Icha, pedagang SWK Bratang Binangun, perempuan PKL yang harus mengalami relokasi (Foto: doc. Ika/Konde.co)

Cerita Perempuan PKL yang Direlokasi di Surabaya, Makin Sejahtera Atau Sepi Pembeli?

Sejak 2014, Pemerintah kota Surabaya memberlakukan aturan relokasi pedagang kaki lima (PKL). Saya mengunjungi 3 lokasi sentra wisata kuliner di Surabaya dan berbincang dengan para perempuan yang dulunya pedagang kaki lima yang direlokasi. Yuk, dengar cerita mereka!

Pedagang kaki lima (PKL) selama ini kerap dianggap sebagai masalah perkotaan. Kehadiran mereka dianggap mengganggu ketertiban dan kerapian tata kota. Padahal, PKL hadir karena keterbatasan lapangan kerja dan masalah struktural lainnya yang membuat mereka tidak banyak memiliki pilihan hidup. 

Permasalahan yang lahir dari kesenjangan pembangunan ini nampaknya masih belum teratasi hingga saat ini. Pemerintah pun tidak dipungkiri telah melakukan berbagai upaya untuk memberi solusi bagi keberadaan mereka. Seperti relokasi ke tempat yang lebih baik menurut pemerintah. Salah satu yang melakukan upaya relokasi dari PKL dan perempuan PKL yang berjualan di pinggir jalan ke satu tempat sentra kuliner adalah Pemerintah Kota Surabaya.

Kini terdapat 49 Sentra Wisata Kuliner (SWK) yang ada di Surabaya dan menampung lebih dari 1.000 pedagang. SWK ini ditujukan sebagai tempat yang lebih nyaman untuk berdagang ataupun bagi pengunjung yang membeli. Namun, benarkah langkah relokasi ini dirasakan positif oleh pedagang?

Konde.co mengunjungi 3 SWK dan berbincang dengan pedagang di sana untuk menanyakan hal ini.

Baca Juga: Namaku Sam, Keluarga Sulit Menerimaku karena Aku Queer

SWK Karah, adalah salah satu SWK yang ada di Kecamatan Jambangan Surabaya. Lokasinya terletak setelah jembatan sungai Rolak. Saat saya berkunjung pada hari Rabu (2/8) pukul 15.00 WIB, SWK ini sangat sepi. 

Terlihat pedagang memainkan handphone atau mengobrol dengan pedagang lainnya sambil menunggu pembeli. Saya berbincang dengan salah satu pedagang di tempat ini, seorang ibu yang ingin disebut dengan inisialnya “S”.

Sebelum pindah ke SWK Karah, Ibu S dan suaminya telah berjualan selama puluhan tahun. Sebelumnya, suami istri ini berjualan dengan gerobak dorong. Saat itu, mereka mampu menyekolahkan kedua anaknya dan bisa menabung dari hasil jualannya. 

“Sebelumnya sudah jualan di tempat ini sebelum dibangun jadi seperti ini. Dulu ini adalah tanah desa lalu dibeli Pemkot untuk dijadikan SWK. Sebelumnya saya sudah jualan 27 tahun karena orang tua saya juga pedagang kecil-kecilan. Dulu di sini ramai karena belum ada tempat-tempat makan lain,” ujarnya. 

Baca Juga: Stop Cara Pandang Maskulin Pada Perempuan Pedagang Keliling

Relokasi PKL di Surabaya dimulai pada masa kepemimpinan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Dalam proses relokasi PKL, selain Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan, relokasi juga melibatkan Satpol PP. 

Sentra Wisata Kuliner (SWK) Kota Surabaya mulai berdiri pada tahun 2014. Awalnya dibangun dengan tujuan sebagai tempat relokasi bagi pedagang kaki lima di Kota Surabaya. Hal ini diatur dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pemungutan Retribusi atas Pemakaian Sentra Makanan dan Minuman

Ibu S dan beberapa pedagang dan perempuan PKL yang berjualan di sekitar Karah diminta untuk pindah berjualan ke SWK Karah yang telah dibangun. “Alasan dibangun dulu supaya lebih bersih dan rapi. Awal kami pindah ke sini dibebaskan dari retribusi kurang lebih selama setahun.”

Pedagang Mengeluhkan Sepinya Pengunjung

Terdapat sekitar 60 stand di SWK Karah ini. Sebagian berasal dari pedagang yang sebelumnya berjualan di sepanjang jalan Karah Agung hingga menuju jalan Jambangan. Meskipun begitu, tidak semua stand terisi. Ibu S menjelaskan karena banyak pedagang yang keluar masuk di SWK ini karena merasa sepi dan kurang pengunjung.

