Di Balik Glamorisasi Industri Fesyen, Terjadi Pelecehan Seksual, Tokenisme dan Diskriminasi Rasial  

Para perempuan di balik industri fesyen mengalami banyak kerentanan seperti didiskriminasi karena kulitnya yang hitam, kurang lancar berbahasa Inggris dan mendapat pelecehan seksual.

Industri fesyen high-end yang gemerlap dan glamor selalu menghadirkan konsepsi menarik di kepala kita. Model-model ternama, harga produk yang fantastis, promosi secara maksimal, serta peragaan busana yang ditata sedemikian rupa melalui pagelaran fashion week, menjadikan industri fesyen kerap diminati basis konsumen yang luas. 

Tulisan ini akan mengupas soal kerentanan perempuan di balik industri fesyen dunia.

Tiap detail ikonik yang muncul dari merek terkenal seolah akan menjadi standar gaya hidup bagi banyak orang. Industri fesyen memiliki pengaruh yang luar biasa besar. Eratnya ikatan industri fesyen dengan industri hiburan mendorong ekspansi pengaruh ini.

Lantas, seberapa jauh industri fesyen dapat dikonsepsikan dan dinilai? Kontroversi dibaliknya bukan hanya mengenai Balenciaga dan trash pouch yang harganya melambung tinggi yang dianggap sebagian orang mengada-ada. Bukan juga sebatas kritik terhadap Vogue. Tapi, dari hal itu kita berangkat, bahwa mungkin, film The Devil Wears Prada ada benarnya. Orang-orang dengan pakaian high-end ini juga dapat berlaku buruk dan menormalisasi perlakuannya atas power yang dimiliki.

Mencuatnya pelecehan seksual oleh Ed Razek, mantan Chief Marketing Officer Victoria’s Secret, misalnya. Perlakuannya dalam mengirim pesan vulgar di email, mencoba mencium model, meletakkan tangannya di pakaian dalam para model, serta meninggalkan berbagai komentar tidak senonoh mengenai model telah dirangkum oleh The New York Times melalui narasi ‘Angels in Hell.’

Ed Razek dan perlakuan misogininya telah memberikan banyak tekanan bagi para model, yang juga menghancurkan branding Victoria’s Secret pada saat itu.

Baca Juga: Fashion Has No Gender” Laki-laki Juga Bisa Ekspresif Dan Kreatif

Perancang busana terkenal sekaligus mantan direktur kreatif Balenciaga, Alexander Wang, di kasus lain telah melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa orang. Salah satunya model Owen Mooney yang membuka suara di awal. Alexander Wang dituduh memberikan air yang ternyata merupakan vodka kepada para korban. Lalu, Ia melakukan tindakan tidak senonoh tanpa konsen korban. Fotografer Bruce Weber dan Mario Testino juga pernah dituduh atas kasus pelecehan seksual. Juga pemaksaan pemotretan tanpa busana, dan meraba rekan kerjanya.

Sikap misogini Wolfgang Joop, seorang perancang busana asal Jerman, juga dikritik karena komentarnya yang dianggap menormalisasi pelecehan seksual dalam industri fesyen. Dimana ia menyatakan agensi memberi laki-laki kaya ‘kunci’ ke kamar model yang ‘tidak menghasilkan banyak uang.’ Meski ia meminta maaf kemudian, hal ini tetap tidak menutup bagaimana industri fesyen dapat sangat bias dalam menilai dan memperlakukan seseorang berdasarkan identitas gendernya

Anna Wintour. Editor-in-chief Vogue kemudian juga meminta maaf atas diskriminasi rasial pada ras kulit hitam di Vogue. Shelby Ivey Christie, media planner Vogue pada 2016, menyatakan bagaimana pekerja kulit hitam mengalami overwork dengan penghasilan yang lebih rendah. 

Diskriminasi Rasial, Misogini dan Marginalisasi Perempuan

Kontroversi editor-in-chief V Magazine, Stephen Gan, juga menunjukkan diskriminasi rasial, sikap misogini, serta marginalisasi terhadap pekerja perempuan.

Model kulit non-putih sampai saat ini masih mengalami diskriminasi di industri fesyen. Di pertengahan 2000-an, runway menunjukkan kurangnya keberagaman di dunia model, dimana sebagian besar model yang direkrut adalah model berkulit putih dengan tubuh yang sangat langsing (Givhan, 2017). 

Melalui video “Representation Is the Bare Minimum” di YouTube Vogue, model Anok Yai menyatakan bagaimana industri fesyen sangat kompetitif dan dapat dengan mudah menggantikan model yang ada pada saat ini. 

Sebagai model berkulit hitam, Anok menyatakan bagaimana orang-orang di industri fesyen seringkali tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan rambut dan kulitnya. Anok mulai menegaskan bahwa ia hanya akan bekerja sama untuk peragaan busana yang menerima rambut naturalnya, bukan rambut yang diluruskan. 

Model kulit berwarna lain, Soo Joo Park, seringkali menerima pernyataan mengenai bagaimana ia sebagai model kulit non-putih ‘lancar’ berbahasa Inggris dan tidak memiliki aksen, yang membuatnya merasa didiskriminasi.

Baca Juga: Ada Apa Dengan Gaya Fashion Kita? Di Balik Industri Fast Fashion

Ariel Nicholson, model transgender Amerika, juga berbicara secara terbuka tentang bagaimana industri fesyen terkadang memberinya gender dysphoria melalui perbedaan ukuran tubuhnya dengan beberapa model lain

Bella Hadid menegaskan bahwa ia tidak akan bekerja sama dengan rumah mode yang tidak memiliki representasi. Meski isu keberagaman mulai ditilik lebih luas pada saat ini, industri fesyen masih harus memperbaiki banyak hal di dalamnya, termasuk diskriminasi rasial yang masih terjadi. 

Beberapa perancang mode dianggap benar-benar peduli dengan representasi dan inklusivitas, namun tokenisme dan industri fesyen masih memiliki kaitan erat. Inklusivitas dalam beberapa kesempatan ditunjukkan untuk keuntungan merek semata, dan cenderung tidak autentik.

Tokenisme, penyalahgunaan inklusivitas, menjadi kritik para model terhadap industri fesyen. Representasi tidak seharusnya menjadi alat kapitalisasi, namun ditunjukkan sebagai bagian dari kemajuan industri fesyen yang semakin menyadari isu keberagaman. 

Suara dari kaum minoritas menjadi hak yang harus diakui, bukan hanya diperjuangkan tanpa hasil.

Nadia Zahra Rahmadhani

Mahasiswi Hubungan Internasional yang suka menulis dan tertarik dengan isu gender.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular