Perempuan Bukan ‘Biang Keladi’ Dosa dan Pengumbar Nafsu, Stop Konservatisme Agama 

Konservatisme agama berdampak buruk bagi praktik toleransi. Ajaran agama yang bernuansa konservatif juga buruk menilai perempuan. Perempuan dinilai sebagai pengumbar nafsu dan biang dosa.

Lihat saja kondisi seperti ini yang sangat biasa terjadi. Ada suami yang memperlakukan istrinya layaknya budak. Pun melarang keras perceraian padahal istrinya jadi korban KDRT yang suami lakukan. Lalu si suami bilang bahwa atas nama agama, mereka gak boleh cerai. 

Inilah paham konservatisme mengatasnamakan agama yang membuat perempuan jadi korban.

Konservatisme secara sederhana merujuk pada paham yang mempertahankan nilai hidup atau tradisi yang sudah lama menata masyarakat. Hal itu merawat lembaga sosial yang sudah ada. Perubahan yang mengakar pada cara pandang dan cara hidup suatu masyarakat merupakan sesuatu yang dihindari. 

Konservatisme secara etimologis berasal dari kata yang sama dengan konservasi yang artinya pelestarian yang mencegah sesuatu dari kepunahan atau kerusakan. Frasa yang akrab dengan istilah tersebut serupa dengan konservasi energi dan konservasi flora dan fauna Nusantara. Tentu akar katanya berasal dari Bahasa Inggris yakni conservation, yang jika ditelusuri lebih jauh lagi berasal dari bahasa Latin com – servare yang artinya dengan/ bersama – terus mengawasi atau memelihara.

Dalam rangka perjuangan sosial, budaya, maupun politik yang mendorong pelibatan dan kemandirian perempuan sebagai subjek yang utuh, tentu ada banyak hal yang tidak sejalan dengan paham konservatif yang memandang bahwa peran perempuan hanya berada di area domestik dan subordinat terhadap laki-laki. Apalagi konservatisme yang seturut dengan pemahaman keagamaan, tafsir-tafsir kontekstual dan progresif dianggap sebagai perbuatan yang mengada-ngada yang merusak ajaran agama itu sendiri.

Baca Juga: Salahkah Perempuan Jika Mempertanyakan Imannya?

Tentu kelompok dominan akan sangat merasa gusar dengan perubahan-perubahan tersebut. Status quo dan previlesenya terkoyak-koyak. Hingga pada akhirnya, kelompok masyarakat harus tunduk pada “tradisi” yang mungkin melanggengkan kekerasan yang destruktif bagi kemanusiaan. 

Dengan demikian konservatisme beragama perlu dipertanyakan, jangan-jangan paham tersebut merupakan sebuah penaklukan terhadap kelompok yang direntankan, termasuk perempuan.

Konservatisme beragama telah mengontrol dan meminggirkan perempuan, tidak untuk laki-laki. 

Pada dasarnya agama memang “mengatur” toh memang satu di antara unsurnya merupakan sekumpulan norma kelompok. Tapi kian lama pada praktik di masyarakat, kekuatannya malah meningkat ke arah pengekangan tubuh perempuan. Jika umat beriman percaya bahwa agama hadir untuk membahagiakan dan mensejahterakan hidup manusia, harusnya agama memiliki etos yang memerdekakan, termasuk peran agama dalam membebaskan perempuan dari ketertindasan.

Konservatisme beragama dalam ragam bentuk dan identitas keagamaan dalam praktik di masyarakat, tidak menjadikan perempuan sebagai manusia yang utuh. Perempuan banyak menjadi objek sekunder dalam teologi dan spiritualitas, termasuk rendahnya pelibatan perempuan dalam ritual keagamaan. 

Ajaran agama yang bernuansa konservatif malah menilai bahwa perempuan dinilai sebagai pengumbar nafsu. Perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Perempuan itu najis dan biang dosa.

Banyak orang yang menyangkal hadirnya paham dan praktik misoginis atas nama agama ini, “Itu tafsirnya, bukan agamanya!.”

Terlepas pandangan tersebut inheren dengan agama atau sekedar instrumental, konservatisme beragama adalah salah satu penafsiran keagamaan yang hidup dianut oleh masyarakat luas. Umat beragama yang peduli pada kemanusiaan, khususnya pada perempuan harusnya mau mengakui bahwa konservatisme beragama merupakan paham yang hidup. Paham yang bisa menggerakkan suatu organisasi keagamaan untuk menghadirkan tafsir keagamaan yang patriarkal, yang memandang perempuan sebagai properti bagi laki-laki yang beriman.

Konservatisme Tingkatkan Aturan Diskriminasi Perempuan

Seiring tumbuh subuhnya konservatisme beragama sebagai cara hidup di suatu daerah, maka terus meningkat jugalah aturan-aturan yang mendiskriminasi perempuan

Pada level yang lebih mengkhawatirkan, kebijakan publik yang berupa peraturan daerah yang harusnya berpihak pada semua orang malah mempersulit hidup perempuan sebagai warga negara. Anehnya lagi hal tersebut dijustifikasi karena alasan keagamaan menurut kelompok tertentu saja. Misalnya aturan berbusana menurut pandangan tafsir keagamaan mayoritas, perempuan tidak boleh keluar rumah pada malam hari, dan sederet kejanggalan-kejanggalan aturan publik yang lainnya.

Dengan begitu, konservatisme beragama menjadi cara pandang bangsa Indonesia di tengah kebhinekaan maka korbannya bukan hanya penganut agama/ kepercayaan yang rentan saja, namun perempuan juga dengan ragam identitasnya. 

Kondisi ini juga melebar ke kebijakan negara. Kelompok agama “minoritas” harus tunduk pada kuasa hegemonik yang berasal dari pengambil kebijakan. 

Baca Juga: Perempuan Jadi Imam Itu Penyimpangan? Membongkar Narasi Beragama yang Lebih Adil Gender

Gereja-gereja sulit dibangun, begitu juga konde dan sajen dianggap sebagai barang primitif. Konservatisme beragama akan sangat membatasi ruang gerak perempuan. Sebab tafsirnya memang meminggirkan perempuan itu sendiri. 

Dalam ilustrasi yang sederhana, konservatisme beragama sebagai matriks hegemoni berdiri di atas dua kaki yakni minoritas agama-agama dan kelompok perempuan. Patriarki sebagai sistem konservatisme gender bercokol di dalamnya.

Namun sebagai catatan kecil, konservatisme beragama bukan suatu paham yang mesti dihajar, apalagi diikuti oleh aksi penyerangan kepada para penganutnya. Konservatisme beragama sebagaimana tradisionalisme, radikalisme, ekstremisme, liberalisme, ataupun moderatisme beragama, semuanya merupakan opsi yang sah untuk dianut. Kiranya naif juga jika konservatisme beragama dengan begitu saja hilang dari kemajemukan cara beragama manusia. 

Membincangkan ini bisa dilakukan dengan melakukan dialog untuk membangun kehidupan yang lebih toleran dan setara.

Arfi Pandu Dinata

Sehari-hari saya berkegiatan di gerakan dialog lintas iman, menjadi koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB), Bandung.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!