Polusi Udara Sebabkan Kesehatan Mental Memburuk, Gejala Depresi Hingga Bunuh Diri

Buruknya polusi udara bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik. Ia 'menghantui' kesehatan mental masyarakat pula.

Peringatan: artikel ini berisi muatan terkait bunuh diri.

Beberapa bulan belakangan ini polusi udara Jakarta memprihatinkan. Berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir.com, konsentrasi partikel debu atau particulate matter 2,5 (PM2,5) per 21 September masih di angka 68 mikrogram per meter kubik (µg/m³). Angka tersebut melampaui dua kali lipat standar PM2,5 harian versi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 25 µg/m3.

Akibatnya, bukan hal yang mengejutkan jika kondisi masyarakat di daerah berpolusi seperti Jakarta mengalami masalah pernapasan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, selama enam bulan terakhir kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Ibu Kota melebihi 100 ribu kasus per bulan. Di Jabodetabek, kasus ISPA per Agustus melampaui 200 ribu kasus per bulan.

Dampak polusi udara terhadap kondisi fisik kita mulai tampak dan mudah untuk diamati. Namun, polusi tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik semata, melainkan juga terhadap kesehatan mental kita.

Depresi dan Bunuh Diri

Semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa polusi juga berdampak mendalam terhadap kesehatan mental manusia. Sayangnya, publik masih jarang memperbincangkan hal ini.

Ekonom kesehatan Universitas Yale, Xi Chen beserta rekannya, mempelajari dampak polusi terhadap kesehatan mental yang ada di Cina, negara yang kualitas udaranya sudah sangat buruk.

Dalam penelitian yang terbit pada 2017 itu, Chen menemukan tingkat polusi yang tinggi mengurangi kebahagiaan dan meningkatkan gejala depresi. Bahkan, sekalipun dalam tingkat yang ringan, polusi udara dalam jangka panjang tetap berdampak buruk bagi kesehatan mental kita.

Kita juga bisa melihat metaanalisis dari 39 penelitian terkait polusi udara dan depresi yang berjudul Air pollution exposure and depression: A comprehensive updated systematic review and meta-analysis, terbit pada 2022 di Jurnal Environmental Pollution.

Hasil analisis tersebut memperlihatkan, peningkatan paparan PM2,5 baik dalam jangka panjang maupun pendek berhubungan dengan depresi. Artinya, paparan kita terhadap polusi pada akhirnya akan membuat kita mudah atau rentan dengan depresi.

Selain depresi, polusi udara berkaitan dengan beberapa masalah mental seperti gangguan tidur, isolasi sosial, penurunan kognitif khususnya anak-anak dan lansia. Ada juga gangguan kesehatan lainnya seperti skizofrenia, gangguan bipolar, gangguan kecemasan, gangguan pemusatan perhatian (Attention deficit hyperactivity disorder/ADHD), autisme, dan gangguan personalitas.

Sejumlah riset pun menggali hubungan polusi udara dengan kenaikan kejadian bunuh diri. Contohnya analisis terbaru terhadap data di Amerika Serikat (AS), yang diterbitkan oleh Biro Riset Ekonomi Nasional di Cambridge, Massachusetts, menemukan bahwa setiap peningkatan partikel polusi per mikrogram/m3 di kota-kota AS, kejadian bunuh diri naik hingga 0,5%.

Baca Juga: Cara Gugat Kelalaian Negara: Apa Beda Citizen Lawsuit dan Class Action Lawsuit?

Hubungan kedua hal ini mungkin sulit untuk dijelaskan. Namun, beberapa penelitian menjelaskan bahwa secara biologis, polusi dapat menyebabkan peradangan di otak, defisit serotonin, dan mengganggu jalur respons stres. Kondisi tersebut membuat perilaku depresi dan impulsif lebih mungkin terjadi.

Ada juga kemungkinan bahwa udara yang buruk dapat menyebabkan kabut otak atau brainfog. Otak yang berkabut memengaruhi cara berpikir seseorang sehingga ide bunuh diri bisa menjadi lebih mudah untuk dilakukan.

Selain aspek biologis, beban psikologis pun dapat mencuat ketika udara sangat tercemar.

Bayangkan jika kamu adalah seorang ibu tunggal dengan anak yang mengalami ISPA akibat udara kotor. Kamu harus menemani si buah hati berobat rutin ke dokter. Sementara, kamu harus bekerja, tidak memiliki asuransi kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari kian meningkat. Skenario ini berisiko membuat kamu tertekan sehingga mengalami situasi yang buruk.

Apa yang harus kita lakukan?

Kita telah memasuki masa krisis iklim yang mengerikan. Pemerintah sudah semestinya membuat regulasi yang lebih ketat terkait emisi dengan standar ketat. Mulai menerapkan di berbagai industri dan kendaraan motor. Menjalankan aturan dengan tegas, mulai dari inspeksi rutin dan denda bagi pelanggar.

Tanpa regulasi yang ketat, kondisi akan memburuk. Belum lagi jika pemerintah hanya membuat kebijakan tanpa berlandaskan data yang akurat.

Pemerintah dapat berembuk dengan para ilmuwan yang telah melakukan riset atau fokus terhadap isu ini. Sudah saatnya negara mengedepankan sains dalam merancang berbagai kebijakan, dan mengakui bahwa polusi udara dapat berdampak pada berbagai macam aspek kehidupan.

Hal mendasar ini mungkin bisa menjadi secercah harapan untuk menemukan langkah yang tepat.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat?

Penulis asal Kanada, Naomi Klein, dalam bukunya yang berjudul This Changes Everything: Capitalism vs. The Climate, mengatakan kapitalisme pasar bebas dan upaya kita untuk terus mengejar pertumbuhan ekonomi pada akhirnya membawa kita pada kondisi yang buruk seperti ini.

Baca Juga: Sesak Napas di Jakarta: Stop Solusi Palsu, Kami Butuh Udara Bersih

Naomi mengatakan gerakan massa dalam menghadapi krisis iklim akan menjadi harapan. Dia berpendapat, perubahan sebenarnya hanya akan datang jika ada tekanan dari bawah, dari rakyat biasa yang menuntut dan memilih untuk bertindak.

Klein berpendapat bahwa masyarakat perlu menghadapi kenyataan ini dengan kepala tegak dan bekerja untuk menciptakan solusi yang berarti. Langkah ini juga termasuk menagih janji pemerintah yang kerap memberikan solusi omong kosong untuk rakyatnya.

Saat dampak polusi udara mulai tampak pada kondisi fisik, pemerintah masih belum memberikan respons yang solutif. Lantas apakah pemerintah harus menunggu dampak mental masyarakat kian nyata?

(Foto: ilustrasi)

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Wawan Kurniawan

Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!