Di Balik Tren AI, Waspadai Sederet Bahaya yang Mengintai

Kita tidak perlu takut dengan AI, karena teknologi ini bisa membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Namun, seperti halnya semua teknologi baru, masyarakat perlu beradaptasi dan memahaminya. Termasuk potensi-potensi bahayanya.

Berbagai peringatan tentang kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI) sudah ada di mana-mana saat ini. Ini termasuk pesan menakutkan tentang potensi AI untuk menyebabkan kepunahan manusia. Mengingatkan kita tentang adegan di film Terminator. Rishi Sunak, Perdana Menteri (PM) Inggris – tempat saya saat ini mengajar. Bahkan sudah mengadakan pertemuan untuk membahas keamanan AI.

Nyatanya, kita sebenarnya telah menggunakan teknologi AI sejak lama. Mulai dari algoritme yang digunakan untuk merekomendasikan produk yang relevan saat berbelanja daring. Hingga mobil dengan teknologi yang dapat mengenali rambu lalu lintas dan mampu memosisikan diri di jalur yang benar.

AI adalah alat untuk meningkatkan efisiensi. Sekaligus bisa memproses dan menyortir data dalam volume besar. Serta melepaskan sebagian beban pengambilan keputusan dari tangan kita.

Meski demikian, alat ini terbuka untuk semua orang, termasuk para penjahat. Dan kita sudah melihat bagaimana penjahat mengadopsi teknologi AI pada masa-masa awal ini. Misalnya penggunaan teknologi deepfake (rekayasa citra atau muka manusia) untuk melakukan pornografi balas dendam (revenge porn).

Teknologi dapat meningkatkan efisiensi aktivitas kriminal. Ini membuka celah bagi pelanggar hukum untuk menyasar lebih banyak orang dan membuat apa yang mereka lakukan lebih sulit dikenali. Mengamati bagaimana penjahat telah beradaptasi dengan, dan mengadopsi, kemajuan teknologi di masa lalu, dapat menjadi petunjuk bagi kita untuk memahami bagaimana mereka mungkin akan memanfaatkan teknologi AI.

1. Pancingan (phising) yang lebih baik

Teknologi AI seperti ChatGPT dan Bard milik Google telah membantu aktivitas penulisan, misalnya memungkinkan penulis yang tidak berpengalaman untuk menyusun pesan pemasaran yang efektif. Namun, teknologi ini juga dapat membantu penjahat terlihat lebih dapat dipercaya saat menghubungi calon korban mereka.

Bayangkan semua email spam dan teks phishing (penipuan online untuk mendapatkan informasi data pribadi) yang tulisannya buruk dan mudah dideteksi. Konten tulisan yang masuk akal dan mudah dipercaya adalah kunci untuk dapat memperoleh informasi dari korban.

Phishing adalah masalah angka: diperkirakan 3,4 miliar email spam dikirim setiap hari. Perhitungan saya sendiri menunjukkan bahwa jika penjahat dapat meningkatkan kualitas pesan mereka sehingga sebanyak 0,000005% saja dari pesan spam tersebut mampu meyakinkan seseorang untuk mengungkapkan informasi, ini akan menghasilkan 6,2 juta korban phishing lebih banyak setiap tahun.

2. Interaksi otomatis

Salah satu penggunaan awal teknologi AI adalah untuk mengautomasi interaksi antara pelanggan dan layanan melalui teks, pesan obrolan, dan telepon. Ini memungkinkan respons yang lebih cepat untuk pelanggan sehingga dapat mengoptimalkan efisiensi bisnis. Pihak pertama yang berinteraksi denganmu ketika menghubungi sebuah organisasi kemungkinan besar adalah sistem AI, sebelum kamu berbicara dengan manusia.

Para penjahat bisa saja menggunakan cara yang sama untuk membentuk interaksi otomatis dengan calon korban dalam jumlah besar, dalam skala yang mustahil dilakukan hanya oleh manusia. Mereka dapat menyamar sebagai sebuah layanan sah, seperti bank, melalui telepon dan email untuk mendapatkan informasi yang kemudian memungkinkan mereka untuk mencuri uangmu.

3. Deepfake

AI sangat pintar dalam menghasilkan model matematika yang dapat “dilatih” dengan jumlah data yang besar dari dunia nyata dan menjadikan model tersebut bisa melakukan tugas tertentu dengan lebih baik. Teknologi deepfake dalam video dan audio adalah contohnya. Penampilan deepfake yang disebut Metaphysic baru-baru mmendemonstrasikan potensi teknologi ini ketika meluncurkan video Simon Cowell menyanyikan opera dalam acara televisi America’s Got Talent.

Teknologi ini berada di luar jangkauan sebagian besar penjahat, tetapi kemampuan untuk menggunakan AI dalam meniru cara seseorang menanggapi teks, menulis email, merekam catatan suara, atau melakukan panggilan telepon menjadi terbuka lebar dengan hadirnya AI. Begitu pula dengan data untuk melatihnya, yang bisa dikumpulkan dari video di media sosial, misalnya: penampilan deepfake bernama Metaphysic dalam acara America’s Got Talent.

Baca Juga: Bagaimana QTCinderella Perang Lawan Pornografi Teknologi AI Deepfake

Media sosial selalu menjadi ladang bagi para penjahat untuk menggali informasi mengenai target potensial mereka. Saat ini AI berpotensi digunakan untuk membuat versi deepfake dirimu. Deepfake ini dapat disalahgunakan penjahat untuk berinteraksi dengan teman dan keluargamu dan meyakinkan mereka untuk menyerahkan informasi tentang kamu kepada penjahat. Jika mereka memperoleh lebih banyak hal tentang hidupmu, maka mereka akan lebih mudah, misalnya, menebak kata sandi atau pin akun-akun pribadimu.

4. Teknik brute force

Teknik lain yang bisa digunakan oleh penjahat dengan menggunakan AI adalah secara “brute force”. Ini adalah upaya paksa yang dilakukan dengan mencoba berbagai kombinasi karakter dan simbol secara bergiliran untuk melihat apakah ada yang cocok dengan kata sandimu.

Inilah sebabnya membuat kata sandi yang panjang dan rumit cenderung lebih aman; penjahat akan lebih sulit menebaknya jika menggunakan cara ini. Teknik brute force membutuhkan banyak sumber daya, tetapi akan lebih mudah dilakukan jika mereka mengetahui sesuatu tentang target korbannya. Mereka, misalnya, bisa menyusun daftar kata sandi potensial yang diurutkan sesuai prioritas – ini membuat prosesnya lebih efisien. Daftar tersebut dapat dimulai dengan kombinasi yang berkaitan dengan nama anggota keluarga atau hewan peliharaan.

Algoritme yang dilatih dengan datamu dapat digunakan untuk membantu menyusun daftar prioritas ini secara lebih akurat dan bahkan bisa menargetkan banyak orang sekaligus – sehingga sumber daya yang dibutuhkan lebih sedikit. Fitur AI tertentu dapat dikembangkan, sehingga dapat memanen data online dirimu lalu menganalisis semuanya untuk membuat suatu profil.

Misalnya, jika kamu sering mengunggah konten di media sosial tentang Taylor Swift, menelusuri unggahanmu secara manual untuk menemukan petunjuk kata sandi akan memerlukan kerja keras. Sementara, AI bisa melakukan ini secara otomatis dengan cepat dan efisien. Semua informasi ini bisa mereka gunakan untuk membuat profil dirimu dan kemudian membuat mereka lebih mudah menebak kata sandi dan pinmu.

Skeptisisme yang sehat

Kita tidak perlu takut dengan AI, karena teknologi ini bisa membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Namun, seperti halnya semua teknologi baru, masyarakat perlu beradaptasi dan memahaminya.

Sama halnya dengan smartphone, sekarang kita mungkin menganggapnya remeh. Tetapi dulu kita harus menyesuaikan diri untuk menggunakannya dalam hidup kita. Smartphone memberikan banyak bermanfaat. Tetapi tetap ada hal-hal yang perlu diwaspadai. Seperti jumlah waktu penggunaan layar (screen time) yang baik untuk anak-anak.

Baca Juga: Trend Bikin ‘Avatar’ Dengan AI, Ada Pelecehan dan Sensasionalisme Yang Perlu Kamu Tahu

Sebagai individu, kita harus proaktif dalam upaya memahami AI dan tidak mudah percaya. Kita harus mengembangkan pendekatan kita sendiri untuk menyikapinya serta memiliki rasa skeptis yang sehat. Kita perlu mempertimbangkan bagaimana kita memverifikasi kebenaran dari apa yang kita baca, dengar, dan lihat.

Tindakan sederhana ini akan membantu kita sebagai masyarakat mendapatkan keuntungan dari penggunaan AI sekaligus memastikan kita dapat melindungi diri dari potensi bahayanya.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Daniel Prince

Professor of Cyber Security, Lancaster University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!