‘Panduan Mempersiapkan Perpisahan’: Romansa Muda-Mudi Digilas Realita 

Film “Panduan Mempersiapkan Perpisahan” adalah film yang bercerita bahwa cinta saja tidak cukup. Jika tidak cuma cinta, lalu apa? Ada nilai-nilai patriarki, lingkungan yang menjerat romansa muda-mudi disini.

Seorang laki-laki mengendarai mobil dengan seorang perempuan duduk di sampingnya, di kursi penumpang. Di dalam scene yang berwarna hitam-putih, keduanya terlibat perdebatan apakah harus melanjutkan perjalanan atau pulang. 

Keduanya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. 

Kamera kemudian menyorot api unggun dengan warna oranye-nya. Laki-laki dan perempuan itu tak terlihat, tapi suara perbincangan mereka masih terdengar. Si perempuan mengatakan akan pergi selama tiga bulan ke Taiwan. Setelahnya, si laki-laki bilang kalau sepertinya ia menyayangi si perempuan, yang dibalas dengan, “sayangnya, aku nggak“.

Film “Panduan Mempersiapkan Perpisahan (2023)” berkisah tentang hubungan romantis antara Bara (Daffa Wardana) dan Demi (Lutesha). Disutradarai oleh Adriyanto Dewo, film yang diputar di aplikasi Bioskop Online ini berdurasi lebih pendek dari film panjang biasa, yakni hanya sekitar 1 jam 8 menit. Sejak awal, cerita berjalan dengan alur campur, dari masa kini yang ditandai dengan gambar hitam-putih, ke masa lalu yang justru ditandai dengan gambar berwarna. 

Bara diceritakan sebagai penulis laki-laki yang tinggal di Yogyakarta. Pada suatu diskusi film, ia yang sedang memberi makan kucing liar, di hampiri oleh Demi. Keduanya kemudian berbincang sambil merokok bersama, yang menjadi muasal kedekatan mereka. Sementara itu, Demi merupakan seorang mahasiswi yang berasal dari Jakarta. Selepas lulus, Demi  juga bekerja dan menetap di sana. Hanya saja ia beberapa kali pergi ke Yogyakarta untuk mengunjungi Bara.

Demi sebagai Manic Pixie Dream Girl

Mulanya, tokoh Demi ditampilkan sebagai perempuan dengan pemikiran yang nyentrik, tidak normatif, dan kritis terhadap nilai-nilai patriarkis di sekelilingnya. Hal ini tampak dari dialog-dialognya dengan Bara. Salah satunya, Demi  mengkritisi bagaimana masyarakat lebih bisa menerima laki-laki yang melakukan eksplorasi seksual, dibandingkan perempuan. 

Pada awalnya, Demi tampak seperti manic pixie dream girl yang hadir untuk Bara. Ia perempuan yang Bara idamkan karena secara fisik menarik, punya sudut pandang unik terhadap kehidupan, dan menyukai tantangan. Sebagaimana karakter manic pixie dream girl lain, Dami juga tidak stabil, termasuk dalam mengambil keputusan. 

Menurut Nathan Rabin yang pertama kali menggunakan istilah ini, manic pixie dream girl hanyalah imajinasi penulis atau sutradara untuk memberi “bantuan spiritual” kepada protagonis laki-laki. Karakter perempuan dalam film ini bertujuan memberikan pelajaran hidup kepada protagonis laki-laki, dalam hal ini, Bara. Karena itu, film dengan kehadiran karakter ini biasanya berfokus pada tokoh laki-laki, sementara tokoh perempuan manic pixie dream girl itu sendiri tidak didalami. 

Namun demikian, spoiler sedikit, Demi kemudian ditampilkan memiliki permasalahan kompleksnya sendiri. Misalnya, ketika ia merasa dianggap sekadar mempermainkan perasaan Bara dan tidak berkorban. Pada akhirnya, ia harus mengikuti tuntutan orang-orang di sekitarnya untuk menjalani pernikahan.

Di lingkungan yang patriarkis, pilihan Demi sebetulnya bisa dimaklumi. Ia memilih menikah dengan laki-laki yang disetujui oleh orang tuanya, meskipun tidak ia cintai. Sayangnya, setelah penonton diberi secuplik gambaran keraguan Demi, penonton tidak diberikan penjelasan mengapa pada akhirnya Demi mau menjalani pilihan itu. 

Apakah karena Demi menganggap Bara ‘hanya penulis’ sehingga ia lebih memilih menikahi laki-laki lain yang, mungkin, berpenghasilan lebih besar? Kalau begitu, mengapa ia sempat ingin membatalkan pernikahan dan meminta Bara untuk kembali menjalin hubungan dengannya?

Stereotipe terhadap Perempuan melalui Tokoh Demi

Dengan durasi yang minim, film ini hanya berfokus pada momen-momen tertentu dalam hubungan Demi dan Bara. Karena itu, beberapa detail penting sepertinya terlewat. Salah satunya, alasan Demi memutuskan menikah dengan laki-laki yang tidak ia cintai. 

Akhirnya, saya menduga kalau suami pilihan Demi cukup mapan secara finansial. Pasalnya, pada awal-awal pertemuan mereka, Demi dan Bara sempat berbincang di satu kedai kopi di Yogyakarta. Saat itu, Demi bercerita tentang salah satu film favoritnya, dimana karakter perempuannya memilih membersamai pengusaha, alih-alih sutradara yang membuatnya jatuh cinta. 

Bagi saya, film ini menstereotip perempuan. Seolah perempuan hanya menikah dengan laki-laki yang memberikan kemapanan material padanya. Demi juga digambarkan sangat plin-plan, bahkan di detik-detik terakhir pernikahannya. Kalau ada film kedua dimana Demi bercerai dengan suaminya—atau minimal punya konflik serius, mungkin film ini akan lebih masuk akal. 

Mungkin film ini ingin berpesan kalau ‘cinta’ saja tidak cukup. Sepasang kekasih seperti Demi dan Bara membutuhkan keteguhan, kecukupan finansial, dan dukungan orang-orang sekitar untuk bisa bersama. Sementara itu, baik Demi maupun Bara sudah keburu menyerah pada realita—Demi kesulitan melawan perintah orang tua untuk segera menikah, sementara Bara juga enggan meninggalkan kenyamanan hidup sebagai penulis di Yogya demi menjadi lebih mapan.

Film ini juga kurang mendalami proses Bara sembuh dari lukanya. Ia mengaku membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa sembuh. Namun, tak seperti film dengan tokoh manic pixie dream girl lain yang biasanya juga berfokus menampilkan bagaimana tokoh laki-laki utama sembuh dari luka karena perempuan, film ini tidak menunjukan hal tersebut. Lagi-lagi penonton dibuat bertanya-tanya, apakah Bara menemukan ‘kesembuhan’ setelah menerbitkan tulisan-tulisan sedihnya? Bagaimanapun, berlatar tempat di Yogyakarta, gambar-gambar yang diambil oleh film ini menyenangkan mata. Akting Lutesha juga patut diapresiasi, meskipun cara bicara Daffa sebagai Bara agak mengganjal.

(Sumber Gambar: Kincir.com)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!