Pengalaman Kerja Tak Mengenakkan di Indonesia, Membuat Pekerja Milenial Pindah ke Luar Negeri

Setelah mendapatkan pengalaman yang tak mengenakkan bekerja di Indonesia, Ajeng akhirnya memutuskan bekerja di Australia. Bekerja di sana ternyata menyenangkan, dengan gaji cukup besar dan lingkungan baru yang menyenangkan.

Ajeng Syifa adalah seorang pekerja yang meninggalkan Indonesia karena mendapat pengalaman tak mengenakkan, termasuk gaji kecil.

Ajeng lalu memutuskan untuk bekerja di luar negeri. Australia jadi negara pilihan tempatnya bekerja saat ini.

“Kita yang kerja di Australia bisa lebih saving banyak sebetulnya, kalau kerjaan kita stabil. Walaupun pengeluarannya besar, tapi kita masih bisa saving banyak karena gajinya besar,” ungkap Ajeng Syifa yang menceritakan sepenggal ceritanya sebagai pekerja di Australia.

Kisah ini bermula ketika Ajeng akhirnya menuntaskan pendidikan program dual degree sebagai S-1 Akuntansi di Universitas Pancasila dan gelar Bachelor of Business Accountant di Limkokwing University. Setelah lulus, ia menggantungkan harapan-harapan yang tinggi di langit sebagai seorang akuntan, tentunya dengan gaji yang tinggi sesuai yang diharapkan pula. 

Ia mengantongi dua gelar itu sebagai perisai dan alat jualnya kala mengirim lamaran kerja di berbagai perusahan Malaysia dan Indonesia. Namun, panggilan belum kunjung datang. Ketika ada panggilan pekerjaan, ia tidak segera mengambilnya, sebab pekerjaan ini tidak memberikan upah yang sesuai dengan upah minimum regional (UMR) kota tersebut dan keterampilannya.

Pada 2022 akhirnya ia mendapatkan tawaran kembali sebagai staf akuntan di salah satu perusahaan tambang di Bandung. Kesempatan itu akhirnya ia ambil, dengan tawaran gaji sesuai UMR Bandung pada saat itu, yaitu Rp3,9 juta.

“Tapi yang saya dapatkan justru sedikit di bawah UMR, itu tidak sesuai dengan harapan saya,” pungkas Ajeng.

Pemberian gaji yang tidak sesuai dengan UMR membuatnya berpikir, apakah ia memang pantas mendapatkan gaji yang kecil karena label fresh graduate yang ada pada dirinya? Hal itu semakin diperkuat dengan pikiran-pikiran bahwa ia belum memiliki pengalaman bekerja dan hanya memiliki pengalaman magang. 

Baca Juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja? 

Ia juga menimang, mungkin pada saat itu skill-nya dalam akuntansi belum sepenuhnya mahir sehingga ia menerima gaji yang di bawah UMR Bandung itu ia cukupkan dan menyesuaikan dengan kebutuhannya.

Namun, setelah bekerja selama enam bulan di perusahaan tambang tersebut, ia merasakan adanya sedikit tekanan. Ia mencari-cari sumber dari rasa ketidaknyamanan tersebut dengan berkonsultasi ke psikolog. Ternyata ia dinyatakan tidak kompatibel sebagai seseorang yang kuat berkutat berjam-jam duduk di dalam kantor.

Setelah berdiskusi dengan kedua orang tuanya, akhirnya mereka memutuskan agar Ajeng bekerja di Australia dan bekerja yang melibatkan seluruh tubuhnya.

“Karena pekerjaan di Australia itu adalah pekerjaan yang mostly atau sebagian besar adalah pekerjaan yang menggunakan fisik, bertemu dengan banyak orang, berinteraksi, yang menurut psikolog dan menurut saya sendiri adalah (pekerjaan) yang cocok untuk saya,” jelas Ajeng di pertengahan wawancara.

Setelah satu bulan menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, pergilah ia ke Australia dan melamar beberapa pekerjaan non-skill. Ia bekerja sebagai Cleaner atau bagian bersih-bersih di sebuah pabrik perusahaan buah dan sayuran. Kemudian, ia mengambil pekerjaan lain, juga sebagai Housekeeper di salah satu hotel yang berada di Sydney.

Apakah Benar Bekerja di Luar Negeri Pendapatan Besar, Namun Pengeluaran juga Besar?

