CEDAW dan diskriminasi perempuan

Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

Tahun ini, sudah 39 tahun pelaksanaan CEDAW atau Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, namun perempuan masih berjuang keluar dari diskriminasi dan sulit memperoleh keadilan.

Diskriminasi yang dialami perempuan Indonesia, ditandai dengan masih sulitnya para perempuan untuk lepas dari kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan.

Untuk kondisi sekarang, Komnas Perempuan mendata, masih terdapat 441 kebijakan atau Peraturan Daerah/ Perda diskriminatif. Dan yang masih berlaku saat ini 305 kebijakan.

Secara garis besar, Perda diskriminatif ini terbagi menjadi 3 kategori. Yaitu Perda diskriminatif pada perempuan, pada kelompok minoritas, dan pada minoritas agama.

Aturan busana terkait identitas agama di lingkungan pendidikan ini telah beberapa kali mencuat di masyarakat. Seperti pernah terjadi di Bali (2014), Jawa Barat (2016), Banyuwangi (2017), Jakarta (2017), Riau (2018), Manokwari (2019) dan Jogjakarta (2017, 2018, 2019). Kondisi itu rekat dengan berlarutnya persoalan kebijakan diskriminatif atas nama agama, moralitas, dan otonomi daerah.

Pemantauan dan kajian Komnas Perempuan di tahun 2021 juga menunjukkan bahwa kelahiran kebijakan daerah yang diskriminatif ini terkait dengan penguatan politik identitas primordial. Terutama agama dan etnis, sejak reformasi bergulir di tahun 1998. Juga, bertaut dengan percepatan otonomi daerah tanpa mekanisme pengawasan yang mumpuni. Serta demokratisasi yang lebih bersifat prosedural daripada substantif.

Selain itu ada banyak kasus perempuan yang sulit berjuang untuk keadilan. Khotimun dari Asosiasi LBH APIK Indonesia menyatakan dalam konferensi pers 39 tahun Konvensi CEDAW pada Juli 2023, bahwa putusan hukum yang terjadi pada SK, seorang Pekerja Rumah Tangga yang mengalami penganiayaan, penyiksaan, eksploitasi, dan kekerasan seksual yang disampaikan oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan dengan pidana 4 tahun dan restitusi sebesar 275.042.000 Rupiah terlalu ringan.

“Dari sekian penderitaan yang telah dialami oleh korban dan dampaknya jangka panjang ke depan. Putusan tersebut sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan sama sekali,” kata Khotimun.

Baca Juga: Dipanggil ‘Pak’ Arti Nama dan Identitas Dalam Hidup Transgender 

Putusan tersebut telah menunjukkan perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang masih belum tuntas memperhatikan pengalaman, diskriminasi, dan ketimpangan relasi sosial yang dialami oleh perempuan yang telah dimandatkan PERMA No. 3 tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan berhadapan dengan Hukum.

Termasuk dalam kasus ini adalah perempuan pekerja rumah tangga yang menghadapi relasi kuasa timpang. Sehingga pemberi kerja bersikap sewenang-wenang serta tidak menghormati harkat dan martabat pekerja rumah tangga.

“Padahal perspektif dan sikap aparat penegak hukum tersebut juga mencerminkan bahwa setelah 39 tahun CEDAW diratifikasi melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984, masih terdapat berbagai diskriminasi terhadap perempuan yang belum dihapuskan, yang dalam hal ini adalah diskriminasi dalam proses peradilan.”

Para pekerja rumah tangga mayoritas perempuan yang berasal dari pedesaan atau kelompok miskin kota telah mengalami diskriminasi ganda sepanjang hidupnya. Tidak hanya pada aspek akses sumberdaya ekonomi yang timpang, namun juga diskriminasi gender.

Berbagai kasus lain yang kami cermati menunjukkan bahwa masih banyak perspektif dan sikap aparat penegak hukum yang belum mencerminkan dilaksanakannya mandat CEDAW untuk menjadikan pengalaman ketidakadilan struktural baik berbasis gender maupun berbagai bentuk relasi sosial lainnya yang dialami oleh perempuan berhadapan dengan hukum yang berpengaruh pada situasi dan posisinya dalam suatu perkara.

Kasus lain terjadi pada anak, AG yang berhadapan di depan hukum. Dalam kasus anak AG, misalnya, hakim masih mengabaikan posisi AG sebagai perempuan anak dalam mempertimbangkan Putusan. Sehingga menempatkannya pada Lapas anak dan sama sekali tidak mencerminkan pemahaman terhadap kepentingan terbaik bagi anak. Juga tidak memperhatikan situasi perempuan anak yang rentan mengalami kekerasan dalam Lapas anak.

Baca Juga: Dicap ‘Perempuan Tidak Benar’: Stop Stigmatisasi Perempuan Positif HIV 

Begitu pula mengabaikan kekerasan seksual yang dialami AG, dari aspek adanya faktor relasi kuasa antara orang dewasa dengan perempuan anak yang jelas-jelas sesuai dengan hukum di Indonesia. Itu merupakan tindak pidana kekerasan seksual dan melanggar Undang-undang Perlindungan Anak. Ada kerentanan anak menjadi korban eksploitasi orang dewasa. Sehingga tindakan hubungan seksual orang dewasa terhadap anak adalah pidana yang tidak perlu dibuktikan adanya persetujuan atau tidak (statutory rape).

“Kasus-kasus di atas adalah kasus yang telah menjadi perhatian publik. Belum termasuk berbagai kasus yang tidak terpublikasi di media massa, yang tidak dikawal oleh masyarakat. Yang minim dukungan untuk memperoleh proses hukum yang adil dan non diskriminatif. Padahal jaminan kesetaraan sebagai warga negara, termasuk di muka hukum, bebas dari kekerasan dan ketidakadilan, telah dijamin dalam UUD 1945 serta berbagai peraturan perundang-undangan lain setelah ratifikasi CEDAW antara lain UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No. 12 tahun 2005 tentang ratifikasi hak sipil dan politik,” kata Khotimun.

Akses Keadilan Melalui Hukum Non Diskriminatif

Berbagai peraturan perundang-undangan yang dapat memperkuat akses keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum memang telah diterbitkan yang tak lepas dari dorongan masyarakat sipil baik dalam bentuk Undang-undang. Seperti UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU Penyandang Disabilitas, dan terakhir UU TPKS. Selain itu, peraturan perundangan di antaranya Perkapolri No. 10 tahun 2007 mengenai Unit PPA dan PERMA No. 3 tahun 2017 mengenai penanganan perkara perempuan berhadapan dengan hukum.

Meskipun begitu, masih terdapat peraturan perundang-undangan yang kontraproduktif. Seolah netral, namun melemahkan, bahkan dapat digunakan untuk mengkriminalkan perempuan korban kekerasan yang sedang memperjuangkan keadilan

Dari kajian dari berbagai kasus dan juga pengalaman para pendamping perempuan berhadapan dengan hukum yang telah kami cermati. Proses penegakan hukum masih seringkali mengabaikan pengalaman ketidakadilan gender perempuan beserta aspek interseksionalitasnya. Sehingga masih perlu upaya lebih massif oleh negara untuk melakukan penguatan sebagai wujud dimandatkan oleh CEDAW.

Oleh karena itu, organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT, Asosiasi LBH APIK Indonesia, CEDAW Working Group Indonesia, LBH Masyarakat, serta berbagai organisasi yang tergabung dalam penyataan ini, menyampaikan tuntutan untuk mendesak DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) sebagai bagian dari komitmen menghapus diskriminasi terhadap posisi pekerja rumah tangga dan jaminan kesetaraan di muka hukum.

Baca Juga: Saya Seorang ODHA: ‘Apakah ini Diskriminasi, Saat Mau Operasi, Kasur dan Bantal Saya Di Plastik?’  

“Pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh mengenai pelaksanaan CEDAW dalam bidang penegakan hukum. Serta menyusun peraturan dan strategi percepatan implementasi CEDAW dengan melibatkan unsur masyarakat sipil, terutama pendamping perempuan berhadapan dengan hukum. Dalam rangka memastikan pengalaman ketidakadilan gender yang dialami perempuan dengan berbagai ragam identitasnya diakomodasi.”

Lalu pemerintah harus melakukan upaya revisi dan atau penghapusan terhadap peraturan perundang-undangan yang berpotensi melemahkan perempuan korban. Di antaranya Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU ITE. Termasuk potensi dari dampak peraturan perundangundangan yang diskriminatif, atau seolah netral namun berdampak dan atau berpotensi diskriminatif baik nasional maupun daerah, seperti Pasal 2 dan 411 KUHP.

Dan pemerintah mewajibkan semua penegak dan aparat hukum, memiliki kualifikasi pengetahuan dan keterampilan/ implementasi CEDAW, dan peraturan turunannya dan menerapkannya dalam proses penegakan hukum pada perempuan berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban, maupun pelaku. Negara menyiapkan instrumen pendidikan/pelatihan kepada semua aparat penegak hukum yang harus memastikan memasukkan mandat-mandat CEDAW.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular