Seleb Tiktok Lina Mukherjee Divonis 2 Tahun Karena Makan Babi, Penistaan Agama Jadi Dalih Kriminalisasi

Seleb Tiktok, Lina Mukherjee divonis pengadilan hukuman 2 tahun penjara karena makan babi sambil membaca bismillah. Para aktivis mengkritik kriminalisasi berdalih penistaan agama ini.

Seleb Tiktok Lina Mukherjee ramai menjadi sorotan beberapa waktu ini. Ia baru saja divonis hukuman 2 tahun penjara karena makan babi sambil membaca bismillah. Putusan ini dijatuhkan oleh hakim di Pengadilan Negeri (PN) Kelas I Palembang. 

Lina Mukherjee juga didenda senilai Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan penjara. 

Vonis tersebut menarik perhatian sejumlah media internasional untuk memberitakan. Misalnya, Media Inggris, BBC, mempublikasikan laporan berjudul ‘Tiktoker jailed for two years over pork video’ (Tiktoker dipenjara 2 tahun karena video babi). Ada juga, South China Morning Post, Daily Mail, hingga Thai PBS World yang menurunkan berita serupa.

Dilansir Detik.com, Majelis Hakim PN Kelas I Palembang yang diketuai Romi Sinatra menilai, Tiktoker bernama asli Lina Lutfiawati itu secara sah dan terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan ‘kebencian’ individu dan kelompok tertentu berdasarkan agama. 

Lina kemudian dijerat Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

“Mengadili dan menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Lina Lutfiawati alias Lina Mukherjee dengan pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan kurungan penjara,” ujar Romi, Selasa (19/8). 

Atas putusan hakim ini, Lina menyebut dirinya akan berkoordinasi dahulu dengan pihak keluarga. Tidak menutup kemungkinan dirinya akan mengajukan banding.

“Saya akan pikir-pikir dulu selama satu minggu ini terkait vonis tersebut.” 

Sebelumnya, sidang ketiga beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel, Nur Kholis. MUI menerangkan bahwa perbuatan Lina masuk sebagai kategori penistaan agama Islam. Maka, pelakunya layak mendapatkan hukum sesuai perundangan.

“Dari kajian MUI, terdakwa melakukan itu dengan penuh kesadaran penuh tanpa paksaan,” kata Nur Kholis dikutip dari Tempo.co

Poin lainnya dalam fatwa MUI menurutnya, hewan babi adalah najis, sehingga haram dimakan oleh umat Islam. Apalagi, memakannya sambil membaca bismillah. 

Aktivis: Stop Kriminalisasi Berdalih Penistaan Agama

Para aktivis menyayangkan pola-pola kriminalisasi berdalih penodaan atau penistaan agama yang terus terjadi. Realitasnya, pasal-pasal karet itu dijadikan dalih menjerat kelompok rentan termasuk perempuan. 

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati menekankan, tak semestinya kasus Lina ini sampai dipidana. 

“Pasal 28 ayat (2) UU ITE bukan penistaan agama. Namun pun baik 156a dan pasal 28 ayat (2) tidak ada perbuatan permusuhan yang dilakukan.. mungkin salah secara sosial, tapi bukan secara pidana,” ujar Maidina ketika dihubungi Konde.co, Senin (25/9). 

Maidina menyebut, kasus Lina mestinya bisa selesai dengan permintaan maaf. Public discourse yang melibatkan publik untuk menawarkan dan menguji argumennya, sudah cukup jadi sanksi sosial baginya. 

“Yang punya power pada begitu, tapi ini yang lemah, ditahan dan dipidana. Kelihatan kan, ‘pasal karet’ macam Pasal 156a dan 28 ayat (2) UU ITE lebih mudah menjerat yang lemah,” imbuhnya. 

Baca Juga: Fatia Maulidiyanti, Perempuan Berani Bicara: Dilaporkan Dengan UU ITE

Konde.co juga menghubungi Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Alex Junaidi yang mengatakan, kasus yang menimpa Lina ini seolah berpola seperti kasus-kasus lainnya seperti pemenjaraan bagi pemrotes suara adzan. Kasus yang dimaksud, Meiliana yang dijatuhi hukuman 18 bulan oleh PN Medan, Sumatera Utara pada 2018, karena mengeluhkan volume suara adzan. 

“Ini kerap menimpa kelompok/individu yang minoritas. Padahal sudah kita tau, kasus ini dari dorongan dan desakan mayoritas,” kata Junaidi. 

Serupa dengan Maidina, Ia juga mempertanyakan kerugian yang ditimbulkan Lina sehingga harus dipidanakan seperti kriminal. Tidak seperti perampokan, pencurian, korupsi, atau tindakan kriminal lainnya yang merugikan masyarakat. 

“Dikritik saja, dikecam boleh, tapi bukan perbuatan kriminal (yang harus dipidana–red),” ujarnya. 

Junaidi juga menekankan, penggunaan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang berdalilkan penodaan atau penistaan agama sudah harus dihentikan. Sebab justru rentan disalahgunakan untuk kriminalisasi oleh pihak yang punya kuasa atau mayoritas. 

“Ini karena pasalnya karet, batasannya tidak jelas, misal soal hasutan, menodai, diksi menistakan itu sangat karet. Ini sangat mudah digunakan baik kelompok/yang berkuasa,” tambah Thowik dari SEJUK

Baca Juga: UU ITE, Membungkam Suara Perempuan

Thowik juga menyayangkan, sampai saat ini pasal-pasal penodaan agama masih dijadikan ‘senjata’ menjerat kelompok rentan seperti kasusnya Lina. Jelas ini tak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. 

Dengan pidana ini, menurutnya, negara telah melakukan pelanggaran hak warga negara. Sebab Lina akhirnya hak-haknya untuk bebas berekspresi dan berpandangan terenggut karena dikriminalisasi. 

“Seharusnya negara bukan mengkriminalisasi, tapi harusnya proses mediasi, dialog. Ditegur kan cukup,” kata Thowik. 

Ia juga mendorong alat negara termasuk APH agar tak hanya mendengarkan pendapat dan desakan mayoritas. Misalnya, MUI sebagai representasi agama mayoritas yang menafsirkan penistaan agama pada kasus Lina. Padahal, MUI hanya salah satu organisasi masyarakat keislaman, mestinya dimunculkan juga pandangan alternatif yang bisa menghormati hak-hak warga negara. 

“Tren aparat hukum kita, kalau berkaitan agama harus merujuk ke MUI, padahal MUI hanya salah satu saja pandangan ormas keislaman,” pungkasnya. 

(Sumber Foto: Tangkapan Layar YouTube Ngobrol Asix)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!