Cerita Pekerja di Sektor Pelayanan Publik: Dibentak Ketika Terima Komplain, Ini kan Kekerasan?

Banyak customer service dan para staf yang bekerja di sektor pelayanan publik di Indonesia yang menerima kekerasan ketika bekerja. Misalnya mereka kerap dibentak-bentak dan dimarahi oleh konsumen. Salah satu penyebabnya, banyak konsumen yang masih menganggap bahwa para pembeli dan konsumen adalah raja.

Rima, bukan nama sebenarnya, adalah seorang customer service yang sering menerima komplain atau keluhan dari konsumen. 

Beberapa kali Ia dibentak secara kasar karena konsumennya bertanya tentang informasi yang belum bisa Ia jawab dengan segera. Ia harus tanyakan dulu pada bagian lain di perusahaan tempat Ia kerja.

“Kena semprot kalau sudah begini, padahal kadang aku harus klarifikasi dulu pada bagian terkait untuk menjawab ini,” kata Rima.

Aisah, juga mengalami hal yang sama. Aisah adalah salah satu pekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta. Beberapa kali Ia ketemu pasien yang pengin buru-buru dilayani. Padahal, ada pasien lain yang memburu-buru juga dan harus cepat dilayani Aisah.

“Capek ya terima komplain ini, semua ingin dilayani secara cepat. Akhirnya ya lakukan saja, walau capek, sering sudah kerja diperlakukan begini, ya. Akhirnya saya terima saja,” kata Aisah ketika ditemui Konde.co.

Baca Juga: Kekerasan Pekerja Marak, Tapi Minim Aturan Penyelesaiannya

Para customer service bekerja dalam rasa tertekan. Terkadang sudah merasa kecapekan kerja, tetapi harus terima komplain. Apalagi mereka sering dengar bahwa mereka harus menjadi pelayan yang baik. Dikarenakan anggapan yang selama ini sudah melekat bahwa konsumen atau pembeli adalah raja. 

Pasti kamu sudah sering dengar slogan yang berbunyi konsumen adalah raja. Slogan ini selalu diartikan bahwa konsumen adalah orang penting yang harus dilayani.

Tapi gimana kalau konsumen ini membentak dan marah-marah ketika lagi komplain, sampai pekerja customer service nya tidak diberikan kesempatan untuk menjawab?

Pasti kamu pernah mengalami situasi ini. Minggu lalu pada 21 September 2023 Konde.co ketemu para perempuan yang bekerja di balik layar ini di sebuah training yang dilakukan Public services internasional. Mereka adalah para customer service, suster rumah sakit, pekerja bandara, dan banyak lagi yang selama ini bekerja di sektor pelayanan publik.

Baca Juga: Riset Konde.co Paparkan Soal Derita Pekerja: Praktik Kekerasan Dan Pelecehan Di Dunia Kerja

Para pekerja ini banyak menerima kekerasan, terutama dari para konsumen. Komplain ini bisa dilakukan baik lewat telpon, atau secara langsung. Aisah merasa sedih sekali ketika dikomplain. 

Secara umum, dari riset menunjukkan bahwa selama ini kebanyakan manajemen atau perusahaan umumnya hanya mengatakan bahwa konsumen adalah raja yang harus dilayani dengan baik. Jika tidak, maka mereka akan kehilangan pendapatan.

Buruknya layanan publik ini memang pernah jadi konsen Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/ YLKI yang setiap hari menerima keluhan publik pada soal layanan mulai air, listrik, internet, angkutan udara dan transportasi lainnya. Di tahun 2015, YLKI mencatat banyak konsumen yang mengeluh soal angkutan udara yang sering terlambat mengudara dan konsumen tidak diberikan kompensasi apapun.

Mesita, adalah seorang pekerja bandara yang juga ditemui Konde.co. Ia  menyatakan bahwa Ia pun pernah menerima komplain dari konsumen yang bertanya kenapa tidak ada penerbangan lagi?. Padahal Mesita sudah menjelaskan informasi secara memadai, tapi umumnya publik tidak mau tahu.

“Kenapa harganya mahal? Kenapa gak dimurahin? Rasanya ini sedih, jengkel, apalagi ada yang bilang layanannya kog begini, uangnya dipakai untuk apa ya ini?,” kata Mesita yang bekerja di bandara di Semarang.

Baca Juga: Pekerja Resto Mencari Keadilan: Bekerja 12 Jam Sehari, Gaji di Bawah UMR

Sebuah penelitian tentang pelayanan publik juga pernah dilakukan http://repository.ubharajaya.ac.id/1786/2/201410515132_Unjuk%20Utari%20Br%20Ginting_BAB%20I.pdf. Disini dibahas soal kekecewaan konsumen pada perusahaan, misalnya soal pesawat yang telat mengudara, namun konsumen kemudian bertemu dengan customer service yang kurang profesional, misalnya customer service yang menghindari komplain, dan sering mengabaikan konsumen.

Penelitian tersebut menyebutkan bahwa jasa memang seringkali menjadi sektor yang rumit, karena kata jasa ini bisa datang dari berbagai bentuk, bisa dari perusahaan dan dari pekerjanya yang bekerja sebagai customer service yang berhadapan dengan komunikasi dan proses. 

Jadi sebenarnya dimensi pelayanan ini tidak dilakukan sendiri, tapi oleh banyak orang atau serangkaian Sumber Daya Manusia/ SDM yang melakukan proses tersebut. Jadi mestinya customer service jangan dibiarkan sendirian untuk menangani komplain, karena ini merupakan serangkaian pekerjaan yang dilakukan bersama-sama.

Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati sepakat bahwa komplain merupakan tanggung jawab perusahaan, bukan tanggungjawab dari customer service semata. Karena yang terjadi, customer service yang selama ini berhadapan dengan publik, seolah-olah menjadi orang yang bertanggungjawab pada produk perusahaan. 

Customer service adalah orang yang fungsinya menjelaskan dan memberikan informasi, namun bukan orang yang harus bertanggung jawab pada keseluruhan perusahaan. Perusahaanlah yang bertanggungjawab atas ini, karena ini merupakan pekerjaan tim,” kata Vivi Widyawati.

Baca Juga: Pemerintah Harus Serius Hapus Kekerasan Seksual Di Tempat Kerja

Jika memang ada banyak komplain, Vivi Widyawati mengatakan, maka perusahaan seharusnya membenahi sistemnya. Karena ini merupakan cara untuk menghilangkan jumlah komplain. Jika perusahaan tidak membenahi sistem, maka pekerjalah yang akan kena terus komplain dari konsumen.

Jika kondisinya begini, yang penting berarti perusahan harus membenahi sistemnya. Lalu konsumen juga harus diberikan pendidikan literasi tentang bagaimana cara komplain yang tidak membentak-bentak atau melakukan kekerasan. Karena ada Konvensi ILO 190 yang mengajak kita semua untuk stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, termasuk pada para pekerja di sektor layanan publik ini.

Hal ini harus diperhatikan betul, karena membentak pekerja masuk ke dalam kategori kekerasan psikis yang menjadikan mental down para pekerja.

Baca Juga: 3 Tahun Konvensi ILO 190 Stop Kekerasan di Dunia Kerja: Pemerintah Tak Serius Meratifikasi

Indah Budiarti, communications & project coordinator Public Services International menyatakan bahwa lahirnya Konvensi ILO 190 Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dilatar belakangi oleh tingginya angka kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan berbasis gender yang dialami oleh buruh di semua sektor pekerjaan baik formal maupun informal. Dampaknya dari situasi-situasi tersebut adalah buruh bekerja dalam bahaya, kekerasan dan pelecehan yang mengancam dan hilangnya akses terhadap pekerjaan. 

“Maka dunia kerja inklusif adalah syarat bagi terciptanya pemenuhan hak-hak buruh dalam mengakses pekerjaan,” kata Indah Budiarti

Hadirnya Konvensi ILO 190 ini memberikan harapan bagi semua pekerja, terutama pekerja perempuan dan pekerja dari kelompok rentan karena konvensi ini memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada semua pekerja agar terbebaskan dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular