Pentingnya Reclaiming Safe Space, Aktivis Adakan Asean People’s Forum untuk KTT ASEAN 2023

Di tengah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta yang dimulai hari ini 5-7 September 2023, para aktivis HAM menyelenggarakan pertemuan ASEAN People’s Forum di Jakarta. Pertemuan ini memberikan catatan kritis tentang isu HAM untuk para pemimpin negara dalam KTT ASEAN 2023.

Para perempuan di sejumlah negara ASEAN menghadapi problem keadilan ketika memperjuangkan isu perempuan. Ada diskriminasi dan kekerasan yang terus mereka alami. Salah satunya ketika mereka memperjuangkan soal seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Problemnya adalah soal pengakuan atas identitas seksualitas. Ada juga perlakuan pada tubuh soal kesehatan reproduksi. Salah satunya adalah perlakuan pada perempuan korban yang harus melakukan aborsi. Sejumlah korban melakukan aborsi paska ia diperkosa. Namun ketika melakukan aborsi, mereka malah dikriminalisasi.

Jerat kriminalisasi ini terjadi ketika ada wacana yang menyatakan bahwa aborsi dianggap sebagai perilaku tak bermoral. Kebijakan negara juga masih membiarkan kondisi ini terjadi. Sedangkan untuk bicara keras tidak mungkin. Karena minimnya dukungan dan masih adanya anggapan bahwa aborsi itu buruk, dianggap melakukan pembunuhan terhadap bayi dan tak diperbolehkan oleh aturan manapun.

Tempelan stigma ini, kemudian makin menambah deretan stereotip yang menyatakan bahwa perempuan tak boleh memilih untuk tubuhnya. Apa yang terjadi pada tubuh perempuan selalu dilekatkan dengan norma di sekitarnya yang tak memberikan suara perempuan untuk memilih.

Sejumlah narasumber yang berasal dari aktivis perempuan di ASEAN membicarakan kondisi di beberapa negara di ASEAN di pleno-pleno dalam acara ASEAN People’s Forum (APF) yang dihadiri Konde.co. Acara ini diselenggarakan di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Agenda yang digelar pada tanggal 1-3 September 2023 ini mengangkat tema “Reclaiming Safe Space, Restoring Democracy, and Equity in ASEAN!.”

Kondisi di ASEAN sangat khas. Yaitu masih kuatnya norma dan agama yang tidak memberikan pilihan pada kesehatan reproduksi perempuan.

Baca Juga: Forum WPS High Level ASEAN di Yogyakarta, Bakal Bahas Isu Migrasi Hingga Perubahan Iklim

Maka para aktivis perempuan berharap, KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta pada 5-7 September 2023 di mana Indonesia sebagai tuan rumah bisa mengakomodir kebijakan dengan perspektif perempuan dan kelompok marjinal. Karena biasanya isu ini dianggap kecil dan lupa untuk dibicarakan.

“Pemerintah di ASEAN harus memastikan bahwa kepentingan rakyat tercermin dalam setiap proses pengambilan keputusan. Karena kepentingan rakyat, terutama kelompok rentan dan marginal seperti perempuan, anak perempuan, minoritas gender, penyandang disabilitas, dan perempuan pedesaan, sering kali tidak diprioritaskan dalam perumusan kebijakan ASEAN,” kata Rena Herdiyani, Komite Nasional Indonesia dari Yayasan Kalyanamitra dalam konferensi pers yang dihadiri Konde.co

Secara umum isu yang disoroti dalam APF ini adalah impunitas sebagai isu utama yang berkaitan dengan masalah hak asasi manusia di ASEAN. Padahal diharapkan kekerasan politik ini tidak terulang kembali di masa depan. Impunitas ini diakibatkan kurangnya penghormatan terhadap hak asasi manusia di ASEAN. Hal ini dapat diberantas ketika rakyatlah yang harus menggerakkan pola pikir para pemimpin mereka, seperti yang disampaikan pada sebuah sesi pleno.

Baca Juga: Perempuan Disable: Kami Tak Bisa Selesaikan Kekerasan Seksual Jika Hak Reproduksi Tak Dipenuhi

Lita Anggraini dari JALA PRT juga memaparkan dalam forum ini tentang problem terberat yang saat ini menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT). Yaitu membuat DPR di Indonesia memahami tentang pentingnya mendukung perjuangan wong cilik seperti PRT untuk mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. JALA PRT kemudian bersama organisasi masyarakat sipil memilih untuk melakukan demonstrasi setiap hari di depan Gedung DPR sebagai langkah meminta komitmen wakil rakyat untuk melakukan sesuatu.

Selama tiga hari intensif, para peserta dari organisasi HAM di ASEAN menyuarakan suara mereka secara kolektif melalui tiga sesi pleno, 29 lokakarya yang merefleksikan enam ruang konvergensi

“Dengan banyaknya lokakarya dan acara sampingan ini, kami, masyarakat sipil, ingin merebut kembali ruang kami di pusat agenda regionalisme ini. Dengan membahas beberapa masalah dalam ACSC/APF 2023, kami, masyarakat sipil ingin mendemokrasikan ASEAN, agar lebih inklusif dan bekerja aktif dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia,” jelas Daniel Awigra, Komite Nasional Indonesia, Direktur Eksekutif Human Right Working Group / HRWG Indonesia.

Isu Perempuan dan Perdamaian Keamanan di ASEAN

Isu lain yang dibahas seputar problem di ASEAN adalah krisis kemanusiaan di Myanmar, yang berujung pada pelanggaran serius hak asasi perempuan di sana. Para aktivis mengakui ini sebagai salah satu perjuangan berat di ASEAN.

Isu tentang Myanmar juga terungkap dalam forum organisasi masyarakat sipil atau Forum WPS high level meeting di Yogyakarta, 5-6 Juli 2023. Forum ini diselenggarakan untuk memberikan catatan soal perempuan dan isu perdamaian dan keamanan di ASEAN.

“Krisis membuat perempuan jadi sasaran kekerasan, pelecehan seksual, dan pemaksaan terkait konflik. Kondisi tersebut membuat berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak ASEAN segera bertindak. Di antaranya, ASEAN harus mengakui pelanggaran mencolok junta terhadap the Five-Point Consensus. Perlu juga ada kepastian bahwa setiap perjanjian di masa depan memasukkan komitmen yang terikat waktu dan terukur. Untuk membebaskan perempuan yang ditahan secara sewenang-wenang dan meminta pertanggungjawaban pelaku,” kata Ruby Kholifah, Direktur AMAN Indonesia

ASEAN juga diminta menangani kebutuhan para pengungsi, menetapkan perlindungan pengungsi dan mekanisme rujukan seperti bantuan hukum, perawatan medis, dan dukungan psikososial. Serta mendukung rehabilitasi, reparasi, dan keadilan transisi yang berpusat pada penyintas. Termasuk akuntabilitas pasukan keamanan, pejabat negara, dan peradilan.

Baca Juga: Apa saja Persoalan Perempuan di ASEAN? Catatan dari Forum WPS High Level ASEAN

Wahyu Susilo, Direktur Migran Care menyatakan bahwa dalam konteks migrasi sebagai fenomena kompleks yang berimplikasi pada hak-hak perempuan, perdamaian, dan keamanan.

“ASEAN harus lebih memperhatikan tantangan terkait perlindungan, bantuan kemanusiaan, dan integrasi sosial bagi pengungsi sebagai kelompok rentan di negara-negara tujuan pengungsi. Seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Krisis di Myanmar memang telah memicu perpindahan besar-besaran penduduk, termasuk perempuan dan gadis, yang dipaksa mengungsi dari rumah mereka.”

Kemudian ASEAN sebaiknya memperhatikan aktivitas kelompok ekstremis yang memanfaatkan faktor marginalisasi dan ketidakadilan. Serta sejumlah kerentanan buruh migran perempuan seperti kondisi tidak setara, keterbatasan akses, dan kesepian. Pasalnya, kondisi-kondisi tersebut kerap mendorong pencarian spiritualitas. Lalu kelompok-kelompok ekstremis akan masuk dengan menawarkan ‘solusi’ surga. 

Aktivis Serahkan Rekomendasi pada KTT ASEAN

Sebanyak 6 rekomendasi HAM kemudian diserahkan pada penyelenggaraan KTT ASEAN. Salah satu rekomendasinya yaitu soal ruang konvergensi perdamaian dan keamanan manusia. 

ASEAN dan semua negara anggotanya harus mempromosikan penyelesaian semua sengketa dengan cara damai. Yang sesuai dengan hukum internasional dan menahan diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional. Negara-negara anggota harus mencegah semua pelanggaran hak asasi manusia, kekejaman, kejahatan, penculikan anak, dan penghilangan paksa. Selain itu, negara-negara anggota ASEAN harus menangani ancaman non-tradisional terhadap keamanan dan mata pencaharian manusia secara berkelanjutan.

Daniel Awigra menyebut rekomendasi selanjutnya yaitu soal ruang konvergensi regionalisme alternatif.

“ACSC/APF 2023 adalah platform penting bagi masyarakat sipil untuk menyuarakan keprihatinan mereka tentang situasi hak asasi manusia dan demokrasi di ASEAN. Konferensi ini juga merupakan kesempatan untuk membahas rekomendasi dan strategi untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Kami menyerukan kepada ASEAN dan semua negara anggotanya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merealisasikan rekomendasi ACSC/APF 2023. Kami juga menyerukan kepada masyarakat sipil di seluruh ASEAN untuk terus bekerja sama dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan demokrasi di kawasan ini.”

“ASEAN dan semua negara anggota harus menyediakan kerangka hukum dan kebijakan tentang ekonomi sosial dan solidaritas bagi pekerja di sektor formal dan informal.”

Baca Juga: Pertemuan LGBT ASEAN Batal Digelar di Indonesia Setelah Serangan Kontra yang Masif

Rena Herdiyani dari Kalyanamitra menyatakan tentang pentingnya ruang konvergensi HAM dan ruang aman untuk kelompok marginal

ASEAN harus mengadopsi dan mengimplementasikan kerangka hukum dan kebijakan yang komprehensif tentang hak asasi manusia. Termasuk hak-hak perempuan, anak-anak, orang dengan disabilitas, dan kelompok minoritas,” kata Rena Herdiyani.

Lalu selanjutnya ruang konvergensi keadilan iklim dan lingkungan. ASEAN dan semua negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang lebih ambisius untuk mengatasi krisis iklim dan lingkungan, dengan fokus pada keadilan transisi dan pengurangan emisi.

Lalu ruang konvergensi keadilan sosial ekonomi berupa ASEAN dan semua negara anggota harus memajukan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan fokus pada pengurangan ketimpangan di segala aspek pembangunan dan peningkatan kesejahteraan bagi semua orang dan ruang konvergensi demokrasi dan anti-otoritarianisme. ASEAN dan semua negara anggota harus memperkuat demokrasi, mempromosikan good governance, dan melawan otoritarianisme.

Sejumlah aktivis HAM yang hadir dalam konferensi pers mewakili regional Organizing Committee ACSC/APF 2023. Antara lain dari Malaysia, Faribel Fernandez, Timor Leste diwakili Abrao Monteiro, Singapore, Soe Min Than. Lalu dari Thailand, Kornkanok Khamta dan Cambodia, Reasey Seng. Indonesia diwakili Daniel Awigra dan Rena Herdiyani, Philippines, Josephine Parilla dan Laos, Amphone Souvannalath.

(Foto: Konde.co dan acscapf.org/wp/)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!