‘Orde Baru Itu Masih Ada, Hanya Berganti Jas’: Film ‘Eksil’ Ceritakan Nasib Diaspora Penyintas 1965

Film 'Eksil' karya Lola Amaria menyajikan kegetiran para diaspora Indonesia yang disingkirkan tanah airnya sendiri dan hantu Orde Baru yang masih gentayangan.

Pekan lalu, aku nonton film ‘Eksil’ di sebuah bioskop di Jakarta. Sepanjang menonton film garapan Lola Amaria hingga akhirnya selesai, ada campur aduk perasaan yang muncul. Aku keluar dari studio bioskop dengan linglung. Rasanya kepalaku kosong sekaligus begitu penuh, padat oleh pertanyaan dan jawaban.

Sekujur tubuhku rasanya dipenuhi oleh amarah terhadap Soeharto dan rezim Orde Baru-nya yang mewariskan trauma sedemikian rupa dalam lintas generasi ini. Dari generasi nenekku, orangtuaku, hingga padaku dan adik-adikku, yang bahkan tidak merasakan langsung 32 tahun tirani itu.

Trauma kolektif yang ditampilkan dalam film ‘Eksil’, dengan sepuluh narasumber seusia nenekku itu, hadir begitu nyata.

Tujuh sampai sepuluh tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku mengenal istilah ‘eksil’. Di waktu yang sama pula, aku mengetahui bahwa ada orang-orang Indonesia di luar negeri, bukan sebagai pelancong atau mahasiswa atau pekerja. Mereka adalah diaspora yang ini diasingkan.

Para ‘eksil’ itu dicekal dari tanah airnya selama puluhan tahun akibat kebencian dan ketakutan terhadap Soekarno dan komunisme di Indonesia. Tapi Indonesia masih ada dalam diri mereka, selalu.

Itulah yang disampaikan Lola Amaria melalui film dokumenternya, ‘Eksil’. Film ini pertama kali tayang di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2022 pada 27 November 2022. Kini kita bisa menyaksikannya di sejumlah bioskop di Indonesia sejak Februari 2024.

Eksil’ bukan film horor. Bukan film hantu sarat jumpscare. Tapi ‘Eksil’ adalah kisah nyata terkait pergantian rezim yang mengorbankan begitu banyak rakyat dan berlumuran darah. ‘Eksil’ adalah tentang pengasingan, penolakan, dan teror dari negara terhadap rakyatnya sendiri, yang mestinya dapat pulang untuk membangun negara tapi dibuang karena tak sejalan dengan penguasa.

Horor itu hadir saat para eksil yang menjadi narasumber menceritakan pengalaman mereka terdampar di negara asing, dibuang dan ditolak oleh bangsanya sendiri. Hantu itu ada dan senantiasa menghantui mereka dan kita.

Hantu itu bernama Orde Baru dan ia masih gentayangan.

Ada Indonesia dalam Diri Eksil

“Kami ini orang Indonesia, jadi orang asing bukan atas kemauan kami,” kata Asahan Aidit.

Dalam film ‘Eksil’, sutradara Lola Amaria melibatkan sepuluh diaspora eksil dari berbagai negara di benua Eropa sebagai narasumber kunci. Ada yang hidup di Jerman, Rusia—dulu Uni Soviet, RRC, Cheko-Slovakia, Swedia, Belanda, dan lain-lain saat produksi film berlangsung.

Salah satu narasumber yang langsung menggugahku begitu dikenalkan di awal film adalah Asahan Aidit. Familier dengan namanya? Meski itu barangkali pertama kali aku melihat sosok Asahan Aidit di bioskop, rasanya tidak mungkin tidak mengenali nama belakangnya: ‘Aidit’.

Asahan adalah adik dari Sekretaris Jenderal Partai Komunis Indonesia, D. N. Aidit. Orang yang sama yang sampai detik ini dituduh menjadi dalang pembunuhan para jenderal pada 30 September 1965. Dan sejak penumpasan besar-besaran oleh Orde Baru, tidak diketahui keberadaannya. Konon ia tewas. Konon ia kabur. Kisah-kisah Aidit dan PKI setelah Orde Baru berkuasa adalah tentang ‘konon’.

Tentu saja tidak hanya Asahan Aidit, narasumber-narasumber lainnya juga punya cerita menarik masing-masing. Ada Kuslan Budiman, seniman yang sempat pergi ke Tiongkok untuk belajar dan malah tak bisa pulang karena paspornya dicabut oleh negaranya sendiri.

Ada pula Sarmadji, yang begitu rajin mengumpulkan berkas-berkas dan buku-buku sejarah Indonesia—termasuk yang dilarang oleh Orde Baru—selama masa pembuangan, hingga ia mendirikan Perkumpulan Dokumentasi Indonesia. Juga Waruno Mahdi, yang sampai produksi film masih kerap merasa diawasi akibat pengalamannya selama menjadi eksil di Uni Soviet, dan sebagainya.

Baca Juga: Film ‘OOTD’: Impian Birmingham dan Cerita Di Balik Layar Fashion Designer

Sarmadji masih mempertanyakan, kenapa ia dan kawan-kawannya dijadikan eksil? Kenapa mereka tak boleh kembali ke tanah air mereka sendiri? “Salah apa? Wong saya ikut membela Republik, kok. Tetapi saya disingkirkan oleh mereka,” tegasnya dalam film.

Eksil’ bukan hanya soal cerita-cerita getir. Kadang ada lelucon yang entah disengaja atau tidak. Misalnya, soal Sarmadji yang diberikan sertifikat sebagai ‘tukang fotokopi’ oleh rekan-rekan kantornya saat ia pensiun. Atau kehangatan saat Hartoni Ubes dan tim produksi film mengobrol sedikit soal minuman yang Ubes sajikan di kediamannya. Bagiku yang tidak punya sosok kakek selama hidup lebih dari 25 tahun, ‘Eksil’ adalah ajang ‘curi kesempatan’ untuk mendengarkan ‘kakek’ bercerita. 

Yang terpenting, sejak awal film dimulai hingga layar ditutup, para eksil narasumber film ini teguh berkata bahwa mereka masih mencintai Indonesia. Bahwa ada beberapa yang akhirnya berpindah kewarganegaraan, itu lebih kepada situasi yang memaksa mereka. Tapi berkas administratif hanya berkas; Indonesia selalu ada pada diri mereka, bahkan sampai sebagian mereka tutup usia setelah produksi film ‘Eksil’ selesai.

“Kuburan kami ada di mana-mana, kuburan kami berserakan di mana-mana,” demikian kata Asahan Aidit. “Di berbagai negeri, di berbagai benua.”

Dikirim untuk Belajar, Tapi Orde Baru Tak Suka Intelektual

Hampir semua narasumber film ‘Eksil’ menjadi diaspora karena diutus oleh Indonesia pada masa Soekarno untuk menempuh pendidikan lanjutan. Makanya, lokasi mereka tersebar di berbagai negara. Ada yang menimba ilmu di Republik Rakyat Cina, ada yang di Uni Soviet, ada yang di Ceko-Slovakia, Belanda, dan seterusnya.

Ilmu yang mereka pelajari amat beragam dan sebetulnya dapat sangat berkontribusi untuk pembangunan Indonesia yang baru merdeka pada saat itu. Ada yang belajar Ilmu Kimia, Ekonomi, Pendidikan Anak di Luar Bangku Sekolah, dan sebagainya.

Tapi upaya kudeta terjadi, kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Soekarno bereskalasi, pembantaian massal menyisakan trauma mendalam bagi bangsa Indonesia.

Imbasnya pula, para mahasiswa di luar negeri dicabut kewarganegaraannya dari Indonesia karena mereka merupakan utusan Soekarno dan kebanyakan mereka menolak mengkhianati presiden pertama Republik Indonesia itu. Semua itu tak lain ulah Soeharto, yang kemudian bercokol di kursi presiden RI selama 32 tahun penuh darah rakyat.

Pergolakan juga terjadi di tengah para mahasiswa yang terjebak di luar negeri. Perdebatan sengit, kecurigaan dan tuduhan ‘komunis’ pada pihak-pihak yang pro-Soekarno, hingga pergulatan fisik mewarnai ketegangan para diaspora saat itu.

Diaspora perempuan pun mesti berjaga-jaga membawa semprotan merica dan peralatan bela diri lainnya untuk berjaga-jaga menghadapi serangan. Maksud hati belajar di negara orang, mereka malah ditinggalkan oleh negaranya sendiri seiring pergantian rezim.

Baca Juga: Film ‘Monster’: Kala Anak Hidup di Dunia yang Heteronormatif dan Salah Paham

Tentu kita tahu pula Orde Baru mencekal banyak sekali buku serta karya sastra dan seni yang dianggap berkaitan dengan komunisme. Bahkan bagi mahasiswa dan akademisi di Indonesia yang hendak mengaksesnya untuk kebutuhan ilmiah, harus melalui serangkaian proses birokrasi yang rumit dan makan waktu lama. Alhasil, mereka lebih memilih untuk mencari sumber dari luar negeri.

Orde Baru mematikan banyak hal—rakyat, seni dan budaya, ilmu, dan ke-bhinneka-an Indonesia. Para intelektual itu, alih-alih didukung oleh negara, malah dibuang begitu saja. Sebab Orde Baru benci kritik dan kepintaran. Lantas para ilmuwan, akademisi, dan intelektual itu menua dan meninggal sebagai eksil, dan sampai sekarang, tak banyak yang dilakukan pemerintah untuk menebus dosanya itu.

Tidak Ada Narasumber Perempuan di Film, Kenapa?

Kenapa tidak ada narasumber perempuan di film ‘Eksil’? Sutradara Lola Amaria menjelaskan ini dalam sebuah tayangan video di ‘Broscast Podcast’ di YouTube pada 19 Januari 2024.

Menurut Lola Amaria, awalnya ia hanya mendengarkan cerita para narasumber tanpa membawa kamera dan alat perekam. Kira-kira 30 narasumber perempuan dan laki-laki di Jerman, Belanda, dan lainnya menyambut baik dan bersedia membagikan kisah kepadanya. Kemudian terbersit niat Lola untuk membuat film tentang para eksil tersebut dan, tentu, ia membutuhkan izin dari narasumber-narasumbernya. Di sinilah kendala mulai muncul.

“Ketika sudah ada kamera dan alat perekam, mereka langsung refuse, menolak, dan mereka langsung mencurigai saya,” terang Lola. “Pada akhirnya, harus mengulang dari awal.”

Lola pun mesti menghadapi kecurigaan para narasumber begitu ia membawa peralatan untuk kebutuhan film. Ia mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kamu siapa sebenarnya?”, “Siapa yang mengutus kamu ke sini?”, “Siapa orang di belakang kamu?” dan sebagainya.

Akhirnya, Lola urung memasukkan narasumber perempuan dalam film ‘Eksil’. Dapat dipahami bahwa teror Orde Baru masih menghantui para eksil dan situasinya lebih rawan bagi eksil perempuan. Meski tidak ada narasumber kunci perempuan dalam film ‘Eksil’, masih ada sedikit cerita tentang nasib perempuan pasca-1965. Misalnya kisah dari eksil asal Sumatera, Chalid Hamid.

Baca Juga: Serial ‘Bestie 2’ Buktikan Sisterhood Bisa Kuatkan Perempuan di Masa Tersulit

Chalid dikirim ke Albania sejak 1958. Sejak itu ia terpisah dari istri dan anak perempuannya, yang saat itu masih dalam kandungan. Anaknya lahir beberapa bulan sebelum Gerakan 30 September 1965 terjadi.

Usai kejadian itu, pemerintah melalui angkatan bersenjata melakukan ‘operasi pembersihan’ massal di seluruh Indonesia. Jutaan rakyat yang dituding sebagai anggota PKI atau terafiliasi dengan PKI dan komunisme dalam bentuk apa pun ditangkap, disiksa, hingga dibunuh.

Chalid Hamid sendiri dicabut paspornya. Sementara itu, menurut Chalid, istri dan anak perempuannya yang masih bayi ditangkap dan dipenjara selama beberapa bulan. Usai bebas, sang istri menikah lagi dengan teman Chalid. Lelaki itu mengaku, ia justru senang istri dan temannya menikah. Sebab kehidupan keluarga tahanan politik (tapol) sangat kesusahan.

“Kalau ada cicak pun, itu dia tembak pakai karet, lalu dijadikan sate, karena tidak ada makanan,” ungkap Chalid.

Sementara itu, Kartaprawira memutuskan untuk bercerai dengan istrinya di Belanda dan pindah ke Jerman. Pasalnya, ia dan istrinya memikirkan nasib anak perempuan mereka yang baru menempuh pendidikan SMA di Belanda. Hingga film ‘Eksil’ dibuat, Kartaprawira tidak mau menikah lagi karena tidak ingin keluarganya mengalami kesulitan akibat statusnya sebagai eksil dan tapol.

Tentu jauh lebih baik jika film ‘Eksil’ dapat mencakup juga perspektif dan cerita perempuan di dalamnya. Namun, aku coba memaklumi karena mungkin ini juga mempertimbangkan keamanan dan kenyamanan eksil perempuan.

Perlu ada jaminan keamanan bagi eks-tapol dan eksil perempuan, jelas, agar cerita mereka tak terkubur oleh zaman dan rezim. Dan sampai kapan kita harus menunggu rasa aman itu hadir? Aku tak yakin ada jawabannya.

Yang ‘Hantu’ Bukan PKI, Tapi Orde Baru

Sarmadji menyambut tim produksi film ‘Eksil’ dengan waswas. Ia meminta agar informasi mengenai keluarganya tidak dimasukkan dalam film. Sebab, katanya kira-kira, “Mereka itu masih mengawasi kita. Saya nggak mau kalian kenapa-napa. Kalau saya, ya, nggak apa-apa. Tapi kalian-kalian ini, kalau kenapa-napa… Saya sedih nanti.”

Ia juga berulang kali memperingatkan tim soal Bersih Diri, Bersih Lingkungan—istilah mengerikan di Orde Baru.

Demi menyaksikan adegan itu, hatiku mencelos. Sarmadji mengatakan itu pada tahun 2015. Saat itu, bukan lagi Soeharto yang menjabat sebagai presiden—ia sudah wafat dan Orde Baru (katanya) sudah tumbang. Tapi horor itu mungkin melekat pada dirinya dan generasinya, juga diwariskan pada generasi-generasi yang lebih muda.

Aku sendiri datang dari generasi yang lahir beberapa tahun sebelum Reformasi 1998 terjadi, ketika Orde Baru dan Soeharto tumbang. Masih kecil dan tidak tinggal di Jakarta, aku tak merasa mengalami kekalutan dan kesulitan yang kerap diceritakan banyak orang mengenai Orde Baru.

Tapi keluargaku, mewariskanku hal yang sama seperti cerita-cerita para eksil: trauma. Trauma kolektif yang kubawa sejak kecil sampai sekarang. Trauma yang bahkan tidak kualami sendiri tentang PKI, G30S, pembantaian massal, rezim abadi Orde Baru, dan Reformasi.

Baca Juga: Di Balik Romantis Film Ancika, Ada Bad Boy dan Maskulinitas Toksik

Pada masa duduk di bangku sekolah dasar, generasiku masih wajib menonton film propaganda ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ di sekolah setiap tanggal 30 September. Sudah tentu ingatan melihat pertumpahan darah dan potongan-potongan tubuh ‘atas nama komunisme’ dari proyektor yang ditembakkan ke tembok kelas yang dijadikan layar, masih membekas di benakku yang masih kecil.

Sudah tentu bulu kudukku meremang setiap kali melihat simbol palu arit yang begitu ditakuti di negara ini sampai sekarang. Bahkan setelah banyak belajar dan menyadari sepenuhnya bahwa negara ini memelihara ketakutan dan kebencian irasional terhadap PKI dan komunisme selama berpuluh-puluh tahun, bahkan setelah mempertimbangkan bahwa aku lebih-kurang sepaham dengan ideologi komunisme.

Aku masih merasa dihantui saat menyaksikan sekitar 30 menit pengisahan tentang PKI, partai komunis terbesar ketiga di dunia pada masanya.

Oh, batinku, ternyata hantu itu adalah Orde Baru.

Horor itu dialami para eksil, termasuk Asahan Aidit. Ia berafiliasi erat dengan PKI. Bukan hanya sebagai anggota. Kakaknya sendiri, D. N. Aidit, adalah Sekjen partai tersebut sampai kejatuhannya.

Penumpasan PKI berdampak pada stigma abadi yang melekat pada diri Asahan dan keluarga Aidit. Bahkan, Asahan berkisah, setelah Orde Baru berakhir dan ia bisa kembali ke Indonesia pun, keluarganya sendiri mengusirnya.

Ia berbahaya bagi mereka, katanya. Berlibur bersama istrinya pun, Asahan mesti mengalami diawasi oleh aparat yang tak bisa berbuat apa-apa sebab ia sudah bukan WNI lagi secara administratif. Asahan menuturkan itu dengan getir, dan betapa tidak? Siapa tidak getir ditolak oleh keluarga dan Tanah Air sendiri?

Baca Juga: ‘Sehidup Semati’ Buktikan Perempuan Korban Bisa Melawan KDRT

Kepahitan juga dirasakan Tom Iljas. Ayahnya dibunuh saat pembantaian pasca-1965 menorehkan sejarah kelam Indonesia. Tom Iljas sendiri saat itu masih menjadi diaspora tanpa kewarganegaraan sebab paspor Indonesia-nya dicabut.

Lebih dari 30 tahun ia tak bisa bertemu keluarganya dan mengusut pembunuhan sang ayah. Bahkan di tahun 2010-an, ketika mestinya Tom Iljas sudah bisa dengan bebas kembali ke Indonesia dengan kewarganegaraan barunya dan mengunjungi kuburan massal tempat ayahnya berpulang, ia dideportasi. Negara mengkhianatinya berkali-kali.

“Sebagai korban, saya punya hak. Tidak ada sekat-sekat kewarganegaraan—punya hak untuk mengetahui (soal pembunuhan ayah),” tutur Tom Iljas.

Apakah mereka dendam pada Orde Baru—pada Indonesia? Jawabannya beragam. Asahan, misalnya, merasa tak perlu memaafkan orang yang selalu berusaha memusuhinya. Namun I Gede Arka menjawab, “Saya tidak dendam. Tapi carilah sumbernya; siapa yang membikin itu?”

Pada titik itu pula kusadari: Kartaprawira, narasumber ‘Eksil’, mengatakan sesuatu yang tepat. Ia bilang, Orde Baru sesungguhnya tidak berakhir.

“Orde Baru itu masih ada,” ucapan Kartaprawira masih melekat di benakku. “Hanya berganti jas.”

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!