Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana

Catatan tahunan Komnas Perempuan baru diluncurkan, Catahu ini membuktikan bahwa UU TPKS belum terlaksana efektif

Setelah dua tahun terbatas karena pandemi, Komnas Perempuan kembali meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) secara luring. 

Singkatnya, CATAHU adalah hasil analisis tahunan data laporan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dari berbagai lembaga yang diinisiasi Komnas Perempuan. Dalam 23 tahun terakhir, Komnas Perempuan berhasil konsisten meluncurkan CATAHU yang selalu dilakukan pada bulan Hari Perempuan Sedunia. 

Acara peluncuran diadakan di Hotel Santika Premiere Hayam Wuruk, Jakarta Barat. Dr. Bahrul Fuad, MA (Cak Fu), Theresia Sri Endras Iswarini (Rini), Mariana Amiruddin, M.Hum., dan Dewi Kanti Setianingsih selaku Komisioner Komnas Perempuan menjadi pemapar temuan CATAHU 2023.

Di tengah acara kemarin, apresiasi diberikan dari Tenaga Ahli Utama Staf Khusus Presiden Siti Ruhaini Dzuhayati. Ia menyebut kontribusi yang dilakukan Komnas Perempuan sebagai suatu “beyond call of duty and limitation”.

Ada berbagai perkembangan CATAHU edisi tahun ini, termasuk peningkatan kuantitas pengembalian formulir dan penambahan data dari berbagai sektor lembaga layanan. Beberapa di antaranya adalah Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Kabar Bumi, The International Organization for Migration (IOM), Safe Circle Community, Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia (Babinkum TNI), dan Badan Peradilan Umum (Badilum). Namun, data Babinkum TNI dan Badilum tidak sempat dikompilasi tahun ini karena adanya perbedaan format. 

Selain itu, CATAHU 2023 juga memiliki fokus pada isu yang interseksional, tidak hanya berkutat pada konteks bahwa korban adalah perempuan, tapi juga bagian dari kelompok minoritas ganda. Misalnya, perempuan disabilitas, migran, yang berhadapan dengan hukum, dan yang hidup dengan HIV/AIDS.

Kilas temuan data kekerasan terhadap perempuan pada 2022

CATAHU 2023 menjabarkan adanya penurunan angka laporan kekerasan secara keseluruhan, tapi angka pelaporan ke Komnas Perempuan meningkat. Sepanjang 2022, kekerasan seksual menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan ke Komnas Perempuan (2.228 kasus/38,21%).

Laporan kekerasan seksual di ranah publik menyumbang angka tertinggi dibanding ranah lainnya. Dalam kategori kekerasan siber berbasis gender (KSBG), angka pelaporan terkait kekerasan seksual juga menduduki posisi terbanyak. Lebih lanjut, Komnas Perempuan menemukan bahwa angka laporan pelecehan lebih tinggi daripada pemerkosaan. Ini menjadi temuan yang berbeda dari biasanya.

“Artinya apa? Edukasi di masyarakat itu sudah semakin bagus jadi sudah semakin banyak yang ngeh–yang peduli–bahwa kata-kata Assalamualaikum, Cantik.’ itu adalah kekerasan seksual,” ucap Alimatul Qibtiyah pada Selasa, (7/3).

Secara konsisten, Komnas Perempuan telah melakukan berbagai program dan sosialisasi baik secara luring maupun daring. Misalnya, kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKtP) yang bekerja sama dengan masyarakat sipil atau sosialisasi terkait bentuk kekerasan seksual ke berbagai daerah dan pemuka agama.

Peningkatan angka laporan tentang kekerasan seksual dimungkinkan juga karena hadirnya kebijakan atau aturan yang dapat melindungi korban secara hukum, yaitu Permendikbudristek No. 30/2021, UU No. 12/2022 (TPKS), dan PMA No. 73/2022. Berangkat dari itu, publik diasumsikan menjadi lebih berani untuk melaporkan kasus yang dialami dirinya atau orang di sekitarnya akhir-akhir ini.

Pengesahan UU TPKS hanyalah permulaan

Setelah menunggu 10 tahun lamanya, UU TPKS akhirnya disahkan pada 12 April 2022. Banyak waktu yang terbuang sia-sia, memakan korban setiap penundaannya. Mengingat setiap dua jam, ada 3 perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Sudah cukup kerugian yang dialami perempuan di Indonesia.

UU TPKS berhasil mengatur sembilan tindak pidana bentuk kekerasan seksual dan mengadopsi enam elemen kunci payung hukum yang komprehensif. Pengesahan ini memang menggembirakan, tapi hanyalah permulaan dari perjuangan korban memperoleh keadilan. 

Salah satu hambatan hukum yang dialami korban adalah belum adanya harmonisasi kebijakan secara utuh untuk UU TPKS–bahkan kontradiktif–seperti aturan dispensasi nikah anak di bawah umur

Mariana menegaskan bahwa sembari menunggu aturan turunan, implementasi UU TPKS juga perlu dipercepat. Salah satunya adalah dengan memberikan sosialisasi agar masyarakat dan aparat penegak hukum (APH) dapat lebih berperspektif korban, termasuk edukasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi.

Menanggapi CATAHU 2023, Siti Mazuma menjelaskan bahwa Forum Pengada Layanan juga masih menunggu aturan turunan dari UU TPKS, baik di Peraturan Presiden maupun Peraturan Pemerintah, agar implementasi UU TPKS dapat solutif. 

“Solutif atau memberikan pertimbangan bagi perempuan-perempuan korban kekerasan seksual yang selama ini kasusnya banyak terhambat dalam proses hukum, baik di tingkat kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.”

Pernyataan Siti dan Mariana sejalan dengan apa yang dialami korban di tengah perjalanannya mencari keadilan hukum. Pada awal pengesahan UU TPKS, sejumlah kepolisian setempat menolak penggunaan UU tersebut dan enggan menerima laporan pengaduan dari masyarakat sipil. Sikap kepolisian ini membuat korban semakin enggan untuk melapor.

Selain itu, lembaga layanan mencatat kasus kekerasan terhadap perempuan sampai kini lebih banyak yang terjepit di dalam proses penyelidikan dan penyidikan (1.947) daripada proses penuntutan (372). Selain itu, angka kasus yang proses hukumnya dihentikan juga dinilai tinggi. 

Panitera Muda Pidana Khusus Dr. Sudharmawatiningsih, S.H., M.Hum. menilai bahwa hakim tidak boleh hanya melihat UU TPKS sebagai sesuatu yang terlepas dari konteks sosial yang ada. Namun, ia juga perlu menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, konvensi yang sudah diratifikasi, keberadaan sosial dari korban, dan keberadaan hakim untuk mencegah adanya stereotip gender. Sebagaimana dirinci di dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3/2017 Pasal 7 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum. 

Kalau begini, ke manakah perempuan harus berlari?

CATAHU 2023 menampilkan bahwa 8,6% pelaku kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan dilakukan oleh orang yang diharapkan menjadi pelindung, teladan, dan perwakilan negara. Secara rinci, kekerasan di ranah negara yang diadukan ke Komnas Perempuan tahun lalu sebanyak 68 kasus–konsisten 9% seperti tahun sebelumnya. Beberapa pelaku kasus kekerasan ini di antaranya adalah APH, polisi, dan TNI. 

Walau angkanya terlihat kecil, kekerasan dalam ranah negara membawa dampak signifikan kepada masyarakat yang hendak mencari keadilan. Siti Mazuma menyadari bahwa jumlah kekerasan yang dipaparkan dalam CATAHU hanyalah “puncak gunung es”. Lembaga negara yang seharusnya menjadi pelindung malahan melakukan kekerasan kepada masyarakat. Lantas ke manakah korban harus mencari keadilan?

Perempuan yang mengalami kekerasan masih jauh dari perlindungan hukum. UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), misalnya, yang belum berjalan maksimal. Kasus KDRT berujung restorative justice karena disepelekan walau sudah disahkan sejak 2004. Juga ada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan RUU Masyarakat Adat yang tidak kunjung disahkan negara sehingga merugikan perempuan. 

Komnas Perempuan seperti diungkapkan oleh Komisionernya, Mariana Amiruddin menilai bahwa pencegahan dan penanganan kebijakan diskriminatif yang lebih optimal dapat berkontribusi positif dalam upaya penghapusan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Foto: doc Konde.co

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!