‘Green Job’ Jadi Daya Tarik: Kebijakan Kerja Harus Adil Gender dan Inklusif

Pekerjaan yang lebih 'ramah lingkungan' harus digerakkan dengan kebijakan yang inklusif dan adil gender. Segala bentuk stigma, diskriminasi dan kekerasan harus dihapuskan!

“Tidak ada sarana pembangunan yang lebih efektif daripada pemberdayaan perempuan” (Kofi Annan)

Peningkatan kebutuhan tenaga kerja ‘ramah lingkungan’ atau green job diprediksi bakal jadi tren. Ini sejalan dengan target bauran energi terbarukan yang dicanangkan pemerintah dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 23% pada tahun 2025. 

Di Indonesia, tipe pekerjaan ini digadang-gadang sebagai pekerjaan masa depan. Terlebih, saat anak muda kini banyak disebut peduli terhadap isu lingkungan. 

Sekilas, implementasi green job yang bakal punya prospektif cerah ini, masih ada pertanyaan pelik yang membayangi. Apakah pasar kerja green job ini dapat terbebas dari permasalahan yang sebelumnya sudah ada di sektor ‘non-hijau’ yaitu soal kesetaraan gender.  

Hal itu harus menjadi perhatian serius. Sebab, tanpa adanya pembangunan ekonomi yang sensitif atas gender dan mengabaikan perempuan, maka pembangunan ekonomi dan sosial negara sulit tercapai. 

Situasi saat ini, menurut Global Gender Gap Index (2021), perempuan di Indonesia masih tertinggal sebesar 28,1% dalam partisipasi kerja dibandingkan laki-laki. 

Ini masih di lingkup kerja, belum di berbagai sektor lainnya yang masih jadi “PR”. Bagaimana peran perempuan bisa lebih dioptimalkan. Berbagai kebijakan pun harus sensitif terhadap isu gender dan menjawab permasalahan di dalamnya. 

Mengapa ini penting? 

Kaitannya dalam pembangunan, keadilan gender sangat krusial. Kita bisa lihat kerangka pembangunan yang digagas PBB yakni 17 Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satunya dihubungkan dengan potensi perekonomian yang bisa dicapai dengan meningkatkan partisipasi perempuan. 

Jika Indonesia tidak bisa mencapai angka 25% partisipasi perempuan pekerja pada 2025, maka Indonesia berpotensi kehilangan sebesar USD 62 miliar di aktivitas ekonomi dan kehilangan 2,9% akselerasi GDP. 

Maka dari itu, penting bagi penentu kebijakan dan berbagai stakeholders terkait melakukan upaya konkret. Misalnya, meningkatkan kapasitas perspektif gender, menerapkan kebijakan kerja yang adil gender, menjamin hak-hak reproduksi perempuan, dan lainnya.  

Di samping itu, berbagai hambatan terhadap peran perempuan dalam kerja di era green job ini, sudah saatnya disingkirkan. Apa saja?  

Perempuan Dianggap Hanya “Pelengkap”

Perspektif patriarki dalam dunia kerja, menempatkan peran perempuan hanya sebagai ‘pelengkap’. Kesenjangan gender menyebabkan perempuan dianggap tidak cukup mampu memimpin dunia kerja. Bahkan, sekedar mengambil keputusan.

Favoritisme terhadap gender maskulin—-dimana perempuan dianggap feminin, memvalidasi berbagai opini tentang peran gender yang merugikan bagi perempuan. Misalnya, tentang apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan perempuan, serta apa yang diharapkan dari mereka dan apa yang tidak diharapkan. 

Baca Juga: Multitasking Perempuan Itu Cuma Mitos Karena Langgengkan Beban Ganda Perempuan

Dampak dari persepsi ini, memengaruhi kepercayaan diri perempuan. Bahkan bisa menanamkan sikap pesimis perempuan terhadap dirinya sendiri. Inilah yang jadi persoalan “tak terlihat” dan terinternalisasi dalam diri perempuan yang menutup peluang mencapai sesuatu.

Selain juga hambatan eksternal, seperti kebijakan yang belum ramah gender serta lingkungan sosial yang menormalisasi ketimpangan gender itu. 

Domestifikasi Perempuan

Hal lain yang menghambat partisipasi perempuan di sektor kerja, baik hijau maupun non-hijau adalah tuntutan untuk “berkomitmen” terhadap keluarga. Ini merujuk pada tuntutan yang dibebankan pada perempuan atas kerja-kerja domestik rumah tangga. 

Di Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya, kesenjangan gender yang tinggi serta sistem patriarki, memvalidasi soal solusi kekhawatiran terhadap “keselamatan” perempuan dan hilangnya “kemurnian” mereka adalah dengan membatasi mobilitas fisik. Termasuk dari aktivitas bekerja dan menuntut ilmu. 

Sementara bagi perempuan yang sudah memiliki keluarganya, cenderung diwajibkan untuk mengurus keluarganya.

Baca Juga: Beban Ganda Bikin Perempuan Sulit Berkarir

Hal tersebut bahkan terus dilanggengkan, dengan adanya penghargaan masyarakat terhadap perempuan yang mengurus anak dan suami di rumah, lebih tinggi dibandingkan penghargaan perempuan yang memiliki karier di luar rumah. Perempuan akan disebut “tidak becus” mengurus suami dan anak, jika dia tampak passionate dengan pekerjaannya. 

Padahal, semua  itu hanyalah “ilusi” dari masyarakat patriarki yang seringkali melumpuhkan otonomi perempuan. 

Diskriminasi Berbasis Gender

Menurut survei di Amerika, walaupun mayoritas orang percaya bahwa perempuan dapat melakukan pekerjaan sama baiknya dengan laki-laki, namun mereka masih terhambat oleh bias gender yang merugikan perempuan. 

Pekerjaan laki-laki dianggap maskulin dan sulit sehingga lebih dihargai. Maka dari itu, perempuan lebih mungkin untuk dipekerjakan di posisi yang dibayar lebih rendah, non-teknis, administratif dan di hubungan masyarakat daripada di posisi teknis, manajerial atau pembuat kebijakan. 

Baca Juga: Minim Pekerja Perempuan Dan Tidak Beragam, Itu Tandanya Kantormu Tidak Inklusif

Di sisi lain, praktik perekrutan yang berlaku juga masih jadi penghalang signifikan dalam kontribusi perempuan. Misalnya saja, laki- laki cenderung melamar pekerjaan bahkan ketika mereka hanya memenuhi beberapa persyaratan, sementara perempuan harus memenuhi seluruh persyaratan yang ada atau memilih untuk tidak mendaftar sama sekali. 

Dalam industri yang didominasi laki-laki, perempuan juga dituntut mengikuti “standar maskulin” hanya untuk menyesuaikan diri dan untuk naik ke jenjang yang lebih baik. 

Potensi Perempuan di Green Job

Dengan dua per tiga populasi perempuan saat ini berada di interval produktif (15- 64) tahun, partisipasi perempuan krusial dalam pasar kerja masa depan. Perempuan punya peluang besar menjadi akselerator dalam implementasi green job.

Kegagalan untuk mempertimbangkan perspektif gender dalam implementasi green job di Indonesia, hanya akan menyia-nyiakan potensi dari setengah populasi masyarakat Indonesia. Dampaknya, cita-cita ketahanan ekonomi dan ekonomi yang berkelanjutan menjadi sekadar mimpi. 

Sebaliknya, jika perspektif gender dipertimbangkan dalam implementasi green job maka perubahan baik akan terjadi. ILO menyebut, partisipasi perempuan ini akan memungkinkan solusi yang lebih kreatif, peningkatan fleksibilitas, pengelolaan lingkungan yang lebih baik, investasi yang lebih efektif, peningkatan pemulihan biaya, peningkatan kepemilikan, peningkatan distribusi sumber daya, peningkatan pemberdayaan dan pengurangan kemiskinan.

Lantas, upaya apa yang perlu didorong?
Pertama, edukasi kesetaraan dan adil gender di sektor ketenagakerjaan harus digencarkan. 

Hal ini dapat dicapai dengan upaya penciptaan kebijakan yang memiliki perspektif gender. Peran perempuan harus dilibatkan dari segi kuantitas dan kualitas sektor tenaga kerja ini. Mulai dari desain, implementasi hingga pemantauan. Bisa dimulai dengan gaji setara, lingkungan kerja yang adil gender, dan stop stigmatisasi dan diskriminasi terhadap perempuan.

Kedua, mengedepankan prinsip work-life balance dan sensitif gender. 

Dalam implementasi green job, perusahaan-perusahaan yang bergerak ke arah “berkelanjutan dan lebih hijau” harus memanusiakan pekerja. Kebijakan yang mengakomodasi hak-hak reproduksi perempuan dan pengasuhan juga perlu didukung seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, hingga cuti ayah.

Kebijakan-kebijakan seperti itu yang dikombinasikan dengan kesetaraan upah, dukungan pengasuhan anak dan kesempatan maju ke jenjang profesional yang sama akan memberikan rasa dihargai dan membuat perempuan merasa betah bekerja.

Ketiga, memberantas diskriminasi gender di tempat kerja. 

Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat sistem pengawasan agar dapat melakukan penegakan hukum dan pemberian sanksi terhadap diskriminasi pada perempuan. Harus ada mekanisme di dunia kerja, bagaimana perempuan dapat membicarakan ketidaknyamanan dan menyuarakan ketidaksetujuannya tanpa diskriminasi.

Keempat, mempraktikkan sistem perekrutan yang adil, khususnya dalam implementasi green job

Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran atas hak kesetaraan gender bagi calon pekerja. Perlu juga upaya memperkuat pengetahuan akan hak-hak perempuan di dunia kerja.

Kelima, inklusivitas dalam penerapan green job juga penting.

Ini artinya pekerjaan ini bisa mengakomodasi bukan hanya pekerja dengan ragam gender. Namun, juga bersifat inklusif terhadap pekerja dengan berbagai latar belakang. Seperti, disabilitas, kelas ekonomi sosial, budaya dan agama, serta lainnya tanpa adanya stigma dan diskriminasi.

Baca Juga: Listen Include Respect, Bangun Dunia Kerja Inklusif untuk Disabilitas Intelektual

Jalan menuju adil gender dalam implementasi green jobs memang terdengar seperti jalan panjang yang penuh rintangan. Walaupun begitu, kepercayaan dan usaha terhadap hal- hal baik akan memberikan hasil yang baik juga. 

Apabila kesetaraan dan keadilan gender berhasil diterapkan dalam implementasi green job, banyak orang akan terbantu dan Indonesia akan selangkah lebih dekat ke kesejahteraan yang didambakan. 

Nadya Putri Arisni

Mahasiswi ITS Surabaya

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular