Virgo and The Sparkling: Superhero Remaja yang Ringan Tapi Klise

Ringan dan sederhana. Kalau kamu suka teen stories, dengan cerita ringan dan musik-musik segar plus action superhero, film “Virgo and the Sparkling” ini pas untuk kamu tonton.

Seorang anak menangis ketakutan bersembunyi di dalam lemari pakaian. Sementara di luar, terdengar suara laki-laki dewasa memaki-maki anak dan istrinya. Sesekali terdengar suara perempuan menyahut.

Teaser ini menjadi pembuka yang cukup menjanjikan dari Virgo and The Sparklings. Ia sekaligus menjadi benang merah cerita. Ada cerita tentang korban kekerasan di dalamnya.

Penonton kemudian dibawa menuju adegan tokoh utama, Riani (Adhisty Zara). Remaja SMA berusia 15 tahun ini harus berpindah-pindah sekolah lantaran dianggap berbeda dari remaja seusianya. Adegan ini dikemas dengan kocak. 

Hari itu ujian, Rianti bergegas ke sekolah, tapi ia malah masuk ke sekolah yang lama sedangkan dia sudah pindah sekolah. Di sekolah yang baru Rianti kena masalah lagi. Kertas ujian teman-teman satu kelasnya terbakar gara-gara percikan api yang keluar dari tangannya.

Riani memang punya keistimewaan, ia punya kekuatan api yang bisa keluar dari tangannya. Tapi ia belum bisa mengendalikannya sehingga tak jarang justru menimbulkan masalah. Keistimewaan lain yang dimiliki adalah sinestesia. Ia bisa melihat warna suara/bunyi, jadi ia bisa tahu kalau seseorang itu bicara jujur atau bohong. Sayangnya semua kemampuan ini membuat Riani dianggap berbeda dan tak punya teman.

Sampai akhirnya ia pindah ke sebuah sekolah di Bandung. Disinilah ia bertemu dengan Sasmi (Rebecca Klopper), Monica (Ashira Zamita) dan Ussy (Satine Zaneta). Riani lantas diajak bergabung sebagai vokalis band dari ketiga temannya tersebut. Sebelumnya Sasmi dan Monica tak sengaja mendengar suara merdu Riani saat bernyanyi sambil memetik gitar di ruang musik.

Virgo and The Sparklings adalah film ketiga dari Jagat Sinema Bumilangit, setelah Gundala dan Sri Asih. Berbeda dengan pendahulunya, film ini mengangkat kisah superhero remaja. Di tangan Ody Harahap, film ini tampil ringan dan penuh warna tapi cenderung klise.

Persahabatan, Percintaan, dan Persaingan dengan Resep Lama

Punya geng, bikin band, suka sama cowok dan punya saingan mungkin adalah hal-hal yang dialami sebagian remaja. Hal ini juga yang dipotret sebagai realitas remaja dalam Virgo and The Sparklings. Bisa dibilang 90 persen adegan film ini menampilkan interaksi Riani dan geng-nya: The Virgo.

Lewat The Virgo, band yang mereka bentuk, Riani dan teman-temannya merasa menjadi diri mereka sendiri. Ini pula yang membuat Riani terbuka dengan sahabat-sahabatnya soal kemampuan yang ia miliki. Saat mereka tahu Riani bisa mengeluarkan api, Riani bisa menyadarkan remaja-remaja yang kesurupan, merekalah yang kemudian membantu Riani mengendalikan kekuatannya. Riani berlatih agar kekuatan api bisa muncul saat dibutuhkan. Ia mengontrol kekuatannya, menghadapi serangan, terbang dan bermanuver.

“Tapi semuanya terasa gampang kalau lo punya temen-temen yang nerima lo apa adanya,” Begitu kata Riani soal pentingnya kehadiran teman-temannya dalam hidupnya. 

Tapi film ini menunjukkan itu hanya salah satu faktor saja. Ada aspek lain yang tampaknya punya peran penting.

The Virgo bisa berlatih dengan leluasa di rumah Ussy yang luas dengan garasi bisa menampung beberapa mobil dan motor besar. Ada studio di lantai atas dengan grand piano dan peralatan musik lainnya. Halaman rumahnya yang luas bisa dipakai Riani untuk menjajal dan melatih kekuatannya tanpa ada gangguan. Ketika The Virgo mengikuti kompetisi pencarian bakat Stardom, mereka bisa membeli outfit keren tanpa pusing soal harga. Singkatnya Virgo and The Sparklings adalah cerita superhero remaja dari lingkungan dan kalangan menengah atas.

Sementara romansa dan persaingan dalam film ini dikemas dengan rumus lama yang cenderung klise kalau tak bisa dibilang stereotipe. Kamu tentu familiar dengan alur cerita dua cewek memperebutkan satu cowok. Bagaimana karakter kedua cewek digambarkan dan pada siapa pilihan si cowok dijatuhkan bisa dengan mudah kamu tebak.

Warna juga menjadi unsur penting dalam film ini. Warna cerah menjadi pilihan The Virgo. Warna yang bisa memberi kesan ceria, polos, dan seru. Sementara warna hitam di film ini direpresentasikan sebagai hal buruk dan kekuatan jahat.

Ini cara yang mudah memang untuk membedakan antara kekuatan baik dan buruk, protagonis dan antagonis. Tapi penyederhanaan semacam ini cenderung memunculkan stereotipe. Apalagi ketika rumus semacam ini juga dipakai untuk menampilkan karakternya. Yang terjadi karakter dari masing-masing tokoh jadi monoton dan membosankan. Tak ada kompleksitas karakter yang justru akan membuat karakter lebih hidup.

Karakter utama yakni Riani juga belum diperkenalkan dengan baik. Bagaimana Riani bisa punya kekuatan api? Darimana asal mula kekuatannya? Kenapa kekuatan itu juga bisa melemahkannya? Tak ada penjelasan atas hal ini.  

Konflik Orang Tua Versus Anak

Konflik antara orang tua dan anak menjadi benang merah dalam film ini. Konflik ini dapat menimbulkan luka batin pada anak yang lantas bisa jadi alasan untuk melakukan kejahatan.

Situasi ini yang membuat Riani terpanggil untuk menyelamatkan dunia. Mengerahkan kekuatannya untuk menyelamatkan anak-anak yang kerasukan dan menyerang orang tuanya. Sekaligus mencari tahu dalang dibalik segala kekacauan tersebut dan tentu saja mengalahkan si penjahat.

Semua tokoh dalam film ini diceritakan punya persoalan dengan orang tuanya. Riani yang merasa dianggap selalu membuat keonaran dan kekacauan di sekitarnya dan dituduh perokok. Ussy yang ayahnya ingin ia belajar musik klasik. Sementara dirinya lebih menyukai musik rock. Karena itu ia harus sembunyi-sembunyi saat latihan band dengan the Virgo di rumahnya.

Begitu juga Monica yang ditentang ayahnya untuk bermain musik karena ia ingin anaknya fokus sekolah. Sasmi yang merasa tidak dipahami oleh ibunya dengan cita-citanya sebagai pebisnis. Termasuk juga Leo (Bryan Domani), sang fotografer. Ia diceritakan tidak didukung ayahnya dengan pilihannya menjadi fotografer hingga ia pergi dari rumah. Tapi justru hal itu melecutnya untuk mewujudkan cita-citanya dan membuatnya berhasil jadi seorang fotografer.

Sosok yang digambarkan sebagai penjahat di film ini juga punya konflik dengan orang tuanya. 

“Orang tua memaksakan kehendak mereka yang tidak tercapai untuk kita, memaksakan apa yang tidak kita inginkan,” ujarnya. 

Sayangnya konflik yang dialami sang antagonis ini tidak banyak diolah. Dialognya tersebut juga terasa kurang sinkron dengan adegan flashback yang menggambarkan peristiwa traumatis yang dialaminya. Selain itu karakter si antagonis ini juga tidak banyak dieksplorasi.

Selain konflik dengan orang tua, dialog-dialog yang diucapkan Riani menunjukkan ketakpercayaan sang tokoh pada sosok otoritas.

“Emangnya guru bisa apa?”

“Mama sama papa tahu kan kalau polisi itu nggak bisa ngapa-ngapain.”

Meski begitu bisa dibilang sikap ini lebih menegaskan pada rasa percaya dirinya sebagai seorang pahlawan. 

“Gue bisa aja sih cuek. Tapi gue percaya menyelamatkan dunia bukan hanya hak orang tua,” katanya. Jadi dialog ini bukan sebuah gugatan atas otoritas yang timpang dan bermasalah. Ya pada dasarnya ini film superhero! 

Pada akhirnya mereka memilih bicara baik-baik dengan orang tua mereka agar The Virgo tak bubar. Karena dengan lanjut ikut kompetisi mereka akan bisa menghentikan niat jahat sang antagonis membuat kekacauan. Film ini menunjukkan terbuka dan berkomunikasi dengan baik bisa membuat orang tua mendukung mereka.

Ringan dan sederhana memang. Kalau kamu suka teen stories, dengan cerita ringan dan musik-musik segar plus action superhero, film ini pas untuk kamu tonton.  

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!