4 Persoalan di Industri Film: ‘Merayakan’ Hari Film 30 Maret

Hari Film Nasional diperingati setiap 30 Maret. Di tahun ini Hari Film mengambil tema bercermin pada masa lalu dan merencanakan masa depan. Tema ini dibuat untuk meningkatkan rasa percaya diri kualitas industri film Indonesia. Namun apa daya, masih ada 4 persoalan besar yang terjadi di industri film.

Industri film Indonesia selalu mencatatkan prestasi gilang gemilang sepanjang dua dekade terakhir, namun ternyata ada masalah besar yang menghantui, antaralain, kekerasan di film, eksploitase pekerja dan sinetron yang sarat dengan seksisme

Konde.co merangkum 4 persoalan besar yang masih banyak terjadi di film:

1.Film Indonesia khususnya Sinetron Sarat dengan Seksisme

Pantauan Komnas Perempuan yang dikeluarkan di Hari Film Nasional 30 Maret 2023 menyimpulkan, bahwa tayangan film di Indonesia khususnya sinetron di stasiun-stasiun televisi sarat dengan pandangan seksisme yang mengkonstruksikan perempuan sebagai makhluk seksual.

“Selain itu perempuan juga dikonotasikan sebagai makhluk penggoda, cengeng, lemah dan steriotip lainnya. Di sisi lain, perempuan pekerja di sektor perfilman rentan mengalami kekerasan, khususnya kekerasan seksual,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang dalam pernyataannya yang diterima Konde.co

“Konten film yang mengkonstruksikan seksisme juga terjadi pada perempuan. Kajian Komnas Perempuan tentang tayangan sinetron di beberapa stasiun televisi menyimpulkan bahwa sinetron turut melanggengkan nilai-nilai ketidaksetaraan gender dan seksisme  dalam narasi audio-visual,” tambah Rainy Hutabarat.

Seiring berkembangnya industri film di Indonesia, Komnas Perempuan memandang pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai non diskriminasi dan non kekerasan termasuk kekerasan berbasis gender dikaitkan dengan tema hari film di tahun 2023 ini.

Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengatakan bahwa film sebagai bagian produksi budaya dapat dilihat dari dua sisi, antaralain organisasi/rumah produksi yang memproduksi film. Organisasi  film bukanlah ruang yang bebas dari diskriminasi dan kekerasan. Perempuan pekerja film juga mengalami diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi.

2.Kekerasan Seksual di Industri Film

Pantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan media massa tentang kekerasan seksual di lingkungan industri film menyimpulkan, bahwa  relasi kuasa yang timpang antara pelaku dengan korban dalam organisasi/rumah produksi menjadi faktor penyebab kekerasan seksual terhadap kru perempuan atau artis. 

“Sebagaimana dikutip sebuah media massa, salah seorang artis yang menjadi korban juga menyatakannya (kekerasan seksual di lingkungan industri film) seraya menekankan pentingnya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di industri film,” jelas Rainy.

Sinematografer Anggi Frisca dalam wawancara dengan Konde.co pada 2 September 2022 menyatakan, situasi ini dapat terjadi karena adanya anggapan bahwa area kerja merupakan area kekuasaan, seolah-olah dengan jabatan tinggi seseorang bisa melakukan apapun. Seharusnya tidak demikian, melainkan semua pihak harus memahami profesionalisme. Hal ini yang kadang dilupakan bahwa dalam produksi film semua kru merupakan bagian dari tim yang sebetulnya tidak ada atasan dan bawahan. Untuk itu Anggi menegaskan hal seperti ini harus segera dituntaskan.

Di industri film, pelecehan yang terjadi dan menimpa banyak perempuan juga dipaparkan pengamat film, Adrian Jonathan Pasaribu menyatakan dalam sebuah diskusi yang digelar Never Okay Project pada 14 Juli 2020 mengatakan, pelecehan ini biasanya banyak menimpa perempuan-perempuan muda yang sedang belajar di film, misalnya mereka menjadi relawan atau volunteer pada pemutaran film, festival film, workshop-workshop. Dan pelakunya adalah pimpinan mereka atau senior mereka.

3. Bekerja 16-20 Jam Perhari atau Overwork

Kondisi para pekerja film yang bekerja selama 16-20 jam juga dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sudah berlangsung lama, maka kemudian hal ini dinormalisasi dari zaman ke zaman.

“Padahal kalau kita lihat, kondisi ini tidak hanya membahayakan pekerja tapi semuanya. Produser iklan, juga sering mendapatkan kru basian, karena mereka dapat kru yang baru selesai shooting yang lain dan ini berpengaruh pada kru yang lain, datang dengan kondisi tidak fresh. Ini juga membahayakan bagi kesehatan karena berisiko tinggi meninggal akibat penyakit jantung iskemik dan stroke,” kata pengurus Serikat Sindikasi, Ikhsan Raharjo.

Belum lagi adanya kasus-kasus kecelakaan kerja yang kerap menimpa pekerja film. Salah satu tim film ada yang mengalami kecelakaan pukul 03:00 pagi karena menabrak truk. Mereka pulang dalam kondisi mengantuk. Para pekerja juga sering menemukan kru yang harus diinfus karena kelelahan kerja.

Ikhsan Raharjo memaparkan ini pada 29 Maret 2022 dalam riset serta kertas posisi tentang kondisi pekerja film yang dilakukan Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) dengan judul “Sepakat di 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia.”

4.Kondisi Kerja Yang Buruk

Sejumlah persoalan yang terjadi di film juga dirangkum Serikat Sindikasi dan ICS, seperti pengabaian hukum ketenagakerjaan di sektor film yang berlangsung secara sistemik selama bertahun-tahun, lemahnya posisi tawar kolektif pekerja film yang membuat mereka cenderung memperjuangkan hak normatifnya secara individual.

Lalu kontrak kerja yang bermasalah dan merugikan pekerja film karena belum menjamin pemenuhan hak normative. Dan Pemerintah yang belum melindungi pekerja film karena cenderung menempatkan kepentingan pekerja pada posisi yang terpinggirkan.

Komnas Perempuan mengapresiasi upaya APROFI yang pada awal Maret 2023 kemarin telah menerbitkan dan mempublikasikan Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dalam Produksi Film dan Standar Operasional Prosedur Adegan Intim Dalam Film

Komnas Perempuan juga mengapresiasi pihak-pihak yang telah berjuang untuk pemajuan industri perfilman di Indonesia serta menjadikan film tak semata sebagai ruang pemenuhan hak atas sosial budaya, hak atas ekonomi/pekerjaan, hak atas informasi dan hak berekspresi,  melainkan juga ruang edukasi tentang nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender serta non-diskriminasi khususnya bagi kelompok rentan. 

Maka berkaitan dengan Hari Film Nasional, Komnas Perempuan lalu merekomendasikan agar  organisasi-organisasi perfilman di Indonesia  mengeluarkan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual merujuk pada Undang-Undang No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.  

Organisasi/rumah produksi agar memproduksi sinetron-sinetron yang tak semata  menghibur melainkan juga edukatif dan informatif. Pada Komisi I DPR RI agar bersama KPI dan Kemenkominfo untuk mendorong revisi UU Penyiaran yang mengacu pada poin-poin urgensi revisi dalam kajian serta konferensi Beijing Platform for Action (BPFA) khususnya memastikan dukungan terhadap konten penyiaran yang mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, serta bebas steriotip sempit mengenai perempuan dan minoritas gender lainnya. Juga memastikan pencegahan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari menciptakan kondisi yang kondusif bagi upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Komnas Perempuan juga meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar mendorong pengarusutamaan gender di tubuh KPI untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender secara sistematis dan berkelanjutan melalui kebijakan dan program. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!