Anak muda diminta kurangi gaya hidup agar dapat memiliki rumah

Balada Anak Muda Susah Punya Rumah, Bukan Cuma Soal Gaya Hidup dan Paylater

Menteri BUMN Erick Thohir menyebut, 81 juta anak muda masih belum memiliki rumah. Mereka diminta untuk mengurangi gaya hidup konsumtif agar dapat punya hunian. Tapi apakah gaya hidup jadi satu-satunya faktor penyebab kesulitan memiliki rumah bagi anak muda?

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyinggung persoalan gaya hidup anak muda saat menghadiri Akad Massal Serentak KPR Bank BTN di Tangerang, Selasa (8/8/2023). Menurutnya, 81 juta anak muda masih belum memiliki rumah karena hal tersebut.

Melansir dari Kompas.com, Erick Thohir bilang, generasi muda sebaiknya mulai menyadari pentingnya memiliki rumah untuk masa depan. Caranya, dengan mengurangi pengeluaran konsumtif untuk gaya hidup.

Kebiasaan ‘konsumtif’ dalam gaya hidup generasi muda disebut jadi penyebab mereka tidak memiliki rumah. Selain itu, cicilan paylater juga konon menyulitkan anak muda untuk mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Tapi benarkah demikian? Apakah prospek memiliki rumah harus selalu dibebankan kepada anak muda dengan ragam kebutuhannya untuk hidup? Atau jangan-jangan, kesulitan memiliki rumah justru lebih karena harga hunian makin tak masuk akal bagi segala kalangan.

‘Kurangi Gaya Hidup, Miliki Rumah’: Kata Anak Muda

Gaya hidup konsumtif mungkin salah satu faktor generasi muda tak kunjung memiliki rumah, setidaknya menurut Erick Thohir. Namun tidak semuanya setuju.

Di media sosial, suara anak muda ramai menyanggah pernyataan Menteri BUMN itu. Mereka merasa pemerintah kerap menyalahkan masyarakat atas berbagai persoalan.

Padahal, dalam hal memiliki rumah, ada faktor-faktor selain gaya hidup yang tak bisa dihindari terkait kepemilikan. Misalnya, keterbatasan lahan dan harga properti selangit, gaji pas-pasan atau bahkan di bawah UMR, posisi sebagai ‘sandwich generation’, dan sebagainya. Ditambah persoalan sistemik seperti mafia tanah, investor properti, dan gaya hidup pejabat sendiri.

“Dapat hasil ‘narik’ cukup buat makan dan kebutuhan sehari-hari juga alhamdulillah,” ungkap Abdul Hakim (30), driver ojek online. “Ya, punya rumah mah pengin juga. Kita nabung dikit-dikit, nabung. Nggak tahu lah kebelinya kapan.”

Tidak hanya itu, anak muda juga disebut tidak menjadikan rumah atau tempat tinggal sebagai prioritas utama. Sejumlah orang tidak menyanggah pernyataan tersebut, karena mereka memang merasa ada kebutuhan lain yang lebih penting untuk dipenuhi.

Baca Juga: Flexing, Orang Doyan Pamer Kekayaan di Media Sosial Cuma buat Validasi

Sebagian orang lebih ingin mengejar pendidikan. Ada yang harus mengutamakan keluarga. Juga ada yang pesimis dengan masa depan, apa lagi dengan kehadiran pandemi dan ‘jebakan’ status PKWT bagi para pekerja. Bagi mereka, jangankan beli rumah, mengikuti gaya hidup konsumtif pun mereka belum tentu mampu.

“Kayaknya wajar kalau orang-orang nggak menempatkan ‘beli rumah’ sebagai prioritas mereka. Jadi lebih cenderung ‘enjoying the moment while it lasts’,” ujar Iffa (27), project manager di sebuah perusahaan bidang IT, kepada Konde.co.

“Belum yang jadi tulang punggung keluarga, mesti bayarin hutang orang tua, gitu-gitu. Di situ mungkin ide punya rumah nggak ada dalam priority list-nya.”

Sementara itu, muncul pula pemikiran bahwa anak muda kini bisa bekerja di mana saja. Mobilitas yang tinggi membuat mereka merasa tak perlu tempat tinggal permanen untuk menetap. Iffa, misalnya, bekerja secara remote selama dua tahun terakhir. Sehingga ia belum merasa perlu memiliki hunian jangka panjang.

“Belum mikir KPR atau beli rumah karena simply belum tahu mau tinggal di mana,” kata Iffa. Tambahnya, ia juga masih harus membiayai kedua orang tua dan kuliah adiknya. Penghasilannya sebagian untuk menafkahi keluarga, sisanya ditabung untuk cita-citanya kuliah S2 di luar negeri.

Baca Juga: Pejabat Diimbau Tak Pamer Harta di Medsos: Ini Takkan Cukup Ubah Gaya Hidup

Hal serupa diutarakan Wafa (24). Lantaran anak muda akhir-akhir ini bisa bekerja di mana saja, ia merasa lebih baik menyewa kamar kos saja ketimbang beli rumah.

“Pakai (sewa) kos jauh lebih untung daripada nabung atau nyicil untuk rumah. Yang belum tentu kerjaan pada akhirnya, nggak tahu bakal di mana,” kata perempuan yang sedang menempuh praktik koasisten dokter di sebuah rumah sakit universitas di Jakarta Pusat itu.

Meski dirinya belum bekerja, Wafa mengaku ingin juga punya rumah. Namun, harga hunian saat ini kelewat tinggi baginya. Apa lagi bagi orang lain yang belum tentu berpenghasilan cukup dan rutin.

Ketika prospek memiliki rumah semakin jauh dari gapaian, Wafa memilih untuk memenuhi kebutuhan lain. Seperti menabung untuk membeli laptop, yang dapat digunakannya dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. Baginya, mendapatkan rumah dalam jangka waktu yang sama terasa lebih mustahil.

“Kayak, capek banget mikirin nabung rumah yang bakal gue dapat mungkin cuma 20 tahun lagi. Dan nanti pasti harganya udah naik 10 kali,” keluhnya.

Krisis Segala Kalangan

Elisa Sutanudjaja, dari Rujak Centre for Urban Studies turut mengomentari pernyataan Erick Thohir. Menurut Elisa, pemerintah seakan terbiasa menyalahkan masyarakat atas berbagai persoalan, yang sebetulnya juga menjadi andil mereka. Kali ini, kelompok masyarakat muda yang jadi target ‘bulan-bulanan’ pemerintah dengan tudingan ‘gaya hidup yang buruk’ sebagai penyebab mereka susah punya rumah.

“Itu kan, memang biasanya begitu. Kayak pencemaran udara, yang disalahin kan, kenapa orang naik mobil? Tapi nggak disediain transportasi publiknya,” kata Elisa kepada Konde.co, Senin (21/8/2023).

Elisa menilai, krisis hunian bukan cuma tentang gaya hidup. Faktanya, fenomena ini sedang terjadi pada semua kalangan, bahkan masyarakat menengah ke atas. Terlepas dari faktor gaya hidup konsumtif yang ditudingkan pada anak muda, tingginya harga huniaan saat ini memang semakin tidak masuk akal.

“Sekarang ketidakterjangkauan harga hunian itu merambah ke semua desil, kecuali desil 10. Maksudnya, orang yang menengah atas pun sulit juga, misalnya targetnya adalah membeli hunian,” jelasnya.

Harga hunian melejit dan kesulitan memiliki rumah, tutur Elisa, sudah terjadi di banyak daerah di Indonesia. Bukan hanya di Jabodetabek; fenomena tersebut ditemukan pula di Semarang, Surabaya, Makassar, dan sebagainya. Bahkan, tambahnya, data tersebut berasal dari Bank Indonesia dan BPS dari pemerintah.

“Jadi sebenarnya, pemerintah punya data,” Elisa berkata. “Dan kalau diolah sedikit, itu sudah ketahuan kalau sudah nggak terjangkau di semua desil, kalau targetnya untuk membeli.”

“Mau makannya cuma sehari sekali juga tetap sama aja. Kamu cuma makan nasi sama terasi pun, ya tetap nggak kebeli juga.”

Paylater, KPR, dan Ragam Skema Kepenghunian

Selain gaya hidup, belakangan disebutkan pula bahwa rekam jejak paylater dapat berdampak buruk pada skor kredit seseorang di BI Checking. Alhasil, pengajuan KPR bisa jadi terhambat.

Lagi-lagi, anak muda jadi ‘target’ yang disalahkan saat tak bisa memiliki hunian akibat tunggakan paylater, meski nominalnya tidak banyak. Melansir CNN Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut ada anak muda yang sulit mendapatkan KPR akibat paylater. Sebab, paylater sudah masuk ke dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) serta berdampak pada skor kredit dan performa keuangan masyarakat.

Elisa menyanggah hal tersebut. Ia bilang, mestinya pemerintah mulai dengan berhenti menanamkan pemikiran bahwa ‘rumah harus dimiliki’. Ia menegaskan, sesungguhnya ada banyak skema kepenghunian yang bisa dicoba tanpa mengharuskan seseorang untuk membeli dan memiliki hunian. Misalnya dengan menyewa lahan atau properti, atau tinggal di kos dan flat.

Masalahnya, menurut Elisa, jika pola pikir kepemilikan hunian terus tertanam, seseorang akan bergantung pada perbankan dan terjebak dalam siklus.

“Karena kalau kita punya mindset rumah itu harus dimiliki supaya bisa diinvestasikan. Lalu nanti harganya naik dan dijual lagi, segala macam,” kata Elisa. “Itu akhirnya nggak ada bedanya dengan yang menyebabkan krisis sekarang ini.”

Baca Juga: Di Balik Ketenaran ‘One Piece’ Live-Action, Ada Pro Kontra Race Swap

Elisa juga mengatakan, sistem kredit rumah justru membuat harga properti membengkak akibat bunga di akhir masa cicilan. Misalnya, ketika properti seharusnya dihargai 500 juta Rupiah, sistem kredit membuatnya mesti membayar hingga 1,5 miliar di akhir.

“Jadi pertama, sebelum masuk ke BI Checking. Sebenarnya harus dibongkar dulu bahwa rumah itu, satu, nggak harus dimiliki sampai kita harus kredit hutang segitu banyak,” ungkap Elisa. “Tapi yang penting itu rumah ada keamanan bermukimnya. Keamanan bermukim itu macam-macam. Misalnya, negara melindungi orang-orang yang menyewa jangka panjang.”

Tuturnya, sejumlah negara seperti Jepang, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat telah memiliki undang-undang tentang penyewa hunian. Jadi, masyarakat dapat menyewa hunian tanpa harus memilikinya sendiri. Selain itu, penyewa dilindungi dan dijamin agar tidak dapat diusir seenaknya atau terjerat lonjakan harga.

Tapi, lanjut Elisa, “Ini (di Indonesia) kan, nggak. Akhirnya orang mikirnya, keamanan bermukim itu sama dengan sertifikat tanah, sertifikat rumah. Padahal itu dia tidak sama.”

“Keamanan bermukim itu tidak sama dengan kepemilikan suatu aset. Nanti orang akan terbuka dengan berbagai macam opsi untuk tinggal, untuk menghuni rumah. Jadi bisa aja dia merasa, ‘Oh, karena saya orangnya sukanya pindah-pindah rumah…’ Tapi saat menyewa itu, sebaiknya dia tetap dilindungi negara.”

Pentingnya Menjamin Keamanan Bermukim

Elisa menyebut, mestinya pemerintah fokus menjamin keamanan bermukim bagi masyarakat. Ini tanpa memandang jenis kepenghunian yang dipilih seseorang.

Apa lagi, tidak sedikit generasi muda yang merasa lebih baik menyewa hunian atau tinggal di kos-kosan berkat perhitungan yang relatif lebih murah.

“Jadi ini kan, pemerintah kita memang neoliberalis dan developmentalis. Bagi mereka, housing ownership itu sebagai jalan menuju kemakmuran,” katanya.

Cetusnya, sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP), perlindungan terhadap penyewa semakin minim. Belum lagi, Omnibus Law juga tidak mengatur tentang hal tersebut.

“Misalnya mau, pemerintah harus membuka saluran untuk yang lain, untuk segala jenis kepenghunian. Jadi oke lah, ‘aku mau tetap mendorong home ownership’, nggak apa-apa. Tapi yang penting itu kamu juga harus melindungi penyewa.”

“Mungkin kalau mau, fokus di situ. Lalu yang kedua, fokus pada perumahan kelompok. Ketiga, pemerintah itu harus unlock perumahan. Perumahannya itu tapi yang langsung menyasar ke target tertentu,” tutup Elisa.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!