“Banyak yang mengeluh. Makin kesini makin sepi, orang baru banyak yang tidak kerasan karena untuk jualan harus mikir bensin, bahan jualan (makanan) terbuang karena tidak laku, tenaga dan lain-lain yang tidak sesuai dengan pemasukan. Saya karena dekat saja tinggalnya dari sini, kalau jauh mungkin nggak kerasan” ucapnya.

SWK Karah, tempat relokasi para PKL dan perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)
SWK Karah, tempat relokasi para PKL dan perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)

Masalah pembeli yang tidak seramai saat mereka berjualan dengan gerobak, cukup dirasakan oleh para pedagang di tempat ini. Ibu S menjelaskan, beberapa pedagang yang sebelumnya berjualan di pinggir jalan merasa lebih mudah dijangkau dan dilihat oleh orang yang lewat. 

Selain itu, mereka juga sudah memiliki pelanggan masing-masing di tempat yang lama. Pindah ke tempat baru tidak selalu bisa membawa pelanggan lama untuk mengikuti.

“Banyak yang jualannya lebih sepi setelah pindah ke sini, dulu saat jualan di pinggir jalan, sehari bisa memasak beras 5 kilogram, sekarang 2 kilogram saja belum tentu habis. Padahal harga makanan dan minuman di sini sangat murah, tapi tetap sepi pembeli. Para pedagang ini juga terpaksa memberhentikan rewangnya (karyawan) akibat sepi pembeli.”

Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban

Ibu S sendiri mengaku penjualannya kian hari kian menurun dan tidak seperti dulu ketika ia masih berjualan di pinggir jalan. Kini ia mengaku sering bingung untuk mendahulukan kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan modal berdagang. 

Ibu S menyebut jika hanya mengandalkan penjualan warungnya saja, maka tidak akan bisa menutup kebutuhan rumah tangga.

“Di sini ramainya biasanya pas puasa sampai lebaran saja, banyak yang menggelar acara buka bersama dan kalau lebaran mungkin banyak PRT yang pulang, jadinya orang-orang makan di luar. Itu seperti Tunjangan Hari Raya buat kami.”

Harus Membayar Tunggakan Retribusi

Beban yang dirasakan ibu S sebagai pedagang ternyata tidak berhenti sampai di situ. Ibu S mengungkapkan, beberapa hari sebelum saya datang meliput, dirinya diberi surat tagihan tunggakan pembayaran retribusi yang dikirim oleh Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kota Surabaya. 

Saat menunjukkan surat tagihan tersebut kepada saya, ibu S bercerita sambil menangis mengaku tidak tahu bagaimana dirinya akan membayar tagihan tersebut. Pemasukan yang diterima sehari-harinya bahkan tidak cukup untuk modal jualan esok hari. Tidak tanggung-tanggung, tunggakan yang harus dibayar para pedagang mencapai angka belasan hingga puluhan juta.

Semuanya berawal dari ajakan pengurus SWK Karah terdahulu untuk tidak perlu membayar retribusi kepada pemerintah, dengan dalih nanti akan ada pengajuan keringanan yang diinisiasi oleh pengurus SWK tersebut. 

Baca Juga: Film Lingkungan Ajak Kita Dekat Dengan Alam dan Ketidakadilan Kelompok Marjinal

Pedagang pun mengikuti perintah tersebut hingga akhirnya mereka tidak membayar retribusi yang diwajibkan. Hingga pada tahun 2023 ini akhirnya surat tagihan utang yang menunggak selama beberapa tahun diturunkan. Kini pengurus lama tersebut tidak diketahui keberadaannya.

Ibu S dan pedagang lainnya merasa kaget dengan adanya utang dadakan yang ia terima. Pasalnya selama masa tersebut, tidak ada satupun perwakilan dari pemerintah yang datang untuk menagih atau mengingatkan soal retribusi. Inisiatif untuk tidak membayar retribusi sendiri hanya gagasan yang diusulkan oleh pengurus SWK Karah itu sendiri.

“Ketua sini bilang nggak usah bayar dulu siapa tau ada keringanan, diajak minta keringanan, terus sekarang ternyata tagihan lama muncul. Jumlahnya kisaran belasan hingga puluhan juta. Bunganya lebih tinggi daripada hutang pokoknya. Kami kan mengikuti apa kata pengurus, karena pengurus adalah perpanjangan tangan dinas,” katanya. 

Baca Juga: Para Ibu Sedang Berjuang, Anak Mereka Kena Stunting, Aktivis Minta Pemerintah Perjuangkan Gender dalam Stunting

Meskipun kewajiban membayar retribusi telah dihapus oleh Walikota Surabaya Ery Cahyadi sejak PPKM, namun tunggakan dari tahun 2014-2019 yang lalu tetap harus dibayar.

Dengan adanya surat tagihan utang yang diturunkan Dinas Koperasi dan Perdagangan Surabaya, kini Ibu S dan para pedagang yang telah lama berjualan di SWK Karah harus membayar belasan hingga puluhan juta rupiah. Utang ini sendiri merupakan akumulasi dari tunggakan dan bunga tunggakan yang justru jumlahnya lebih besar.

“Kalo ada tempat lain sebenarnya mending keluar saja daripada bertahan kena utang.”

Saya pun menghubungi Kepala Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan Kota Surabaya, Dewi Soeriyawati untuk mengonfirmasi hal ini (7/7/2023). Namun sampai sekarang belum ada tanggapan lebih lanjut atas pertanyaan saya.

SWK Lainnya yang Juga Sepi Pengunjung

SWK kedua yang saya kunjungi adalah SWK Jambangan. Sekilas, lokasi SWK ini tidak terlalu kelihatan dari jalan raya, letaknya agak jauh dari pinggir jalan. Tidak banyak juga kendaraan lalu lalang di sekitar SWK. 

Saya menjumpai pengurus SWK Jambangan yang bernama Tata. SWK Jambangan dibangun tahun 2014 untuk tempat berjualan bagi masyarakat, PKL, dan perempuan PKL di sekitar Kecamatan Jambangan. Terdapat kurang lebih 25 stand PKL yang berada di tempat ini. 

Saat saya berkunjung, hanya ada beberapa pembeli, padahal hari itu adalah hari Minggu. Tata menjelaskan bahwa hari Minggu memang banyak pedagang yang tutup, hal ini karena kebanyakan pembeli SWK Jambangan adalah pekerja kantor pemerintah dan perkantoran yang ada di sekitarnya. 

SWK Jambangan terbilang SWK yang rapi dan tertata. Tempat ini memiliki tempat parkir yang luas dan stand berjualan yang seragam etalasenya. Hal ini, tidak dimiliki oleh SWK lainnya. 

Tata menjelaskan bahwa etalase pedagang yang seragam adalah permintaan pedagang yang disampaikan melalui dirinya kepada Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan kota Surabaya.

Baca Juga: Kami Sesak Napas: Hilang Nafkah, Hilang Nyawa di Kampung Jakarta Saat Covid
SWK Jambangan tampak depan. SWK ini juga menjadi salah satu titik relokasi PKL dan perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)
SWK Jambangan tampak depan. SWK ini juga menjadi salah satu titik relokasi PKL dan perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)

Sebagai pengurus, Tata sebetulnya telah mengupayakan banyak hal agar pengunjung SWK Jambangan meningkat. Seperti, mengiklankan SWK Jambangan sebagai tempat acara yang bisa direservasi, bekerjasama dengan event lain seperti penjualan pakaian. 

Untuk meningkatkan penghasilan pedagang, Tata juga menghubungi kenalannya untuk memberi donasi jumat berkah. Jumat berkah adalah program yang dibuat Tata dengan membagi hasil donasi secara rata kepada pedagang. Donasi itu nantinya akan dibuat menjadi makanan dan dibagikan kepada panti asuhan. Dengan begitu pedagang mendapatkan pemasukan. 

Hal ini dimulai Tata saat pandemi Covid-19 melanda. Saat itu pemerintah memberlakukan PPKM sehingga tidak banyak orang yang bisa makan di tempat makan. Program ini sendiri masih berjalan hingga kini. 

“Jadi saya menghubungi teman-teman saya, apakah mereka mau berdonasi dalam program ini, ada yang memberi Rp. 200.000 ada yang Rp. 100.000 macam-macam. Lumayan tiap pedagang bisa mengerjakan 5 porsi makanan dari program ini,” ujarnya.

Baca Juga: Meniti Harapan di Titian Rel Kereta Putar

Tata juga berinisiatif membuat Standar Operasional Prosedur bagi para pedagang seperti menjaga kebersihan dan kerapian, memperhatikan penataan dan penyajian makanan dan harus ramah kepada pengunjung.

SWK Jambangan pernah memenangkan sentra pedagang kaki lima terbaik untuk kategori higienis dan sanitasi secara nasional pada tahun 2022. 

Tata mengatakan, makanan dan minuman yang dijual di tempat ini telah dibawa ke Dinkes untuk diuji secara laboratorium kehigienisannya. SWK di Surabaya menurut keterangan Tata memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah limbah cair dari para pedagang.

Para pedagang di sini juga telah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), hal ini diupayakan Tata untuk menjamin legalitas usaha pedagang di tempat ini. Tata sendiri aktif sebagai anggota dari Serikat Pedagang Kaki Lima. 

