Dibanding Julid, Sosmed Mending Dipakai Bikin Perubahan Sosial Berkualitas

Hindari jadi warga sosmed yang cuma bisa gaduh tapi apatis sama situasi sosial. Kamu bisa mulai jadi agen perubahan yang positif. Gimana caranya?

Perkembangan internet dan sistem teknologi informasi kini semakin berkembang cepat. Ini seiring dengan ketergantungan manusia terhadapnya termasuk sosmed (sosial media).

Di Indonesia saja, ada sekitar 201 juta warganet alias netizen yang aktif menggunakan internet. Ini menjadikan Indonesia negara dengan pengguna internet terbanyak keenam di dunia.

Dengan jumlah pengguna internet sebanyak itu, Indonesia berpotensi menjadi ladang subur aktivisme digital–aktivisme melalui teknologi digital di dunia maya untuk mempromosikan gerakan sosial.

Apalagi saat ini masyarakat Indonesia tengah berhadapan dengan penyempitan ruang sipil, yang ditandai dengan gencarnya represi fisik dan digital, serta pencaplokan lembaga-lembaga kunci dalam demokrasi oleh aktor-aktor yang memegang kekuasaan.

Sayangnya, mayoritas aktivitas digital yang dilakukan warganet masih seputar keperluan berkomunikasi saja. Padahal, dengan penggunaan internet yang masif, kita bisa mendorong munculnya banyak aktivisme digital yang dapat mendorong perubahan-perubahan sosial.

Contohnya seperti gerakan #Blacklivesmatter di Amerika Serikat (AS) dan gerakan mendorong Pengesahaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di Indonesia.

Oleh karena itu, penting bagi berbagai pihak, baik pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil, untuk tidak hanya memfasilitasi peningkatan aktivitas digital para warganet secara kuantitas, tapi juga kualitas. Tujuannya agar kegiatan digital pengguna internet di Indonesia bisa sekaligus berkontribusi dalam menghadirkan keadilan sosial.

Setidaknya terdapat empat cara yang kami tawarkan untuk memperluas dan meningkatkan kualitas aktivisme digital warganet di Indonesia.

1. Memperluas pemahaman mengenai aktivisme digital

Aktivisme sering dipandang sebagai kegiatan “luar biasa” yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu, karena yang diperjuangkan biasanya isu yang berat dan berisiko tinggi. Contohnya adalah penolakan terhadap rancangan undang-undang (RUU) tertentu melalui demonstrasi di jalanan.

Ini membuat banyak individu, komunitas, dan organisasi masyarakat sipil memisahkan aktivitas rutin mereka dari label “aktivisme”.

Padahal, banyak aktivitas yang tanpa kita sadari merupakan bentuk aktivisme. Contohnya ketika petani memilih menggunakan benih lokal organik daripada produk rekayasa genetika yang lebih murah demi mempertahankan kualitas tanah dan kemandirian petani.

Contoh lainnya adalah ketika guru memilih mengajar melalui permainan, bukan buku teks, demi mendorong pemikiran kritis muridnya. Bisa juga melalui penulisan laporan investigatif oleh seorang jurnalis, bukan sekadar tulisan pengumpan klik atau clickbait, demi membongkar eksploitasi. Itu semua adalah aktivisme karena berkonstribusi secara aktif dalam mendorong keadilan sosial.

Baca Juga: Feminisme Digital, Rebut Ruang Digital Menjadi Ruang Feminis

Dengan hadirnya teknologi digital, termasuk tersedianya gawai pribadi, aktivisme seharusnya menjadi lebih dekat dan semakin mudah dilakukan oleh semua orang dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan tanpa perlu turun ke jalan.

Hanya saja, masyarakat harus menyadari bahwa apa yang mereka lakukan di dunia maya pun bisa berdampak besar bagi kebijakan negara.

Cara-cara menarik dukungan seperti melalui tagar media sosial atau petisi online merupakan contoh gerakan aktivisme yang bisa menarik ribuan hingga jutaan pendukung dalam waktu yang relatif singkat serta bisa menjangkau kalangan yang lebih luas.

Dalam hal ini, kelompok masyarakat sipil bisa berkontribusi membangun kesadaran publik, terutama kaum muda, untuk bisa lebih banyak menggunakan media sosial mereka untuk mendorong kegiatan-kegiatan aktivisme yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2. Meningkatkan intensitas dan kualitas

Survei tahun 2022 menunjukkan bahwa meskipun jumlah aktivisme digital di Indonesia meningkat pesat dalam lima tahun terakhir (2016-2021), yakni dari 114 menjadi 1.548 kampanye aktivisme digital, jenis dan variasi metodenya masih cukup terbatas.

Aktivisme digital yang banyak dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil sekaligus paling banyak disukai publik, adalah berbagi informasi dan tips, protes daring, dan webinar.

Contoh protes daring yang cukup efektif menggerakkan massa di antaranya adalah melalui tagar #SahkanRUUPKS (kampanye mendorong pengesahan RUU TPKS dan penghapusan kekerasan seksual), #BaliTolakReklamasi (kampanye menolak reklamasi Teluk Benoa di Bali), dan #PapuanLivesMatter (aksi menolak diskriminasi dan mendorong pemenuhan hak-hak orang asli Papua).

Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana

Sementara itu, aktivisme lain seperti penggalangan petisi daring, mobilisasi aksi luring, penggalangan dana, serta perekrutan anggota masih belum banyak dan belum terlalu diminati.

Dengan kata lain, aktivisme digital di Indonesia masih didominasi oleh kegiatan yang sekadar menyuarakan aspirasi dan membagikan informasi, bukan yang mengajak terlibat langsung dalam memperjuangkan keadilan sosial.

Maka dari itu, penting untuk dapat meningkatkan intensitas aktivisme digital warga dengan kegiatan yang lebih beragam dan terstruktur. Ini berguna agar bisa lebih menghasilkan dampak yang pasti.

3. Menjaga keamanan pribadi dan organisasi di ruang siber

Sebagaimana saat melakukan kegiatan di ruang luring, di ruang daring pun penting bagi publik untuk memahami aneka potensi ancaman dan risiko, sehingga kita dapat mengarahkan pergerakan aktivisme kita dengan tepat.

Dalam konteks Indonesia saat ini, setidaknya terdapat empat faktor risiko yang perlu diperhatikan supaya kita dapat dengan aman bergerak di ruang daring maupun luring.

Pertama, sebisa mungkin hindari kemungkinan warganet terhindar dari jerat pidana Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Merujuk pada laporan SAFEnet, pada 2013-2021 saja, ada 393 orang yang telah dituntut secara hukum berdasarkan UU ITE. Pada 2022, jumlahnya bertambah sebanyak 97 tuntutan. Banyak sekali terlapor yang memiliki latar belakang sebagai kelompok kritis, aktivis, mahasiswa, dan jurnalis. Sementara itu, pelapor umumnya berasal dari kalangan pejabat publik dan juga korporasi.

Baca Juga: ‘No Viral, No Justice’: Viral Dulu di Media Sosial, Baru Korban Dapat Penanganan?

Kedua, penting bagi aktivis untuk menyusun strategi kampanye dan advokasi yang sensitif terhadap perlindungan data pribadi. Misalnya, menghindari penyebaran identitas pribadi sasaran yang dituju.

Ketiga, kita harus pahami ada beberapa gangguan teknis yang sangat mungkin kita alami. Seperti lambatnya akses internet (internet throttling), sensor terhadap konten yang memuat kata/isu kunci pergerakan, dan pemutusan total akses internet pada wilayah geografis tertentu.

Terakhir, sangat mungkin kita akan menghadapi ancaman-ancaman siber lain seperti doxxing (menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan tujuan menjatuhkan orang tersebut). Ada juga phishing (penipuan daring untuk mendapatkan informasi data individu) dan cyber espionage (serangan siber terhadap pemerintah atau entitas bisnis). Dalam menanggulangi hal-hal tersebut, kita harus lebih awas dalam memperlakukan aset-aset digital dan informasi kita.

Selain pengamanan secara teknis, kami juga melihat pentingnya pengamanan secara sosiologis. Ini terkait bagaimana individu dan organisasi dapat membangun jejaring. Tak lain, ini agar dapat saling mendukung ketika terdapat ancaman siber. Seperti hilangnya akses data atau jalur komunikasi utama.

4. Pelembagaan aktivisme

Perubahan sosial bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah dan cepat. Seiring berjalannya waktu, gerakan atau aktivisme yang tidak dikelola secara mumpuni berisiko kehabisan dana. Hal lainnya, bisa menyebabkan ditinggalkan para penggeraknya, mengalami kelelahan, dilumpuhkan oleh lawan, hingga kehilangan simpati dari masyarakat.

Guna mengantisipasi risiko-risiko tersebut, pelembagaan atau institusionalisasi memegang peranan kunci. Pelembagaan ini bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi di tengah kegiatan-kegiatan riset, kampanye, dan advokasi, yang biasanya sudah sangat menyita perhatian dan sumber daya kita.

Proses pelembagaan sendiri bisa dimulai dari berbagai hal. Misalnya, pemetaan tujuan, prinsip, dan kebutuhan. Selain itu, juga penyusunan panduan aktivisme digital, pengembangan kapasitas individu dalam organisasi, serta pengembangan jejaring dan kolaborasi antarindividu dan institusi.

Baca Juga: Kampanye Digital Perempuan Muda Melesat Jauh, Internet Dipakai untuk Social Movement

Aktivisme digital bukanlah potret statis individu, komunitas, ataupun organisasi masyarakat sipil dalam mengupayakan keadilan sosial melalui perantaraan teknologi digital. Ini adalah sesuatu yang dinamis, yang mencerminkan perjalanan, atau bahkan petualangan, yang tiada henti.

Keberagaman tingkatan aktivisme digital adalah sumber kekuatan bergerak. Oleh karena itu, kolaborasi antarindividu dan komunitas menjadi penting. Ini untuk senantiasa didorong dalam rangka menciptakan aktivisme yang bermakna dan berdampak bagi semua.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Treviliana Eka Putri dan Diah Kusumaningrum

Lecturer at Department of International Relations, Researcher at Center for Digital Society, Universitas Gadjah Mada and Lecturer and researcher at Department of International Relations, Universitas Gadjah Mada
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!