Tindak pidana perdagangan orang (TPPO)

Penerapan UU TPPO Terkendala, Kasus Perdagangan Orang Terus Meningkat

Meski sudah memiliki Undang-Undang tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Indonesia masih bergelut dengan angka kasus yang terus meningkat. Sejumlah hal disinyalir menjadi kendala penerapan instrumen hukum tersebut.

Indonesia sudah memiliki landasan hukum dalam upaya memberantas praktik perdagangan orang. Yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Beleid itu sudah berusia 16 tahun. Namun praktik perdagangan manusia yang melibatkan banyak korban dan pelaku dari Indonesia terus meningkat.

Hal itu diakui oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tanti Sumartini dalam sebuah diskusi yang berlangsung di kompleks parlemen di Jakarta, Senin (31/7). Dia mengatakan, kencenderungan meningkatnya kasus perdagangan manusia karena Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam pelaksanaannya masih menemui kendala-kendala.

Berdasarkan data, selama 2019-2022 terdapat 1.545 kasus perdagangan orang. Dengan jumlah korban 1.732 orang. Terdapat kecenderungan peningkatan kasus perdagangan manusia dalam empat tahun terakhir. Yakni 191 kasus dengan 226 korban (2019), 382 kasus dengan 422 korban (2020), 624 kasus dengan 683 korban (2021), dan 348 kasus dengan 401 korban (2022). Menurut data tersebut, yang kerap menjadi korban adalah kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak-anak.

Dari aspek substansi hukum, Pusat Pemantauan Undang-undang Sekretariat Jenderal DPD menemui kesulitan melakukan pembuktian delik formil dalam Undang-Undang Pemberantasan TPPO. Dari putusan pengadilan pada 465 kasus perdagangan orang dari 2020 hingga pertengahan tahun ini. Hanya 55 persen (239 kasus) kasus yang terdakwanya divonis dengan menggunakan Undang-undang Pemberantasan TPPO.

Baca Juga: Film ‘Cross the Line’, Janji Manis Penyalur Kerja dan Isu Perdagangan Orang 

Selain itu, belum efektifnya pemblokiran harta kekayaan milik pelaku perdagangan manusia juga masih menjadi kendala.

“Dalam Pasal 32 Undang-undang TPPO, penyidik, penuntut umum, atau hakim, mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran melalui penyedia jasa keuangan terhadap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang. Tapi dalam Undang-undang TPPO belum ada pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme pemblokiran (aset) bagi pelaku TPPO maupun pelaku hyang bertindak sebagai aktor intelektual,” kata Tanti.

Akibatnya, penyidik jaksa atau hakim menemui kesulitan untuk memblokir kekayaan pelaku kasus perdagangan manusia karena belum ada petunjuk pelaksanaannya. Karena itu, perlu ada penambahan rumusan formil pemblokiran aset kepunyaan pelaku perdagangan orang.

Tanti juga menekankan adanya pidana kurungan sebagai pengganti jika pelaku tidak mampu membayar restitusi kepada korban. Itu menunjukkan, secara empirik pemenuhan restitusi tidak berjalan efektif. Padahal Indonesia sekarang sudah mengadopsi restorative justice dalam pengadilan pidana. Oleh sebab itu, perlu dana bantuan dari masyarakat untuk diolah dan diberikan kepada korban perdagangan orang.

Belum efektifnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam penanganan praktek perdagangan orang juga menjadi kendala. Padahal Pasal 57 ayat 2 mengatur kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk membuat kebijakan, program, dan alokasi anggaran untuk pencegahan dan penanganan perdagangan manusia.

Polri Tekankan Pola Pencegahan

Kepala Subdirektorat V Direktorat Pidana Umum Badan Reserse dan Kirminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) Komisaris Besar Polisi Enggar Parianom menekankan penggunaan pola represif, preventif, dan pre-emptive yang diambil badannya dalam menangani kasus perdagangan orang. Mulai dari operasi penindakan di wilayah perbatasan untuk memutus jaringan pelaku, berpatroli di daerah-daerah rawan dengan insititusi terkait serta sosialisasi dan kampanye tentang pencegahan praktek perdagangan manusia, termasuk mengoptimalkan tokoh agama dan masyarakat.

“Hambatan dan tantangan dalam penanganan TPPO bahwa korban itu tidak kooperatif. Dia tidak merasa sebagai korban. Jadi enggan diminta keterangan, terutama (korban) kepulangan mandiri. terus ingin berangkat lagi dengan pekerjaan sejenis,” ujar Enggar.

Enggar menekankan diperlukannya peningkatan koordinasi antara satuan tugas penanganan TPPO. Dari pusat hingga daerah sampai ke tingkat desa atau kelurahan. Dalam upaya mencegah dan memberantas praktek perdagangan orang.

Selain itu, pemangku kepentingan harus melaksanakan sosialisasi secara masif baik melalui pertemuan langsung atau lewat media konvensional dan media sosial. Pemerintah tambahnya juga perlu memperketat pembuatan dokumen perjalanan.

Pemerintah juga harus memperkuat pengawasan di pintu-pintu keberangkatan, baik bandar udara dan pelabuhan internasional. Merekomendasikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk memblokir situs-situs dan akun media sosial yang biasa dipakai untuk menawarkan pekerjaan sebenarnya penipuan untuk perdagangan orang. [fw/em]

Artikel ini terbit pertama kali di VoA Indonesia. Baca artikel sumber.

Fathiyah Wardah

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!