Tata menyebut harapannya sebagai seorang pedagang, yaitu agar semakin banyak pengunjung yang datang ke tempat ini. Sebab tak sedikit para pedagang yang menggantungkan pemasukan hanya dari berjualan di SWK untuk menghidupi keluarganya.

Cerita Pedagang yang Beruntung

Setelah mengunjungi SWK Jambangan, saya berpindah mengunjungi SWK Bratang Binangun. Tempat ini disebut menjadi salah satu sentra wisata kuliner yang paling ramai di Surabaya. 

Bangunan SWK ini berada di wilayah yang ramai lalu lalang kendaraan dan berada di perempatan, sehingga gampang terlihat. Lokasinya tergolong strategis jika dibandingkan SWK Jambangan.

SWK Jambangan adalah hasil relokasi bagi para pedagang yang dulunya berjualan di sekitar terminal Bratang. Kini dihuni sekitar 60 pedagang dan lebih luas daripada SWK Jambangan. 

Saya berbincang dengan salah seorang pedagang yang bernama Icha. Ia adalah pedagang makanan dan minuman sejak tahun 2015 di tempat ini. Sebelumnya, Icha adalah perempuan PKL dan berjualan di terminal Bratang selama 4 tahun. 

Penataan kota yang dilakukan Walikota Surabaya Tri Rismaharini mulai tahun 2014 membuat Icha akhirnya bergeser dari sekitar terminal, kini di sentra wisata kuliner ini. Berbeda dengan SWK Karah dan Jambangan yang sepi, di SWK Bratang Binangun ini banyak pengunjung yang datang.

“Di sini ramai kok, kalau Sabtu Minggu lebih ramai lagi karena ada hiburan musik dari siang, kalau hari-hari biasa hiburan musiknya mulai habis isya gitu,” ujarnya. 

Baca Juga: Konde Women’s Talk: Kekerasan Seksual di Kampus
Icha, pedagang SWK Bratang Binangun yang pernah menjadi perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)
Icha, pedagang SWK Bratang Binangun yang pernah menjadi perempuan PKL. (Foto: doc. Ika/Konde.co)

Di SWK Bratang Binangun, Icha berdagang mulai dari pagi hari hingga pukul 5 sore. Dalam sehari ia bisa menghabiskan 4-5 Kg beras untuk dimasak. Ini sebenarnya terbilang menurun dibanding waktu sebelum pandemi Covid-19. 

Sebelum pandemi, Icha bisa mengolah hingga 7-8 Kg beras setiap harinya. Sebelum pandemi, Icha membuka tempat makannya hingga pukul 9 malam. Saat pemerintah memberlakukan PPKM dan membatasi interaksi masyarakat, Icha hanya berjualan hingga pukul 5 sore. 

Hal tersebut berlanjut hingga kini, Icha hanya berjualan sampai sore saja. Meskipun begitu, Icha menyebut pemasukannya dari SWK ini cukup untuk biaya kehidupan keluarganya.

“Sehari bisa dapat antara Rp 400-500 ribu, cukup untuk kebutuhan sehari-hari” ujarnya.

Baca Juga: 5 Fakta Depok Kota Intoleran: Pelarangan Valentine Sampai Rancang Kota Religius

Penghasilan ini disebut lebih besar daripada saat Icha berjualan sebagai perempuan PKL di terminal dulu.

Relokasi pedagang dari terminal ke SWK tentunya bukannya tanpa halangan. Icha menceritakan dulu ada pedagang yang tidak setuju bahkan menolak. Mengenai penentuan posisi stand penjualan, pedagang melakukan sistem undi.

Farid, koordinator SWK Bratang Binangun dari Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan menjelaskan kepada Konde.co (7/7) bahwa pemerintah telah melakukan langkah strategis seperti memberikan pelatihan, membantu pemasaran, dan mendampingi pedagang-pedagang di SWK, namun tidak memberikan bantuan modal kepada pedagang.

Tentu harapannya semua PKL yang berada di SWK Surabaya bisa bernasib baik seperti pedagang di SWK Bratang Binangun. Pemerintah pun tampaknya berusaha membuat tampilan SWK menarik. Seperti mengadakan live music yang sering diisi oleh lagu dangdut yang merakyat, memberi lampu-lampu terang di malam hari, dan joglo-joglo untuk lesehan. 

Namun, upaya tersebut semestinya perlu dibarengi dengan kebijakan yang tidak memberatkan para pedagang SWK di Surabaya. Sehingga, tidak banyak para pedagang yang akhirnya keluar dan kembali berjualan di pinggir jalan.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular