Didominasi ‘Klub Bapak-Bapak’, Bisakah Sepakbola Perempuan Maju di Kancah Global?

Organisasi olahraga global secara tradisional dipandang sebagai “klub bapak-bapak”. Dikarenakan struktur administrasi yang pengelolaannya didominasi oleh jaringan laki-laki elit kaya raya. Gimana sepakbola perempuan bisa maju?

Piala Dunia Wanita FIFA 2023 diperkirakan akan menjadi pesta olahraga perempuan terbesar. Diselenggarakan oleh Australia dan Selandia Baru secara bersama-sama, pertandingan ini diprediksi akan disaksikan lebih dari 1 juta penonton langsung. Selain itu, ada pula 2 miliar penonton melalui televisi dan saluran digital.

FIFA berencana menggunakan pertandingan ini untuk “menciptakan nilai komersial” sepak bola perempuan. Namun, ada keseimbangan yang harus dicapai antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan penggunaan diplomasi olahraga. Tujuannya, untuk memajukan kesetaraan gender. Hal ini sangat penting bagi turnamen seperti Piala Dunia Wanita.

Pembatalan kesepakatan sponsor antara Visit Saudi – jargon promosi pariwisata pemerintah Arab Saudi – dan pihak Piala Dunia Wanita FIFA 2023, misalnya. Ini menunjukkan bahwa FIFA memiliki beberapa cara untuk menemukan keseimbangan itu. Dan penelitian mendukung argumen tersebut.

Presiden FIFA Gianni Infantino pada tahun 2021 menggambarkan diplomasi olahraga sebagai: “Memanfaatkan kekuatan sepak bola dengan tujuan memberi manfaat bagi masyarakat, melalui kerja tim para mitra kami, adalah tindakan nyata diplomasi olahraga.”

Baca Juga: Piala Dunia Perempuan 2023, FIFA Pakai Medsos untuk Lindungi Pemain dari Pelecehan

Sering terjadi tetapi tidak disorot, tindakan diplomasi ini (yang mencakup komunikasi, representasi, dan negosiasi) sangat krusial bagi para penyelenggaranya. Termasuk, federasi internasional yang cenderung meragukan acara semacam ini.

Penelitian menunjukkan bahwa diplomasi olahraga sangat penting ketika menjadi tuan rumah acara olahraga perempuan internasional. Ini karena organisasi olahraga global secara tradisional dipandang sebagai “klub bapak-bapak”. Sebab olahraga sepakbola seringnya punya struktur administrasi yang pengelolaannya didominasi oleh jaringan laki-laki elit kaya raya.

Diplomasi olahraga perlu sangat hati-hati dalam berkecimpung di lingkungan ini. Apalagi, jika tujuannya, mencoba menyamakan posisi acara olahraga perempuan.

Perjuangan sponsor FIFA

Kesepakatan dengan Visit Saudi pertama kali dipublikasikan pada awal tahun 2023 dan dengan cepat menuai kritik. Yaitu, seputar perbedaan antara catatan Arab Saudi dalam perjuangan hak-hak perempuan. Di samping itu, tujuan FIFA untuk mempromosikan kesetaraan gender.

Organisasi internasional Human Rights Watch telah banyak mengkritik rekor Arab Saudi terhadap hak-hak perempuan dan kelompok LGBTQ+. Sikap Arab Saudi tersebut sangat kontras dengan landasan komitmen turnamen yang progresif dan inklusif gender yang dibuat oleh FIFA.

Memang, ada beberapa negara lain dengan catatan HAM yang juga dipertanyakan telah lebih dulu berinvestasi dalam kemitraan sponsor. Seperti Visit Rwanda (Kunjungi Rwanda). Namun, Arab Saudi dan strategi investasinya dalam olahraga telah banyak diawasi, yang paling baru adalah seputar golf profesional laki-laki.

Baca Juga: Bias Gender Bikin Olahraga Perempuan Makin Sulit Maju

Pada Maret, petinggi federasi sepak bola Selandia Baru dan Australia beserta pejabat pemerintah dan para pemain senior terkemuka masing-masing negara telah menyuarakan keprihatinannya. Mereka mengancam akan memprotes jika FIFA meresmikan kesepakatan sponsor tersebut. Ini secara tidak langsung menjadi salah suatu bentuk diplomasi olahraga.

Setelah langkah mengejutkan FIFA dalam kesepakatan sponsor, Infantino menggambarkan situasi saat ini sebagai “badai dalam cangkir teh” atau masalah kecil yang dibesar-besarkan.

Dia mengklaim ada standar ganda, karena banyak negara – termasuk Australia – sudah lama memiliki kesepakatan perdagangan dengan Arab Saudi. Dia berkata: “Bagi kami, semua [bangsa] adalah sama.”

Langkah penyeimbang

Ada beberapa argumen bahwa FIFA memang perlu berpegang pada standar yang berbeda saat menengahi kesepakatan ekonomi, terutama ketika perlu memperluas sponsor global untuk mendanai pertumbuhan Piala Dunia Wanita.

Bagi Infantino dan FIFA, kesepakatan dengan Saudi justru mewakili pertumbuhan ekonomi dan dukungan untuk pengembangan olahraga perempuan.

Hanya saja, penelitian telah menyoroti bahwa organisasi olahraga internasional perlu lebih mendengar dan memahami suara perempuan.

Baca Juga: Sejarah Baru Piala Dunia 2022: 6 Wasit Perempuan Pimpin Piala Dunia

Tidak mempertimbangkan suara perempuan saat menimbang potensi Arab Saudi sebagai sponsor, atau berusaha mengelola harapan yang berbeda melalui diplomasi olahraga, hanya membuat kesepakatan tersebut tidak memberikan dampak bagi kepentingan pertumbuhan sepak bola perempuan dan hanya menuai kritik publik belaka.

Itulah mengapa diplomasi olahraga yang efektif di tengah keseimbangan pertumbuhan ekonomi yang rapuh, klaim kesetaraan, dan urusan global perlu menjadi fokus FIFA jika ingin menciptakan sejarah yang baik bagi sepak bola perempuan ini – dan mewujudkan kesetaraan.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Verity Postlethwaite, Claire Jenkin dan Lindsay Sarah

Para peneliti adalah Doctoral Prize Fellow, Sport, Business and Society Research Group di Loughborough University, Senior Lecturer in Sports Development di Universitas Hertfordshire dan Research Associate, Centre for International Studies & Diplomacy, SOAS di Universitas London.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!