Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Cerita 2 Pasangan Beda Agama, Putus Atau Lanjut Kalau Sudah Sayang?

Dari kecil, aku dan kawan-kawanku, sudah sering dicekoki dengan kata-kata: jangan pacaran dengan orang yang beda agama, pasti gak langgeng, pasti gak jodoh. Tapi gimana kalau sudah terlanjur cinta, kita harus putus atau lanjut?

Di bulan Ramadhan ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus dari para perempuan muda soal refleksi mereka tentang keberagaman. Edisi ini bisa kamu baca mulai 10-16 April 2023.

Katanya, cinta datang untuk menghalau perbedaan, tapi kenyataannya tidak. Cinta justru datang untuk memisahkan.

Paling tidak itulah yang selalu kita yakini selama ini. Simak saja kalimat yang sudah sering kita dengar ini: kalau nikah beda agama pasti gak jodoh. Gak bakalan bisa!

Kalimat ini kemudian membuat kita selalu waspada dengan seseorang yang kita sukai, tapi agamanya beda. Sering banget kita harus tanya dulu apa agamanya kalau kita lagi naksir orang, atau ketika kita punya crush.

“Dia agamanya apa, ya?.”

Di Indonesia, pasangan beda agama memang sulit langgeng karena aturan di Indonesia yang tidak memperbolehkan orang menikah beda agama. Maka situasi inilah yang terus terjadi. Konde.co menemui dan merangkum cerita pasangan berbeda agama:

Cerita Ester dan Reza

Bagi Ester, menikah beda agama di Indonesia itu memang rasanya seperti roller coaster, jungkir balik mempersiapkannya plus harus tabah karena banyak keluarga yang menentang, baik lewat sindiran ketika ada pertemuan keluarga, sampai omongan yang tidak enak didengar.

Ester, bukan nama sebenarnya tentu tidak menyangka ketika ia tiba-tiba pacaran dengan teman organisasinya, sebut saja namanya Reza.

“Benar-benar gak nyangka, kami sudah berteman selama 5 tahun. Tiba-tiba ketika ketemu lagi untuk menyelesaikan kasus advokasi, kami saling tertarik, dan 1,5 tahun kemudian kami menikah.”

Di awal ketika Ester dan Reza mau menikah, mereka sudah banyak ditanya: mau nikah dengan cara apa, sulit nanti loh izin nikahnya, termasuk ditanya: anaknya nanti gimana, ikut bapak atau ibunya? Pasti hidup kalian akan sulit sekali, banyak perbedaan, mau ke gereja gak bisa bareng, hari raya juga dirayakan masing-masing,  gak mengenakkan. 

Ester merasa, sebegitunya orang mengawasi mereka sampai belum menikah pun sudah ditanya soal anaknya mau ikut agama apa?. Pertanyaan seperti inilah yang selalu memberati orang yang akan nikah beda agama. Padahal bagi Ester, selama ini ia juga ke gereja selalu sendiri, ibadah sendiri, berdoa sendiri, karena menurutnya, doa adalah komunikasi langsung dan personal dengan Tuhan. Tapi ketika ia akan menikah, tiba-tiba pertanyaan ini selalu ditanyakan keluarga. 

Pertanyaan yang sama juga ditujukan pada Reza. Juga ada pertanyaan tambahan seperti kalau kamu bisa mengajak istrimu masuk agamamu, pasti kamu akan masuk surga.

“Laki-laki harus mengajak istrinya satu agama, memang kewajiban suami begitu, jadi istri harus tunduk pada suami.”

Perkawinan Ester dan Reza dilakukan dengan agama Reza, mereka punya anak yang ikut agama Reza. Ester juga mempunyai keyakinan sendiri soal agamanya. 

Ester dan Reza yang saya temui mengatakan bahwa mereka justru tertantang ingin membalikkan pemikiran banyak orang yang terus-terusan menyatakan bahwa agama bisa memisahkan sebuah relasi yang berdasar atas cinta. Sejak awal keduanya percaya bahwa cinta akan menyatukan perbedaan, bukan malah memisahkan.

“Itu yang selalu kami yakini, jadi kami jalan terus saja,” kata Ester.

Di kalangan keluarga, jangan ditanya, di sejumlah meeting keluarga mereka selalu dianggap sebagai pasangan yang aneh, yang melanggar aturan, yang hidupnya tidak lazim dan nanti akan masuk neraka. Baik pernyataan atau sindiran kerap mereka terima.

Let it flow aja. Kalau kita sudah meyakini sesuatu, jalani saja, karena kita sendiri yang tahu.”

Ester dan Reza menikah kurang lebih 18 tahun lalu dimana menikah beda agama masih jadi sesuatu yang jarang dilakukan, orang lebih suka bisik-bisik dan nyindir.

“Tapi ada juga keluarga yang terang-terangan menganggap kami ini melakukan dosa, dan itu dinyatakan dalam sebuah pertemuan keluarga dimana kami ada disana.”

Apa yang dilakukan Ester dan Reza? Awalnya mereka kerap menghindari pertemuan keluarga yang tidak penting, jadi harus pilih-pilih, daripada sakit hati. Tapi setelah itu mereka mengubah strategi.

“Kalau  ketemu keluarga yang tidak suka menyindir-nyindir, kami datang, tapi kalau sudah dipojokkan, lalu menyindir, kami akan datang sebentar, bersalaman dan pulang. Yang penting tidak menghindari relasi keluarga, tapi kami juga tidak mau berlama-lama disana, karena tidak enak menjadi pihak yang sebenarnya tidak menginginkan kami untuk datang.”

Ester dan Reza memilih untuk berkompromi, karena mereka yakin bahwa cinta itu datang untuk menyatukan perbedaan, menyelesaikan pertengkaran.

“Kami datang dengan cinta, untuk menengok saudara, ya kalau ditolak, kami amini saja, karena kami yakin, cinta itu datang untuk mengatasi itu semua,” kata Ester.

Sejak itu, kalau lebaran, Ester selalu ikut lebaran, dan Reza selalu ikut natalan. Mereka meyakini bahwa agama itu seperti budaya, kebiasaan, seperti orang bertandang ke rumah orang lain yang beda agama, beda suku, seperti berdialog dengan orang yang punya perspektif beda. 

“Kondisinya khan Indonesia ada banyak perbedaan, beda agama, beda suku, beda bahasa, nah tugas kita khan membangun perbedaan dengan cinta, bukan saling memecah belah,” kata Ester.

Ester dan Reza meyakini, menikah beda agama adalah hal yang tidak terhindarkan ketika kita hidup di negara yang masyarakatnya berbeda-beda agama.

“Kecuali kita hidup di sebuah negara yang agamanya hanya satu, jadi pernikahan dilakukan dengan 1 agama itu memungkinkan, tapi kita hidup di Indonesia yang agamanya banyak, keyakinannya banyak dan beda, jadi menikah beda agama adalah hal yang tidak terhindarkan.”

Kalau kamu masih ingat, pergolakan pernikahan beda agama sebenarnya pernah terjadi pada Ramos Petege. Ramos bahkan sampai mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ramos merupakan seorang beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya lantaran beragama Islam. Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas lantaran keduanya memiliki agama dan keyakinan berbeda. 

Gugatan Ramos Petege pada 4 Februari 2022 itu berbunyi: harusnya syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU No 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan. Namun, UU itu tidak memberikan pengaturan jika perkawinan dilaksanakan oleh mereka yang memiliki keyakinan dan agama berbeda. 

UU itu telah merenggut kemerdekaan Ramos untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Ramos Petege pun berpendapat, Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

Cerita Ika dan Didin

Ika berpasangan dengan Didin. Dulu ia sering bertanya pada dirinya sendiri: bagaimana ujung hubungan beda agama ini? Selain masalah birokrasi pernikahan, restu kedua pihak orang tua mungkin menjadi alasan yang membuat galau. 

Tidak hanya di Indonesia sejumlah negara seperti Malaysia dan Brunei Darussalam juga masih sulit jika warga negaranya yang berbeda agama ingin melangsungkan pernikahan. Tapi bagaimanapun rintangannya, Ika meyakini bahwa cinta akan selalu menemukan jalan. 

Didin dan Ika adalah sepasang kekasih yang kini menginjak usia tahun ke 7 dalam hubungan mereka. Didin adalah seorang pemuda yang hidup di lingkungan yang cukup kental dengan nuansa Islami. Dia sempat bersekolah di sekolah Islam di Surabaya. Orang tuanya juga adalah bagian dari keluarga yang kental akan kultur muslim. Meskipun begitu, Didin adalah seseorang yang cukup terbuka akan keberagaman dan perbedaan yang ada dalam hidupnya. Dia tidak menutup diri akan perbedaan yang ada di luar dirinya karena sejak kecil terbiasa bergaul dan memiliki teman dengan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari agama, suku bahkan ras. 

Selain itu Didin juga bisa dibilang sebagai orang yang cukup suka mengikuti budaya pop yang ada di dunia. Hal ini sedikit banyak memberikan referensi hidup yang berbeda bagi dirinya. Sedangkan Ika berasal dari keluarga yang beragam dengan perbedaan suku dan agama. 

Didin yang ditemui Konde.co bercerita, dia bertemu dengan Ika yang kini menjadi kekasihnya pada tahun 2015 di sebuah platform game online. Saat itu usianya 21 tahun dan Ika berusia 29 tahun. 

Di masa awal-awal mereka berpacaran tentu saja banyak penyesuaian seperti halnya pasangan lainnya. Terlebih lagi karena mereka berbeda agama dan terpaut usia yang bisa dibilang tidak sedikit. Didin yang merasa Ika lebih dewasa merasa bahwa dirinya seperti “dimong” dalam berhubungan. Didin merasa bahwa Ika lebih banyak mengerti dan memahami dirinya lebih dari siapapun. Didin beranggapan bahwa rasa dipahami dan dimengerti dalam berhubungan adalah hal yang penting sehingga bisa mengalihkan perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Keduanya juga biasa saling mendukung satu sama lain dalam perbedaan mereka. 

Saat awal-awal Ika pindah ke Surabaya, dia bekerja di sebuah kantor gereja sedangkan Didin masih menjalani pendidikannya di perguruan tinggi. Saat itu Didin tidak jarang menemani Ika berkumpul dan bertemu dengan teman-teman pendetanya. Tidak ada yang berubah dari pandangan Didin atas keyakinan, Ia tetap menganggap bahwa mereka yang beragama Kristen layaknya manusia biasa dan bisa menjadi teman yang baik atau menyebalkan. 

Beberapa tahun setelah Didin lulus kuliah, dia bekerja sebagai penyiar sekaligus jurnalis di sebuah radio berita swasta nasional yang memiliki cabang di Surabaya.

Meskipun memiliki perbedaan yang cukup tajam di masyarakat, namun pada kenyataannya mereka menjalani kehidupan hubungan selayaknya pasangan lainnya. Pergi berlibur, menonton bioskop atau sekadar menghabiskan waktu untuk menertawakan sesuatu yang mereka anggap lucu. Hal-hal sederhana itu yang membuat mereka bertahan sejauh ini. Ketimbang memikirkan atau lebih berfokus pada perbedaan yang mereka miliki, mereka lebih memilih untuk mensyukuri persamaan yang bisa mereka rasakan. Yaitu persamaan rasa dan persamaan pandangan dalam melihat sesuatu. Selain itu rasa saling satu sama lain juga yang membuat mereka merasa selalu hangat setiap hari.

Tahun ini adalah tahun ke 8 mereka dalam menjalani hubungan, saat ditanya bagaimana perasaannya, Didin mengungkapkan bahwa tidak ada yang berbeda terhadap Ika dari waktu ke waktu. Dia berharap bisa menerima dan memperlakukan Ika lebih baik, seperti saat dia mendengar cerita Ika soal zodiak dan astrologi meskipun dia sendiri tidak terlalu mempercayainya. Baginya jika mereka bisa menerima dan menjalani perbedaan yang besar dalam hidup mereka, maka perbedaan-perbedaan kecil bukanlah hal yang besar lagi. Didin berharap hanya ingin menghabiskan waktunya lebih banyak bersama Ika, di tengah kesibukannya yang kini membuka usaha packaging dan kemasan. Dia senang ketika bisa membersamai Ika dalam kegiatan sehari-harinya, menyelesaikan tugas dan pekerjaan Ika yang kini menjadi penulis untuk suatu media di ibukota. 

Pada akhirnya Didin dan Ika hanyalah pasangan biasa seperti pada umumnya, yang merasa sudah tercukupi ketika menghabiskan waktu untuk tertawa bersama, memasak bersama atau pergi ke tempat-tempat baru dan mencoba hal baru. Keduanya tidak terlalu memikirkan bagaimana ujung dari hubungan yang mungkin dianggap sebagian masyarakat adalah hal yang tidak lazim ini. Yang pasti keduanya belum ada rencana menikah atau bahkan membentuk lembaga keluarga. Bukan karena mereka anti terhadap pernikahan atau hubungan yang lebih serius, melainkan keduanya sudah merasa tercukupi dan merasa bersyukur atas apa yang sudah mereka dapatkan dan jalani hingga kini. 

Polemik Nikah Beda Agama

Mengutip dari hukumonline.com, Sejak tahun 1980-an, kontroversi mengenai kawin beda agama telah ada di Indonesia. Pada tahun 1986, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan No. 1400 K/Pdt/1986 yang menyatakan bahwa kawin beda agama sah di Indonesia jika diputuskan oleh pengadilan. Setelah itu, kantor catatan sipil dapat mencatatkan perkawinan beda agama berdasarkan penetapan pengadilan.

Belakangan, pada tanggal 3 Mei 2019, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri menerbitkan Surat No. 472.2/3315/DUKCAPIL yang menjelaskan pencatatan perkawinan beda agama jika salah satu pasangan dan pasangan lainnya menundukkan diri kepada agama pasangannya. Surat ini didasarkan pada Surat Panitera MA yang dimohonkan oleh Dukcapil pada tanggal 10 Oktober 2018.

Menurut Surat Jawaban Panitera MA No. 231/PAN/HK.05/1/2019 pada tanggal 30 Januari 2019, perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Namun, jika dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau di Kantor Urusan Agama.

Menurut Asisten Redaktur Hukumonline, Normand Edwin Elnizar, penundukkan diri dalam hal ini tidak berarti pindah agama, melainkan hanya menundukkan diri dalam perkawinan. Praktik ini telah ada sejak sebelum fatwa pada tahun 1986 dikeluarkan dan tetap bertahan hingga saat ini.

Edwin menerangkan sejak tahun 1986 ada upaya untuk minta dispensasi nikah bagi yang berbeda agama melalui Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 yang dipimpin langsung Ketua Mahkamah Agung (saat itu, red) Ali Said. MA membatalkan penetapan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (yang menolak perkawinan beda agama, red).

Meski demikian, Edwin mengaku dari sejumlah putusan hakim mengenai penetapan perkawinan beda agama banyak diantaranya dikabulkan, tetapi juga ditemukan sejumlah putusan yang ditolak. Dari hasil riset nya, masih terdapat beberapa penetapan pengadilan yang tidak merujuk pada yurisprudensi MA, tapi merujuk pada UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan saat membuat penetapan kawin beda agama.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!