Sebagai Cleaner, Ajeng bekerja enam hari dalam satu pekan dan per harinya bekerja selama lima jam. 

Di perusahaan yang ia tekuni ini, ia memiliki sistem digaji per jam sebesar $24. Untuk posisi Housekeeper, dalam sehari ia bekerja selama lima jam mendapatkan gaji $28 per jam. Namun, sebagai Housekeeper tidak dilakukan setiap hari, terkadang tiga hingga lima hari bekerja, sesuai perintah dan jadwal dari perusahaannya.

“Kalau ditotalin, gaji yang saya dapatkan seminggu, bisa $1000 sampai $1300 per minggu karena untuk di Australia gaji itu per minggu dikasihnya ya. Atau sekitar Rp 10 juta sampai Rp 13 juta per minggu,” ungkapnya.

Untuk bekerja, di Australia digaji per jam dan gaji itu diberikan per minggu. Jika dalam satu hari seseorang bekerja selama 10 jam per hari, maka per jamnya digaji $24. Dalam satu hari akan mengumpulkan $240 per hari atau Rp 2.400.000. 

Di Australia, jika seseorang bekerja di hari public holiday, tanggal-tanggal merah, dan hari Minggu, akan dibayar dua kali lipat. Ibarat kata, jika bekerja di hari biasa akan mendapatkan gaji $24 per jam. Ketika bekerja di hari public holiday akan mendapatkan gaji dua kali lipat, yaitu $48 per jam dan tentunya Ajeng mengambil kesempatan itu.

Biaya sewa tempat tinggal Ajeng harus membayar $150 per minggu. Kemudian, transportasi umum seperti kereta dan bus bertarif $2 hingga $4. Namun, ketika di hari-hari tertentu moda transportasi kereta tidak dikenakan tarif, tetapi tidak ada yang dapat menebak tanggal pastinya.

Adapun pembayaran pajak berbeda-beda tergantung seseorang mengambil visa di Australia. Ajeng termasuk ke visa Work and Holiday Visa (WHV) sehingga dikenakan pajak sebesar 15% dan uang pensiun atau Superannuation sebesar 5%, yang keduanya dibayar saat pemberian gaji sehingga gaji yang diberikan sudah bersih dipotong pajak dan uang pensiun.

Baca Juga: Ini Rasanya Kerja Sambil Kuliah: Berjuang Bisa Membagi Fokus

Di Australia uang pensiun dapat diambil sepenuhnya apabila seseorang meninggalkan negara tersebut dan benar-benar tidak akan bekerja lagi di Australia. Oleh sebab itu, skema superannuation layaknya menabung untuk pensiun. 

Sama halnya dengan uang pensiunan, pajak pun dapat diambil kembali tiap tahunnya, tetapi tidak sepenuhnya. Misalnya, selama satu tahun bekerja seseorang telah membayar pajak $10.000 maka dapat mengambil uang pajak tersebut $5.000 hingga $8.000, sesuai kebijakan pemerintah.

Dalam sebulan, sebagai cleaner dan housekeeper ia mendapat gaji Rp40 juta hingga Rp50 juta. Dengan catatan, tergantung jadwal masuk kerja tiap minggunya. 

“Kalau dapetnya empat hari dalam seminggu ya dikit gajinya. Kalau lima sampai enam hari bisa gede (gajinya), gitu,” pungkasnya.

Meski pengeluarannya besar sebab gaji yang diberikan oleh perusahaan pun besar. Terlebih ia dapat  mengambil kembali uang pensiunan dan uang pajak.

Baca Juga: Kerja 15 Jam Perhari; Kelelahan Kerja, PRT Rentan Terkena Covid

“Saya pribadi selalu saving paling minimal 40% dari gaji. Kenapa cuma 40%? Karena untuk 10% hingga 15%-nya tuh saya taruh untuk dana darurat. Jadi, setidaknya ketika kita dapet gaji, itu bukan hanya untuk saving saja, kita juga harus menyenangkan diri sendiri dan juga punya dana darurat,” ucapnya– jika dirupiahkan ini berapa?

Ajeng menjelaskan, jika per bulannya mendapatkan gaji Rp40 juta, ia akan membagi-bagi keuangannya. 

