan apa-apa nggak usah tanya sama dia. Jadi memang aku menikmati sebenarnya sendirian itu dan mengasuh anak sendirian. Aku menikmati, kayaknya anakku juga menikmati kami hidup bertiga itu. Tapi pada saat itukan mereka sudah mau kuliah jadi anakku yang gede itu kuliah di Yogya. Yang kecil masih, tinggal sama aku SMA tetapi akhirnya dia pergi juga. Di rumah akhirnya aku sendiri dan aku menyibukkan diriku sendiri gitu,” tutur Vega.

Vega mengaku dirinya tidak pernah takut kesepian dan tidak takut tidak punya suami. Meski ia juga mengatakan ada orang-orang yang merasa tidak bisa sendirian setelah bercerai dan harus menikah lagi. Ia banyak menjumpai hal ini di antara teman-temannya. Vega merasa dirinya bukan termasuk golongan itu. Ia memilih lebih banyak melibatkan diri dalam aktivitas yang bersifat mengolah diri.

“Jadi aku menikmati aja kesendirianku ini. Dan aku mengubah pattern hidupku ya, misalnya banyak melakukan kegiatan-kegiatan yang memang lebih banyak reflektif. Aku lebih banyak meditasi, mencari teman-teman yang juga memang suka meditasi, kayak gitu ya. Sekolah lagi itu yang aku ambil setelah bercerai,” ujarnya.

Setelah bercerai Vega sempat bertemu dengan seseorang yang menarik dan cocok diajak ngobrol. Mereka kemudian berpacaran. Tapi begitu dia mengajak menikah Vega menolak. Ia tidak tertarik untuk menikah karena udah pernah menikah. Jadi hubungan tersebut tidak berlanjut. Ia menyadari pasangannya tersebut mungkin mencari security jadi ingin menikah.

Vega mengaku menikmati romatisme punya pacar tapi tidak tertarik untuk jadi istri dan menikah lagi. Ia merasa tidak bisa masuk dalam zona itu lagi.

“Aku nggak tertarik itu karena sudah pernah menikah. Aku bilang, I am not desain to be a marriage woman. Aku berpikir mungkin pernikahan itu memang nggak cocok untuk aku,” katanya.  

Saat ini Vega mengaku lebih banyak fokus pada dirinya sendiri. Anak-anaknya sudah menyelesaikan studi lanjut dan sudah bekerja bahkan sudah menikah. “Aku sekarang lebih banyak fokus pada diriku sendiri. Umurku sekarang udah 61, jadi lebih banyak fokus ke diri sendiri aja gitu,” pungkasnya.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!