tubuh dan seksualitas

‘Lubang Kelam(in)’ Tuliskan Pengalaman Tubuh Yang Disembunyikan Karena Dianggap Tabu

Apa arti tubuh, terutama tubuh perempuan dan minoritas? Adakah ia sekadar objek, boneka, figur ras yang termarjinalkan dan dianggap tabu?. Padahal sejatinya tubuh yang dipinggirkan ini adalah sebuah medan perang

Melalui buku ‘Lubang Kelam(in)’, Jessica Ayudya Lesmana membawa pembaca mengeksplorasi berbagai pengalaman tubuh dan seksualitas. 

Mengisahkan tubuh-tubuh liyan yang berkorban dan dikorbankan sepanjang zaman—dengan satir dan getir—tapi juga menunjukkan bagaimana tubuh minoritas bertahan.

Membaca judul bukunya mungkin bikin keningmu mengerut. Penulisnya sendiri mengakui di bagian sinopsis: cerita-cerita dalam ‘Lubang Kelam(in)’ bisa jadi menjijikkan bagi sebagian orang. Tapi dalam buku ini pula, pembaca diajak untuk menyusuri lubang dengan kisah-kisah ketubuhan yang kelam, khususnya tentang tubuh perempuan dan minoritas. Ini ‘Lubang Kelam(in)’, buku berisi kumpulan tulisan Jessica Ayudya Lesmana.

Mari berkenalan lebih dulu dengan Jessica Ayudya Lesmana. Jessica adalah seorang transpuan yang mulai menekuni kesenian pada tahun 2018 bersama Amuba, band transgender pertama di Indonesia. Bagi Jessica, praktik artistiknya adalah bagian dari aktivisme sekaligus rekaman dan catatan kehidupan masyarakat pinggiran. Jessica kini juga menjadi salah satu kontributor di Konde.co. Melalui karya-karyanya, Jessica mengangkat kehidupan perempuan yang mengalami diskriminasi dan stigma. Salah satu karya yang dimaksud adalah buku berjudul ‘Lubang Kelam(in)’—yang belum lama ini diterbitkannya.

Baca juga: 4+1 Alasan Mengapa Penting Lindungi Transpuan: Mereka Bukan Virus

Lubang Kelam(in)’ berisi sejumlah karya tulis Jessica selama beberapa waktu terakhir. Ia mengisahkan berbagai pengalaman ketubuhan—termasuk pertanyaan dan pernyataan seputar tubuh perempuan dan minoritas; tubuh yang liyan, tubuh yang berkorban dan dikorbankan.

“Cerita lubang kelam(in) menawarkan cara pandang baru dalam melihat tubuh,” tulis Jessica dalam kata pengantarnya di buku ‘Lubang Kelam(in)’.

Dirinya berpendapat, isu tubuh, seksualitas, dan kesehatan kerap dianggap sebagai sesuatu yang liyan, “Terutama jika di sana ada tubuh-tubuh identitas minoritas. Tubuh-tubuh mereka dianggap asing, aneh, gila, lacur, mengganggu, bahkan hingga detik ini masih secara terus-menerus mengalami peminggiran.”

Bukan hanya dipinggirkan dan dinihilkan; tubuh, terutama tubuh minoritas, kerap harus menghadapi jerat birokrasi yang mungkin tidak dialami serupa oleh tubuh-tubuh lainnya. Topik ketubuhan dan seksualitas jadi sesuatu yang tabu, pamali, khususnya saat ada isu identitas yang berkelindan di dalamnya.

Baca juga: ‘Kami Ingin Beribadah Dengan Aman dan Nyaman’: Cerita Transpuan Menjalankan Keyakinan dan Agamanya

Jessica berusaha mematahkan persepsi itu dengan menerbitkan kumpulan karyanya dalam bentuk ‘Lubang Kelam(in)’. Buku tersebut berisi 12 tulisan Jessica tentang pengalaman-pengalaman seksualitas, termasuk performativitas, tinampil, dan inklusivitas bagi tubuh-tubuh minoritas. Beberapa cerita mungkin terkesan ngeri, mencekam, atau pilu. Beberapa lainnya absurd—dalam makna yang baik. Memang begitulah yang Jessica harapkan: kita melangkah keluar dari ‘normal’ dan melintasi imajinasi dengan terbuka. Khususnya tentang tubuh dan beragam pengalamannya.

Melalui tulisan-tulisannya, Jessica membawa isu ketubuhan lebih dekat dan frontal, kalau bukan provokatif, kepada pembaca. Kamu akan diajak mengarungi zaman bersama Sri dan Jessica si boneka di cerita ‘Boneka Serba Tidak’; menghadapi bully bersama Darra dan Christie di ‘Gadis Berpayudara Tiga’; berkenalan dengan Vagina, Servika, Labia Mayora, dan Labia Minora di ‘Pesona Kelam Empat Bibir’; dan seterusnya.

Pengalaman Jadi Landasan

Tentu saja Jessica menulis ‘Lubang Kelam(in)’ bukan tanpa sesuatu yang melandasinya. Pengalaman yang dituangkannya dalam bentuk tulisan bukan semata-mata dari diri sendiri; ia merangkum pengalaman kolektif dari tubuh-tubuh minoritas dan ‘melempar’nya kembali ke masyarakat, yang selama ini menolaknya.

“Pengalamannya sebagai Pengurus Waria Crisis Center yang mengantarkan pada pengalaman pendampingan terhadap sejumlah kasus kekerasan terhadap transpuan di Yogyakarta,” ungkap Rully Mallay, koordinator Waria Crisis Center dalam kata pengantarnya untuk Jessica di buku ‘Lubang Kelam(in).’

Maka tak heran, tulisan-tulisan Jessica terasa dekat dan terjangkau. Karyanya bukan sekadar produk artistik; ia adalah keping-keping kehidupan dan berbagai ketidakadilan di dalamnya, dari sudut yang kerap tak kasatmata. Kisah-kisah dalam ‘Lubang Kelam(in)’ adalah tentang hal-hal yang selama ini berusaha disembunyikan, dipandang sebagai dosa, hingga dilenyapkan: tubuh, seksualitas, perempuan—tentang identitas.

“‘Lubang Kelam(in)’ adalah gerbang kelahiran, mungkin seperti layaknya organ reproduksi manusia,” tulis Syafiatudina, kurator yang memberikan pengantar di buku karya Jessica tersebut. “Setelah melewati gerbang ini, pembaca akan menemukan dirinya terlahir ke dalam dunia baru. Dunia di mana hal-hal menjadi mungkin sehingga kemudian pembaca mempertanyakan hal-hal yang tidak mungkin.”

Baca juga: ‘Endulita, Cucok Meyong’: Kemunculan Gerakan Transpuan Lewat Bahasa dan Komunitas

Sementara itu, psikolog Ifa Hanifa Misbach menuturkan dalam pengantarnya, “Jessica menghadirkan berbagai perspektif cerita kelamin dengan cara yang unik untuk menggugat ketidakadilan dan nestapa dari berbagai sudut pandang yang kaya sekaligus satir.”

Lubang Kelam(in)’ merupakan upaya membongkar konstruksi patriarki terhadap tubuh dan seksualitas. Selain itu, melalui tulisan-tulisannya, Jessica hendak membuka hati dan pikiran masyarakat dengan menguak kesadaran bahwa masih ada tubuh-tubuh yang didiskriminasi, diasingkan, dan dibunuh.

Pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sekaligus jurnalis Tempo, Shinta Maharani, melihat ‘Lubang Kelam(in)’ sebagai buku ‘provokatif’ yang membawa semangat feminisme, serta menentang objektifikasi tubuh dan seksual.

“Kesan kuat yang muncul adalah Jessica menggambarkan tubuh perempuan yang penuh luka, memperlihatkan kepedihan rasa sakit dan perjuangan untuk mengatasinya,” kata Shinta.

Buku ‘Lubang Kelam(in)’ cocok dibaca untuk kamu yang tertarik dengan isu ketubuhan dan seksualitas, serta menentang diskriminasi—atau, kamu yang sedang butuh ‘tamparan’ mengenai beratnya pengalaman tubuh minoritas.

Foto: Buku ‘Lubang Kelam(in)’ karya Jessica Ayudya Lesmana

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!