“Misal gaji Rp40 juta, nabung Rp15 juta, dana darurat Rp5 juta, sisanya biaya hidup,”

Ajeng pun menjelaskan, sistem convert dari dollar ke rupiah tergantung rate per harinya. Ketika Ajeng awal-awal di Australia, kala menukarkan $100 ke rupiah, hanya mendapatkan Rp 900.000 karena rate pada saat itu sedang tinggi. Namun, jika sekarang menukarkan $100 ke rupiah, akan mendapatkan satu juta rupiah lebih karena rate-nya sedang rendah.

Lingkungan Bekerja yang Mendukung

Ajeng merasa senang bekerja di Australia karena bisa bekerja di berbagai perusahaan, ia bisa memulai kontrak hanya selama satu hingga enam bulan saja. Selain itu, ia jadi memiliki banyak pengalaman karena dapat memiliki lebih dari satu pekerjaan secara bersamaan.

“Banyak banget belajar tentang hal baru, tentang pekerjaan baru, tentang sifat orang yang baru. Jadi, apa ya, experience-nya tuh lebih banyak gitu. Untuk di office sendiri, lingkungan kerjanya menurut saya pribadi itu enak,” 

“Untuk lingkungan sosial di Australia itu, menurut saya pribadi, Alhamdulillah saya nggak pernah kena rasis dari pihak manapun,” ujar Ajeng.

Dalam lingkungan sosial dan pekerjaan pun ia merasakan orang-orang di Australia sangat ramah, baik, suka membantu, dan tidak pernah menjelekkan seseorang jika bahasa Inggris mereka tidak fasih. 

“Karena orang-orangnya sangat menghargai dan selalu bilang ‘good job’ dalam kerjaan kita gitu. Walaupun sebenarnya mungkin menurut mereka kurang, tapi mereka tuh selalu kasih tahu gitu. Apa yang salah, apa yang harus kita perbaiki,” pungkas Ajeng.

Secara pribadi, Ajeng merasakan bekerja di Australia lebih nyaman dan menyenangkan karena tidak ada tuntutan yang besar dan bisa menjelajah pekerjaan dengan posisi apapun. Bahkan, ketika belum memiliki pengalaman yang banyak, pihak perusahaan akan membantu dan mengajarkan pekerjaan tersebut.

Hal yang membuat Ajeng takjub dengan lingkungan barunya kala setiap bertemu dengan orang selalu mengucapkan sesederhana “Hi! How are you?” dan ditutup dengan “Okay, bye. Have a nice day”.

“Mungkin di negara lain juga sepertinya seperti itu, tapi karena saya baru pertama kali ke negara yang full Inggris. Itu salah dua kalimat yang bisa menaikan mood.”

Baca Juga: Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Belum Dianggap Sebagai Kerja

Bekerja di Australia membuat dirinya merasa dihargai, selain pemberian gaji yang cukup tinggi, pun dengan apresiasi-apresiasi kecil dari atasan yang menjadi mood booster. Pengalaman baru-baru ini yang ia rasakan ketika menjadi Strawberry Maintenance, posisi yang membersihkan pohon-pohon strawberry dari daun-daun yang sudah tidak layak atau membusuk.

Hal sederhana yang membekas dalam benak Ajeng tatkala supervisor-nya selalu memberi tahu hal apa saja yang keliru dengan hati-hati dan selalu memberi ucapan apresiasi-apresiasi kecil.

“Syifa you’re doing a great job. Good job. Selalu dikasih good job. Selalu dikasih great job, selalu dibilang terima kasih setelah pulang kerja. Dan selalu dibilang hati-hati. Pokoknya hal-hal sekecil itu yang menurut saya mungkin menurut orang kayak gak penting lah. Tapi menurut saya penting karena di Indonesia saya belum pernah ketika kerja diapresiasi gitu. Jadi hal sekecil itu tuh sangat membekas untuk pekerja karena membuat kita jadi lebih semangat,” katanya di akhir wawancara.

Hari-hari yang dilaluinya tidak pernah ada rasa kekosongan atau kesepian. Pasalnya, ia bekerja setiap hari kerja dan selalu bertemu dengan orang baru. Dengan orang baru itu, ia bisa berbincang santai sembari saling berbagi pengalaman.

Acapkali ia merasa kesepian, ia langsung menghubungi teman atau keluarganya di tanah air. Sekarang semuanya bisa diatasi dengan teknologi.

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!