Laki-laki Mesti Ambil Peran di Keluarga, Karena Perempuan Berbeban Ganda

Teater yang dimainkan El Na’ma bertajuk ‘Kisah Perempuan’ menceritakan realitas perempuan yang masih harus berjuang menjalani beban ganda di keluarga. Bagaimana seharusnya laki-laki mengambil peran dalam situasi ini?

Di tengah masyarakat patriarki, perempuan masih dihadapkan pada tuntutan untuk menanggung beban ganda. Urusan domestik seringkali dilimpahkan kepada perempuan, di satu sisi dia masih harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. 

Mereka adalah Gayatri, Hastanti, Adriyanti, Larasati, dan Ariani. Padahal perubahan harus dilakukan, laki-laki sudah saatnya mengambil peran. 

Situasi ini diceritakan oleh lima perempuan yang berasal dari berbagai latar belakang mulai dari pegawai hingga penjual pecel dalam pentas Teater El Na’ma di Lebaran Teater Festival Teater Jakarta (FTJ) 2022  di Goethe Haus, Goethe Institute, Jakarta, akhir tahun 2022

Kerja keras Gayatri (Karenina), kini perlahan membuahkan hasil. Dirinya diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Posisi yang Ia idamkan. Penghasilannya pun stabil. Dia bisa bantu-bantu suami. 

Namun seiring berjalannya waktu, dia justru menjadi tumpuan bagi keluarganya. Suaminya tidak berpenghasilan tetap sebagai wiraswasta. Makanya, Gayatri yang kini menghidupi keluarga. 

Profesinya sebagai PNS menjadikannya cukup padat aktivitas. Itu resikonya bekerja. Tapi lama kelamaan, Gayatri mengalami kelelahan luar biasa. 

Di rumah, Gayatri masih harus dibebankan pada pekerjaan domestik. Dia sering kecapaian karena tidak ada celah waktunya untuk sekedar rehat. Sementara dia juga harus tetap mengerjakan pekerjaannya di kantor. 

Gayatri hanya ingin suaminya paham dengan kondisinya. Laki-laki di rumah tangga mestinya bisa berbagi peran dengan istri. 

Serupa dengan kisah karyawan perempuan bernama Ariani (Anisatin Nufus). Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, dia menjalani pekerjaan sebagai karyawan swasta. Dia yang dituntut pula menjalankan pekerjaan domestik di rumah, menjadi sangat kelelahan. 

Suaminya lantas menuduh Ariani bukan istri yang baik. Sebab dia tidak bisa “melayani” suami dengan memuaskan dan menjadi penyebab suaminya akhirnya mencari perempuan lain. 

Ariani pun memutuskan cerai. Dia kemudian menjadi janda yang harus mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya. Sebab suami Ariani yang telah menjadi mantan, tidak mau bertanggung jawab. 

Kenyataan pahit itu mesti ‘ditelan’ oleh Ariani. Dia harus bekerja ekstra demi anak-anaknya. Di samping mengerjakan domestik, dia mesti menghidupi dan mencukupi kebutuhan mereka sendiri, yang semestinya bisa dibagi tanggung jawabnya. 

Kisah lainnya hadir dari sosok Hastati (Liga Duile). Dia mesti menanggung beban fisik dan mental dalam rumah tangganya. Suaminya terjerat banyak utang, yang menjadikannya harus bekerja keras untuk melunasinya. 

Tak banyak pilihan, Hastati menerima tawaran menjadi karyawan penagih utang (debt collector) yang berisiko. Dia pun mengambil sampingan berjualan kecil-kecilan di tempatnya bekerja. 

Sepulang ke rumah, Hastati juga masih harus mengerjakan aktivitas domestik. Dia dituntut untuk bisa menjadi ibu rumah tangga yang “baik” dengan mengurusi suami dan anak-anaknya. 

Larasati diperankan oleh Rukoyah, menjalani pekerjaan sebagai tukang sayur keliling, suaminya petani yang hanya mengurus ladang kecil, hidup Larasati begitu lara, apa boleh buat hasil tani dari ladangnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tak mau diri dan keluarganya hidup nelangsa,  Larasati dengan kerelaan hati berbagi beban dengan suaminya. Sementara dia berjualan sang suami menjaga anak di kampung. 

Namun seiring waktu, suami Larasati bukannya termotivasi cari kerja, malah “nyaman” di rumah dan ogah cari kerja. Tubuh Larasati makin remuk karena harus berjualan keliling membawa bakul untuk berjualan sayur dan mencukupi semua kebutuhan keluarganya. 

Harapan Larasati hanya ingin seperti ibu-ibu lainnya, ikut pengajian demi pengajian dan punya toko sembako di kampung.

Ayu Dikca memerankan perempuan penjual pecel keliling bernama Adriyanti. Kehidupannya membaik setelah dirinya berjualan pecel, keberanian dan tekadnya untuk merintis dari nol membuahkan hasil, Adriyanti berjualan dari pagi hingga sore hingga kerap merasa tulang belulangnya rontok. 

Andriyanti berbagi peran, suaminya di rumah masak masakan buat jualan pecel, urus rumah dan momong anak sementara dirinya jualan pecel keliling. Harapannya hanya ingin santai dirumah meluruskan punggungnya dan bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga punya Pendidikan tinggi.

Demi satu tujuan, memiliki rumah dan bisa menyekolahkan anak-anaknya. Mereka mengesampingkan mimpi dan harapan mereka. Mereka memecut diri mereka setiap hari demi masa tua yang nyaman dan bahagia. Beban ganda itu mereka tanggung sebab perempuan merasa lebih punya tanggung jawab untuk mempertahankan rumah tangga dan menjaga kestabilan kehidupan orang-orang yang mereka cintai. 

Sutradara Teater El Na’ma, Laila atau akrab dipanggil Ulil ini mengungkap, alasan mengangkat tema perempuan berawal dari keresahan perempuan soal beban ganda yang kerap membuat mereka hidup dalam kelelahan dan ketidakbahagiaan. 

“Pada mulanya mereka membantu keluarga agar mencukupi kehidupan dan membahagiakan keluarganya, tapi akhirnya mereka justru terjerembab pada kelelahan yang tak terperi.. apalagi jika laki-laki (di masyarakat patriarki) menganggap kerja domestik adalah kewajiban istrinya,” ungkapnya kepada Konde.co, Sabtu (10/12).

Laila menegaskan melalui naskah ini, penyebab perempuan menjalani beban ganda akibat pola pikir patriarki yang masih kental di tengah masyarakat. Bahwa istri selalu harus yang menanggung beban domestik. Di satu sisi seringkali, dia juga yang harus bekerja. 

Sebab tak sedikit perempuan yang mencari nafkah akibat akibat tingginya kebutuhan hidup, rendahnya penghasilan suami, ketidakmampuan suami mencari nafkah, besarnya tanggungan anak dan biaya pendidikan yang tinggi membuat perempuan tak akan mampu tinggal diam dan segera memiliki inisiatif untuk membantu keluarga.

Saatnya Perempuan Bersuara

Melalui pentas teater ini, Laila hendak mengajak para perempuan untuk bersuara. Kisah yang diambil dari kisah nyata perempuan-perempuan yang Ia wawancarai dan tuliskan menjadi naskah itu, bisa menjadi refleksi atas realitas. 

Keterlibatan perempuan dalam seni pertunjukan ini, juga menjadi upaya untuk terus mendorong perempuan agar bisa lebih “muncul”. Hal ini terkait, minimnya potret perempuan dan isu-isu perempuan yang ada di seni teater. 

Konde.co sebelumnya pernah menuliskan bahwa perempuan pekerja seni banyak yang masih dikonstruksi lekat dengan pekerjaan di belakang layar. Perempuan dianggap hanya mampu mengurusi printilan-printilan manajemen panggung teater. Bukan sebagai sutradara, aktris ataupun sosok yang disorot. 

Stigma terhadap perempuan pekerja seni juga masih banyak ditemukan. Seperti, perempuan dianggap terlalu emosional sehingga tak mampu memimpin kerja teater yang bersifat kolektif, tidak rasional mengambil keputusan, dan tak punya waktu yang lentur untuk berproses. 

Laila sebagai sutradara teater perempuan ingin mendobrak stereotip itu. Upaya itu dia lakukan dengan mendorong lebih banyak perempuan masuk dalam ruang kerja teater yang seringnya didominasi laki-laki. Laila juga terus berupaya memberi kepercayaan pada perempuan dari hulu ke hilir produksi teaternya, dari belakang hingga depan panggung. 

”Perempuan harus diberi haknya bukan cuma diberi kesempatan, berikan perempuan haknya agar perempuan bisa maju dan mengembangkan diri, karena sebetulnya konstruksi panggung keburu menempatkan perempuan bukan pada ruang yang bisa dilihat,” terangnya. 

Melalui pentas teater ini, Laila memberi pesan bahwa kerja-kerja domestik tidaklah selalu diidentikkan dengan perempuan. Sehingga menyebabkan perempuan terjebak dalam beban ganda. 

”Kerja domestik itu dalam lingkup berbagi peran dengan laki-laki,” tandasnya.

Peran Laki-laki di Lingkup Domestik

Peran laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan feminisme bagi laki-laki dan mengajak mereka untuk lebih aktif mendukung dan melakukan nilai-nilai kesetaraan gender baik di ruang publik maupun hubungan rumah tangga. 

Hafidin di Konde.co menulis, peran laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan menjadi penting karena statusnya dalam budaya patriarki mendapatkan privilege (hak istimewa) berupa kekuasaan dan dominasi. 

Menjadi laki-laki feminis berarti berupaya untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan sekaligus menyuarakan bahwa status privilege dalam budaya patriarki selama ini adalah salah dan perlu adanya pengaturan serta pemolaan ulang peran-peran sosial dan rumah tangga yang berbasis kesetaraan gender.

Upaya laki-laki untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan bisa dilakukan dengan menjadi laki-laki feminis yang bekerja sama dengan perempuan untuk mewujudkan kesetaraan gender melalui kampanye dan edukasi secara konsisten. 

Di Indonesia, sudah ada gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kaum laki-laki untuk meningkatkan kesadaran laki-laki terhadap kekerasan yang dialami perempuan dan memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan gender. 

Salah satunya adalah Aliansi Laki-Laki Baru (ALB), sebuah gerakan yang memiliki kepentingan untuk mencegah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan serta kelompok minoritas lainnya dengan cara mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender kepada masyarakat terutama kepada kelompok laki-laki. 

Peran laki-laki untuk mewujudkan kesetaraan gender bisa dilakukan dengan mengupayakan pemaknaan ulang terhadap konstruksi sosial yang ada, laki-laki harus terlibat langsung dengan melakukan komunikasi kepada masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai feminisme serta bergabung dengan gerakan-gerakan yang menolak kekerasan terhadap perempuan.

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!