orang dengan disabilitas

Sebuah Mispersepsi: Pengobatan Alternatif dan Klaim Kesembuhan Bagi Orang Dengan Disabilitas

Berita tentang pengobatan alternatif tampaknya memberikan harapan baru bagi kelompok disabilitas yang menghadapi kesulitan dalam memperoleh layanan kesehatan yang inklusif dan tanpa hambatan. Namun, di tengah gencarnya pengobatan alternatif, terdapat mispersepsi yang perlu disadari oleh masyarakat terkait dengan hal ini.

Fenomena pengobatan Ida Dayak menjadi daya tarik bagi orang dengan disabilitas (khususnya disabilitas fisik dan sensorik) yang berharap “kesembuhan”, seperti bisa berjalan lagi, meluruskan tangan yang bengkok.

Bahkan konon pengobatan ini mampu membuat pasien tuli dan bisu kembali bisa mendengar dan berbicara.

Kabar mengenai pengobatan alternatif seakan memberi angin segar bagi kelompok disabilitas yang masih kesulitan mendapatkan layanan kesehatan yang inklusif tanpa hambatan.

Namun, di tengah riuhnya mengenai kabar pengobatan alternatif yang ramai dibicarakan, ada mispersepsi terkait kelompok disabilitas yang perlu masyarakat ketahui. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kelompok disabilitas untuk cenderung lebih memilih pengobatan alternatif ketimbang pengobatan medis.

Stigma yang masih melekat

Stigma menjadi masalah yang terus muncul dalam berbagai aspek, tak terkecuali isu stigma pada kelompok disabilitas.

Erving Goffman dalam buku “Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity” mendefinisikan stigma sebagai keberadaan atribut pada suatu individu atau kelompok yang dianggap lebih rendah dari individu atau kelompok lain. Atribut ini kemudian kerap digunakan untuk mendiskriminasi individu atau kelompok.

Dalam konteks disabilitas, kondisi disabilitas yang dialami kerap menjadi atribut dan pemberian stigma bahwa mereka adalah individu yang “sakit” dan perlu disembuhkan.

Kondisi ini kemudian membuat orang dengan disabilitas kesulitan untuk mendefinisikan bahwa mereka adalah individu lainnya yang juga sehat seperti masyarakat lainnya.

Konstruksi sosial yang salah kaprah tersebut pada akhirnya membuat kelompok disabilitas, keluarga, dan lingkungan sosial mereka untuk terus mencoba berbagai pengobatan dengan tujuan ‘menyembuhkan’ mereka.

Baca juga: Perempuan Disable: Kami Tak Bisa Selesaikan Kekerasan Seksual Jika Hak Reproduksi Tak Dipenuhi

Stigma yang sudah terlanjur melekat terhadap orang dengan disabilitas di masyarakat berpotensi melahirkan praktik-praktik ableisme, yang mendorong mereka “memperbaiki” diri agar menjadi “normal” dan mampu melakukan berbagai hal.

Sejatinya, kelompok disabilitas dapat beraktivitas dan memperoleh berbagai layanan ketika memperoleh akomodasi atas kebutuhannya yang berbeda.

Stigma lainnya yang selalu tertanam dalam benak masyarakat terkait orang dengan disabilitas adalah mereka tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak produktif. Dengan demikian, masa depan mereka suram serta akan menjadi beban orang-orang terdekatnya pada kemudian hari.

Atas dasar stigma tersebut, keluarga terutama ibu selalu disalahkan atas disabilitas yang dialami oleh anaknya.

Tekanan-tekanan tersebut membuat keluarga membawa anaknya yang merupakan kelompok disabilitas untuk memperoleh pengobatan yang diyakini mujarab dan kilat agar menyembuhkan anaknya.

Hambatan dalam mengakses layanan kesehatan

Penyandang disabilitas menghadapi hambatan dalam semua aspek sistem kesehatan. Misalnya, praktik diskriminatif di kalangan petugas kesehatan, fasilitas dan informasi kesehatan yang sulit diakses, dan kurangnya informasi atau pengumpulan dan analisis data tentang disabilitas, semuanya berkontribusi pada ketidakadilan kesehatan yang dihadapi oleh kelompok disabilitas.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa hal di luar rasionalitas seperti pengobatan Ida Dayak sangat memberikan harapan bagi para orang disabilitas.

Tidak hanya pengobatan Ida Dayak, pengobatan alternatif lain yang ‘terjangkau’, seperti pengobatan rehabilitasi mental di Pesantren Daarul Miftah Mulia, juga menjadi alternatif bagi kelompok disabilitas untuk mendapatkan akses kesehatan, khususnya terkait mental.

Faktor komunikasi konteks tinggi yang dipraktikkan Ida Dayak kepada pasien disabilitas nyatanya lebih mengena karena menyentuh empati pasien yang terlihat lebih dihargai di pengobatan alternatif.

Baca juga: Ironi Penyandang Disabilitas: Diabaikan di Kota Ramah Disabilitas

Komunikasi konteks tinggi membuat makna pesan tertanam jauh di dalam informasi, sehingga tidak semuanya dinyatakan secara eksplisit ketika diucapkan. Mudahnya, masyarakat Indonesia lebih suka berbasa basi sebelum menyampaikan inti dari sebuah pesan.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem kesehatan medis yang menggunakan gaya komunikasi konteks rendah yang bersifat eksplisit. Hasilnya pasien disabilitas masih ada yang merasa didiskriminasi oleh petugas kesehatan yang tidak memiliki pengetahuan menciptakan rasa hormat kepada pasien disabilitas.

Hasil temuan tim riset kami, Tim Riset Rumah Program Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (IPSH) dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2022 di Yogyakarta menunjukkan tenaga kesehatan menggunakan bahasa yang cenderung nirempati bagi keluarga penyandang disabilitas. Laporan riset ini sedang dalam proses publikasi sebuah jurnal.

Ketika informan kami ingin memperoleh layanan kesehatan lanjutan untuk anaknya yang cerebral palsy, tenaga kesehatan tersebut berkomentar dan menyiratkan bahwa kondisi anak sudah tidak dapat lebih baik dan tidak tahu lagi tindakan seperti apa yang harus diberikan. Cara berkomunikasi tersebut tentu meninggalkan luka dan ketidaknyamanan bagi keluarga yang memiliki anak disabilitas.

Perbedaan mana yang lebih memanusiakan, nyatanya menjadi salah satu faktor penting mengapa pengobatan alternatif Ida Dayak lebih dipilih pasien disabilitas dibandingkan dengan pengobatan medis.

Kebijakan yang belum memihak penyandang disabilitas

Dari sisi kebijakan, sebenarnya sudah ada piranti legal yang memberikan perlindungan dan pemenuhan hak terhadap disabilitas.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas membuka angin segar bagi perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Indonesia.

Dalam pemenuhan hak kesehatan, misalnya, telah diamanatkan juga penyelenggaraan Habilitasi dan Rehabilitasi yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Habilitasi dan Rehabilitasi.

Namun persoalan ini ternyata masih dibebankan kepada Kementerian Sosial (Kemensos) semata, sehingga cara pandang penyelenggaraan habilitasi dan rehabilitasi juga masih bersifat charity.

Rehabilitasi dalam program Kemensos kemudian dimaknai sebagai penyediaan alat bantu. Padahal, habilitasi dan rehabilitasi seharusnya juga perlu difokuskan pada upaya memperlengkapi individu dengan pengetahuan, alat, atau sumber daya khusus yang dibutuhkan. Juga memastikan bahwa lingkungan, program, praktik, atau pekerjaan umum mencakup fitur yang dibutuhkan penyandang disabilitas untuk berhasil atas dasar kesetaraan dengan orang lain.

Habilitasi mengacu pada suatu proses untuk membantu orang disabilitas mencapai, menjaga atau meningkatkan keterampilan dan berfungsi untuk kehidupan sehari-hari.

Layanannya meliputi terapi fisik, okupasi, dan bahasa wicara, berbagai perawatan terkait manajemen nyeri, dan audiologi, serta layanan lain yang ditawarkan di rumah sakit dan lokasi rawat jalan.

Sedangkan rehabilitasi mengacu pada mendapatkan kembali keterampilan, kemampuan, atau pengetahuan yang mungkin telah hilang atau dikompromikan sebagai akibat dari kedisabilitasan. Atau karena perubahan kedisabilitasan atau keadaan seseorang.

Pada kenyataannya, rehabilitasi yang diselenggarakan selama ini juga dinilai belum inklusif karena tidak memberikan pilihan terhadap cara dan mekanisme rehabilitasi.

Pelaksanaan rehabilitasi melekat dalam program ATENSI atau Asistensi Rehabilitasi Sosial di Kementerian Sosial. Program ATENSI diberikan berdasarkan layanan multifungsi, sehingga diharapkan semua balai rehabilitasi Kemensos dapat melayani semua ragam disabilitas.

Hal tersebut sayangnya justru menimbulkan persoalan karena tidak diikuti kesiapan sumber daya dan pengetahuan pekerja sosialnya.

Selain program layanan rehabilitasi, program ATENSI lebih banyak memberikan alat bantu yang dimasukkan dalam program Indonesia Melihat, Indonesia Mendengar, dan Indonesia Melangkah. Program ini sering dikritisi karena justru semakin membuat bingung penyandang disabilitas, lebih banyak bersifat program charity, dan sarat dengan ableisme .

Butuh dukungan semua pihak

Kita semua bertanggung jawab untuk terus mengawal pemenuhan hak-hak kesehatan yang inklusif. Kita harus mengakhiri mispersepsi dan stigma terkait penyandang disabilitas serta berbagai hambatan yang mereka alami dalam mengakses hak-hak kesehatan.

Pertama, layanan dan program kesehatan bagi orang dengan “disabilitas tidak” bersifat One-size-fits-all (satu solusi untuk semuanya). Kelompok disabilitas memiliki berbagai jenis dan ragam disabilitas serta perbedaan lingkungan sosial dan kultural yang melingkupinya.

Kedua, upaya pemenuhan hak-hak kesehatan penyandang disabilitas harus meminimalkan hambatan-hambatan yang selama ini mereka alami.

Semua pihak, baik negara maupun masyarakat harus memahami bahwa upaya tersebut merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dan menjadi tanggung jawab kita bersama dalam mewujudkannya.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Peneliti BRIN

Yang terlibat dalam penulisan ini adalah Angga Sisca Rahardian, Andhika Ajie Baskoro, Isnenningtyas Yulianti, Mochammad Wahyu Ghani, Sri Sunarti Purwaningsih, Zainal Fatoni
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!