Salah satu kategori pemilih yang sangat menarik untuk diteliti menjelang pemilihan umum (pemilu) adalah pemilih pemula.
Kelompok pemilih pemula adalah warga negara yang akan memberikan suaranya dalam pemilu untuk pertama kalinya. Mereka biasanya berusia antara 17-21 tahun.
Hampir sebagian besar kelompok pemilih ini tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang informasi politik. Yang mencakup kandidat, partai politik, maupun hal-hal teknis terkait penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan.
Ini membuat mereka rentan akan terpaan informasi politik yang berlimpah dari berbagai sumber. Apalagi pemilih pemula termasuk dalam kelompok digital natives. Mereka terbiasa dengan penggunaan teknologi dan berinteraksi secara virtual. Mereka juga sangat terbuka untuk mempelajari hal-hal baru.
Menjelang Pemilu 2024 fase ini, salah satu tantangan besar yang akan mereka hadapi sebagai pemilih adalah infobesity yang membuat mereka menampung terlalu banyak informasi (information overload) dalam konteks politik. Ini kemungkinan besar akan membuat mereka kewalahan dalam menyaring informasi.
Masalah akan muncul jika infobesity “terkontaminasi” dengan berita-berita palsu–hal yang tampaknya akan sulit dihindari selama tahun politik.
Mengenal infobesity
Istilah infobesity mungkin masih cukup asing bagi masyarakat awam. Istilah ini berkembang dengan menjamurnya kajian ilmu informasi.
Infobesity atau information obesity (obesitas informasi) adalah kondisi ketika seseorang dihadapkan pada banyaknya pilihan informasi yang berdampak pada proses pengambilan keputusannya.
Istilah lain yang memiliki konteks serupa adalah information explosion (ledakan informasi). Yakni situasi ketika berbagai macam informasi yang ditemukan baik dalam bentuk teks, audio, audio visual dan variasi lainnya membuat masyarakat menjadi kewalahan.
Masyarakat Indonesia berpotensi lebih rentan terpapar infobesity karena memiliki budaya kolektivitas. Yakni dorongan untuk saling berbagi informasi melalui platform yang dimilikinya. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa generasi muda cenderung membagikan informasi tanpa terlebih dahulu mengetahui kebenaran ataupun mencari kebenaran informasi yang mereka dapat tersebut.
Tingginya jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia dan beragamnya platform digital turut berkontribusi pada tingginya jumlah informasi yang diproduksi dan dibagikan.
Baca Juga: 5 Hal tentang Pemilu Indonesia 2024, Disebut Pesta Demokrasi Terbesar di Dunia
Meskipun masyarakat sudah terbiasa mendapatkan banyak informasi dalam kehidupan sehari-hari. Situasi ini perlu menjadi perhatian khususnya menjelang tahun politik.
Ini karena, berkaca dari kontestasi politik periode-periode sebelumnya, media sosial memiliki dampak yang besar untuk menggiring opini publik. Selain sebagai media penyebaran informasi, media sosial juga menjadi sebagai salah satu alat untuk mobilisasi pemilih, kampanye, dan ruang diskusi, sehingga mudah disalahgunakan sebagai alat propaganda.
Dengan kata lain, media sosial juga dapat menyumbang infobesity. Dan ini cukup berbahaya karena informasi yang beredar sudah bercampur dengan informasi yang tidak sesuai fakta (hoaks, berita palsu dan disinformasi).
Ini patut diwaspadai utamanya bagi para pemilih muda. Yang umumnya termasuk dalam kategori pemilih yang mudah berubah-ubah pilihannya dan masih ragu dalam menentukan pilihan (biasa disebut undecided voters dan swing voters).
Baca Juga: Apa Kata Anak Muda Tionghoa Soal Pemilu 2024: Pilih Coblos atau Golput?
Yang jadi masalah, meskipun mayoritas pemilih pemula adalah digital natives, tidak semuanya memiliki kemampuan berpikir kritis terhadap informasi yang mereka terima.
Salah satu penelitian tentang bagaimana sikap generasi Z terhadap informasi yang beredar selama masa Pemilihan Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 menemukan bahwa pemilih muda cenderung mudah percaya atas informasi yang mereka dapat dan mudah terprovokasi untuk ikut berkomentar di konten-konten penggiringan opini publik.
Artinya, kelompok ini kurang memiliki keterampilan mengevaluasi informasi yang diterimanya secara kritis. Kedekatannya dengan media sosial juga membuat pemilih pemula menjadi kelompok pertama yang terpapar informasi politik dibandingkan kelompok lainnya. Pada akhirnya, kelompok ini rentan dipengaruhi oleh informasi yang keliru/hoaks yang beredar di lingkungan digital mereka.
Literasi dan pendidikan politik
Pemilih pemula biasanya belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang proses politik, isu-isu politik atau sekadar informasi terkait kandidat maupun partai politik. Jika dibandingkan generasi yang lebih tua.
Untuk mendapatkan informasi politik, pemilih pemula biasanya melakukan pencarian melalui media sosial dan saluran digital lainnya sebagai sumber utama. Sementara sumber sekundernya bisa dari forum publik, podcast, televisi, dan diskusi internal.
Namun, satu hal yang hampir pasti, lingkungan sekitar dapat berperan besar dalam memberikan informasi politik. Yang kemudian juga membentuk preferensi politik para pemilih tersebut.
Dalam hal ini, institusi pendidikan seperti sekolah maupun perguruan tinggi sebenarnya dapat mengambil andil untuk memberikan informasi politik, paling tidak tentang literasi media dan literasi informasi.
Baca Juga: Dear Para Politikus, Apatisme Pemilu Menjalar ke Anak Muda dan Kelompok Minoritas
Contohnya, sekolah dapat dapat mengajarkan keterampilan digital dalam mengindentifikasi berita palsu dan sumber informasi yang dapat dipercaya, bisa bekerja sama dengan perpustakaan, penggiat literasi digital maupun dinas terkait untuk memberikan keterampilan literasi bagi pemilih pemula.
Pelatihan keterampilan literasi ini penting untuk menghindarkan pemilih pemula akan dampak buruk atau paling tidak untuk mempersiapkan mereka menghadapi infobesity. Dengan literasi ini, diharapkan para pemilih pemula mampu menyaring, menemukan dan memilih informasi-informasi yang benar dan berkualitas.
Institusi pendidikan juga dapat menyelenggarakan forum diskusi politik secara terbuka. Adanya forum diskusi tentang isu politik kontemporer secara langsung dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pemilih pemula.
Pekerjaan rumah bagi pemerintah
Pemerintah harus mampu menjadi pusat informasi politik yang dapat diandalkan, jelas, mudah dipahami, dan menarik bagi pemilih pemula.
Dalam memberikan informasi tentang kepemiluan, misalnya, pemerintah tidak cukup hanya dengan mengedarkan informasi melalui siaran pers ke media massa atau menerbitkan data statistik. Pemerintah diharapkan dapat mengemas informasi menjadi konten menarik dan edukatif, menyesuaikan dengan karakteristik pemilih pemula.
Pemerintah, melalui kementerian atau dinas terkait, bisa bekerja sama dengan influencer media sosial untuk mempromosikan pentingnya edukasi dan partisipasi dalam pemilu. Ini merupakan salah satu cara komunikasi politik yang cukup efektif di era digital.
Di sisi lain, pemerintah juga harus mampu mengontrol dan mengawasi arus informasi yang ada di media sosial, menerapkan regulasi yang matang dan pengawasan serta penegakan hukum yang tegas dalam membasmi disinformasi di tengah masyarakat. Tentunya juga harus disertai infrastruktur digital yang memadai.
Infobesity tampaknya tidak bisa dihindari dan mau tidak mau akan tetap dialami oleh pemilih pemula. Namun, dengan adanya kontrol tersebut, paling tidak para pemilih pemula tidak kewalahan dan dapat memilah-milah informasi. Serta terhindar dari dampak buruk disinformasi.
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.