Pernikahan Bukan Jaminan Bebas Penyakit Menular Seksual: Kasus HIV dan Sifilis Meningkat

Realitanya, penyakit menular seksual ada di mana-mana. Bahkan di sekitarmu juga. Walau beberapa orang mengklaim tidak gonta-ganti pasangan atau tidak termasuk dalam kategori orang yang rentan tertular, sudah sejauh apa mereka tahu fakta tentang penyakit menular seksual?

Kementerian Kesehatan baru-baru ini menyatakan fakta bahwa Indonesia masih darurat dalam menangani kasus penularan human immunodeficiency virus (HIV) dan raja singa (sifilis). Meningkatkan penyebaran edukasi kesehatan dan reproduksi (kespro) secara komprehensif mungkin bisa jadi langkah yang dapat diambil pemerintah untuk menghadapi peningkatan angka kasus HIV dan sifilis.

Namun, berbagai prasangka datang dan menyerang, menganggap bahwa edukasi kespro komprehensif menyesatkan–mendorong orang untuk berhubungan seksual di luar pernikahan. Padahal, poin kunci dari edukasi kespro komprehensif adalah untuk mengembangkan efikasi diri dan pengetahuan tentang hak manusia seutuhnya. Efikasi diri yang dimaksud adalah kemampuan individu untuk merefleksikan suatu informasi yang diterima dan risikonya untuk mengambil keputusan secara independen. 

Di tengah budaya yang menjadikan pembahasan soal seks sebagai tabu, langkah tersebut terlihat sulit dijalankan hingga kini. Namun, masalah angka penularan yang masih tinggi juga dapat mulai kita pecahkan dari inisiasi diri. Misalnya, dengan tidak menerima mentah-mentah informasi yang tidak berbasis data. Kita perlu menyanggah berbagai mitos terkait penularan penyakit menular seksual yang muncul di sekitar kita dengan mengakses data faktual.

Mengetahui fakta berbasis data tentang pencegahan, penularan, hingga penanganan dapat membuat kita lebih waspada akan penyakit menular seksual yang bisa menyerang tanpa pandang bulu ini. Berikut adalah hasil penelusuran Konde.co yang menyanggah berbagai mitos, prasangka, dan salah kaprah terkait kedua penyakit menular seksual tersebut.

Mitos: Kasus HIV dan sifilis hanya dapat ditularkan lewat hubungan seksual

HIV dapat ditularkan lewat empat jalur utama, yaitu hubungan seksual penetrasi/anal tanpa proteksi, transfusi darah, atau penggunaan jarum suntik/peralatan medis yang tidak steril. Penularan juga dapat terjadi lewat kontak orang tua ke anaknya (transmisi vertikal) di kandungan, dalam proses melahirkan, atau saat menyusui. Penggunaan kondom dengan sesuai dapat secara efektif mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual hingga 85%.

Berbeda dengan HIV, sifilis tidak disebabkan oleh virus, tetapi bakteri bernama Treponema pallidum. Penularan sifilis dapat terjadi lewat kontak fisik dengan luka chancroid (syphilitic sore) yang biasanya berada di alat genital, mulut, anus, dan rektum pengidapnya. Oleh karena itu, penggunaan kondom tidak sepenuhnya efektif mencegah penularan bakteri tersebut. Selain lewat hubungan seksual, penularan sifilis juga dapat terjadi lewat transmisi vertikal. 

Mitos: Hanya punya satu pasangan seksual pasti jauh dari HIV dan sifilis

Berangkat dari pengetahuan tentang berbagai jalur transmisi di atas, kita dapat memahami bahwa hanya memiliki satu pasangan dalam satu waktu bukanlah jaminan terbebas dari penyakit menular seksual. Ada berbagai aspek lain juga yang perlu diperhatikan sehingga pengecekan kesehatan seksual secara rutin diperlukan.

Kemenkes pada awal bulan Mei 2023 menyatakan bahwa 35% ibu rumah tangga hidup dengan HIV dan 30% di antaranya ditularkan suaminya. Jumlah kasusnya melebihi beberapa kelompok yang dianggap rentan tertular (populasi kunci), yaitu suami pekerja seks dan lelaki seks dengan lelaki (LSL). Maka siapa pun, bahkan orang yang sudah menikah, juga wajib untuk mengecek kesehatan seksualnya secara rutin.

Terlebih lagi, beberapa penyakit menular seksual tidak tampak secara signifikan. Misalnya, sifilis yang memiliki sebutan khusus “The Great Pretender” karena gejala yang kadang tidak terlihat jelas pada tahapan awalnya atau menyerupai penyakit kulit biasa.

Dengan faktor di atas sebagai salah satu alasannya, ada peningkatan penyakit sifilis yang terlapor dalam lima tahun terakhir (2016–2022) sebesar 70%. Kemenkes kini mencatat bahwa kasus telah mencapai 21 ribu kasus dengan rata-rata penambahan kasus sebanyak 18.500 per tahunnya. 

Mengetahui data tersebut, pernikahan monogami tidak menjamin kesehatan seksual diri seseorang. Siapa pun yang sudah aktif secara seksual perlu memperhatikan kesehatan seksualnya secara rutin. Deteksi dini dapat dilakukan dengan tes cairan oral atau vaginal (Pap smear).

Mitos: Anak atau pasangan ODHIV/ODHA pasti tertular HIV

Seseorang yang hidup dengan HIV tidak dapat sepenuhnya sembuh, tetapi penularannya ke orang lain dapat dicegah, termasuk kepada pasangan seksual atau anak. Langkah pertama mencegah penularan tersebut tentu dengan mengetahui status diri dengan mengecek secara berkala. Perihal transmisi vertikal, meminum obat Antiretroviral (ARV) dapat menurunkan risiko penularan virus ke janin hingga 0%. Jika tidak dilakukan sejak dini atau sama sekali, ada kemungkinan penularan ke anak mencapai persentase 15–30%.

Belum lama ini, Kemenkes menyatakan bahwa kasus penularan HIV tertinggi terjadi lewat transmisi vertikal, yaitu mengambil porsi 20–45% dari total keseluruhan kasus yang ada. Kasus HIV pada anak berusia 1–14 tahun mencapai 14.150 kasus, dengan pertambahan sebesar 700–1.000 anak setiap tahunnya. 

Artinya, program penanganan pada orang tua (PPTCT) untuk mencegah penularan dari orang tua ke anak masih belum berjalan dengan efektif. Pernyataan tersebut didukung oleh data Kemenkes per Desember lalu bahwa hanya 81% orang dari total estimasi ODHIV 526.841 yang mengetahui statusnya. Secara spesifik, 76% dari ibu hamil yang berstatus positif belum mendapatkan pengobatan ARV hingga kini.

Mitos: Sifilis tidak dapat disembuhkan

Berbeda dengan HIV, penyakit sifilis dapat disembuhkan dengan rutin mengonsumsi obat, baik suntikan maupun oral. Penanganan sifilis harus dilakukan sedini mungkin untuk mengurangi risiko komplikasi. Seperti kebanyakan penyakit lainnya, sembuh dari sifilis sekali tidak membuat tubuh menjadi imun. Siapa pun dapat tertular sifilis berkali-kali.

Orang tua dapat mencegah penularan sifilis ke janin jika mendapat pengobatan layaknya kasus HIV. Namun, Indonesia masih krisis soal isu tersebut. Persentase pengobatan pada pasien sifilis dinilai masih rendah. Kemenkes menyatakan bahwa hingga kini hanya 40% ibu hamil dengan sifilis yang melakukan pengobatan. Padahal, penularan sifilis ke anak dapat menyebabkan kecacatan hingga kematian.

Mitos: Akses kesehatan jadi tantangan terbesar

Selain deteksi dini, tes darah dapat dilakukan jika tubuh seseorang sudah menunjukkan gejala dua penyakit menular seksual tersebut. Berbagai puskesmas dan fasilitas kesehatan lainnya menyediakan tes darah untuk skrining HIV dan sifilis secara gratis. Jika butuh pendampingan, siapa pun dapat memintanya ke berbagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu kesehatan terkait, seperti Yayasan Intermedika Prana (YIM) atau Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).

Akses kesehatan di perkotaan besar, khususnya, bukan menjadi tantangan utama pemerintah dalam menjangkau publik khususnya ibu hamil. Malah, stigma, ‘unsur malu’, dan kurangnya edukasi tentang penyakit menular seksual di tengah masyarakatlah penyebab utamanya.

Kemenkes mencatat bahwa tidak semua ibu hamil melakukan skrining penyakit menular seksual. Hanya 25% ibu hamil yang melakukan skrining sifilis dan 55% yang melakukan skrining HIV. Kebanyakan dari kasusnya disebut tidak diperbolehkan oleh pasangan.
Sistem patriarki juga berperan dalam menghambat penurunan kasus penularan orang tua ke anak. Selain pelarangan oleh pasangan di atas, Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2023 menemukan bahwa perempuan sering kali mendapatkan kekerasan fisik dan psikis oleh anggota keluarga karena hendak menerima pengobatan ARV.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!