Ujaran Kebencian Bukan Bagian Dari Kebebasan Berpendapat: Jangan Salah Pahami Perbedaan 

Kita sering melihat ujaran kebencian di media sosial. Banyak yang terpaksa harus mengunci atau menutup interaksi di akun twitternya saking liarnya hujatan dan ancaman yang diterima.

Hari-hari setelah gelaran Women’s March 2023 di Jakarta pertengahan Mei 2023 lalu, menjadi semacam huru-hara di sosial media. Itu terjadi setelah beberapa akun base di twitter mencomot foto-foto saat aksi. Kemudian, memberi caption provokatif yang menyerang identitas gender maupun seksualitas kawan-kawan minoritas. 

Tanpa niat mencari tahu apa agenda Women’s March 2023 tersebut, netizen beramai-ramai menghujat dan melontarkan caci maki keji yang bikin mata panas membacanya.

Tidak berapa lama, saya menemukan banyak cuitan dari orang-orang yang menerima ancaman pembunuhan, perkosaan bahkan anjuran bunuh diri. Itu terjadi setelah mencoba memberikan klarifikasi dan meluruskan pandangan negatif terhadap kelompok LGBTQ+

Banyak yang terpaksa harus mengunci atau menutup interaksi di akun twitternya. Hal itu karena saking liarnya hujatan dan ancaman yang diterima. Melihat kebencian begitu cepat menyebar, merambat dari satu komentar ke komentar lain, membuat orang-orang yang hendak menghentikan diskriminasi pada kelompok rentan harus menerima backlash bertubi-tubi. Sebuah konsekuensi yang tidak seharusnya diterima saat menyerukan nilai-nilai humanity.

Promosi Kebencian Bukan Kebebasan Berbicara

Situasi ini cukup mengganggu karena masih banyak yang mengatasnamakan ujaran kebencian sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Padahal, selalu ada batasan antara menyuarakan pikiran dengan mempromosikan kebencian. 

Mengutip definisi dalam United Nations Strategy and Plan of Action on Hate Speech, ujaran kebencian adalah segala bentuk komunikasi baik dalam bentuk ucapan, tulisan atau perilaku, yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Hal itu berdasarkan atas dasar siapa mereka, agama, suku, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin atau faktor identitas lainnya. Artinya, sebuah pendapat bisa berubah menjadi ujaran kebencian ketika sudah menyerang koridor identitas kelompok tertentu.

Ujaran kebencian yang digaungkan terus menerus dapat berubah menjadi hasutan. Satu stage yang lebih berbahaya karena secara eksplisit dapat memicu diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 melarang keras segala bentuk propaganda atau tindakan yang menganjurkan kebencian karena membahayakan keselamatan dan hak asasi orang lain.

Indonesia juga memiliki peraturan terkait ujaran kebencian yang telah dikodifikasikan secara baku. Namun dalam pandangan saya, peraturan ini belum menjangkau kawan-kawan minoritas yang menjadi korban ujaran kebencian. Mengapa? Karena mereka ‘ditempatkan’ oleh society yang xenophobic di rantai terbawah dari penghormatan hak asasi mereka. 

Kesengajaan untuk menindas dan mengolok-olok identitas, akan membuat posisi mereka demikian rentan. Sehingga meminta perlindungan hukum sebagai korban ujaran kebencian berpotensi mendiskriminasi mereka untuk kesekian kalinya.

Baca Juga: Women’s March Jakarta 2023, Pengalamanku Hadir di Panggung Rayakan Keberagaman

Kebencian yang ditumpahkan tanpa kontrol di sosial media punya dampak yang serius. Ujaran kebencian membara di mana-mana, membakar ruang aman bagi mereka yang minoritas. Seolah tidak ada tanggung jawab akan dampak yang bisa ditimbulkan, bagaimana orang bisa begitu reckless untuk menjadikan kehidupan orang lain sebagai bulan-bulanan hujatan?

Jo Hemmings, seorang psikolog Perilaku & Media dalam artikel berjudul Why do people really post mean comments online? The experts explain mengatakan bahwa seorang trolls –orang yang melakukan trolling atau kesengajaan berkomentar secara kontroversial. Itu mereka lakukan tanpa diminta dengan maksud untuk memancing reaksi emosional dari pembaca lainnya- cenderung memiliki ketidakmampuan untuk membangun hubungan yang sehat secara offline.

Mereka secara sadar berusaha menarik perhatian orang lain dengan menyakiti atau membuat orang kesal. Parahnya, dukungan online dari para trolls lain bisa memberikan sensasi yang menaikkan harga diri mereka. Tentu saja memilukan bagaimana ‘kesenangan’ yang didapatkan para trolls ini berpotensi menyebabkan kematian bagi orang lain yang menjadi sasaran kebencian.

Sosial media bisa menjadi semacam battlefield dalam mempertahankan suatu pendapat. Namun, argumentasi sewajarnya dicounter dengan argumentasi pula, bukan dengan ancaman kekerasan sebagai senjata. 

Mengutip laporan Microsoft tahun 2021 lalu, indeks keberadaban digital netizen Indonesia menjadi yang terendah di Asia Tenggara, atau secara global berada di posisi 29 dari 32 negara.  Artinya, perilaku netizen Indonesia di dunia maya dan media sosial menjadi yang paling buruk etikanya.

Tingkat keberadaban digital ini termasuk masifnya ujaran kebencian, diskriminasi, misogini, pelecehan terhadap kelompok marginal, cyberbullying, trolling, penyebarluasan berita bohong atau hoaks, hingga penipuan dan doxing

Sangat disayangkan bagaimana image ramah tamah yang selama ini dipegang oleh masyarakat Indonesia ternyata kontradiktif dengan interaksi yang ditampilkan di dunia maya.

Benarkah Sosial Media Membuat Orang Lebih Kasar?  

Studi dalam ilmu psikologi membuktikan bahwa personality seseorang bisa berbeda saat mereka sedang online. Fenomena ini disebut Online Disinhibition Effect; yaitu perilaku dimana seseorang bisa bertingkah berbeda antara realita dengan saat berselancar di dunia maya. 

John Suler, seorang profesor psikologi di Rider University dalam jurnal berjudul The Online Disinhibition Effect mengatakan bahwa ada dua tipe dari fenomena. Di antaranya, benign disinhibition; perilaku saat seseorang menjadi lebih terbuka. Ini menunjukkan emosi tersembunyi dan membagikan hal-hal personalny. Ada pula istilah toxic disinhibition. Yaitu, tingkah laku yang menjadi lebih kasar, kejam, penuh kemarahan dan bisa memberikan ancaman bagi orang lain.

Suler lebih jauh menjelaskan 6 faktor terjadinya Online Disinhibition Effect, mulai dari faktor anonimitas yang membuat internet user bisa menyembunyikan identitas asli mereka. Selain itu, juga faktor keterbatasan untuk bertatapan langsung secara fisik dengan lawan bicara (invisibility). Sehingga, ini dapat meningkatkan keberanian seseorang untuk berpendapat.

Efeknya, seolah-olah ada pemisahan tindakan seseorang ketika sedang online dan offline. Selain itu, secara sadar atau tidak, seseorang bisa mengimajinasikan persona pribadinya yang berbeda antara dunia maya dan kehidupan nyata atau disebut dissociative imagination. Hal ini akan membuat norma dan aturan dari dunia nyata tidak berlaku di dunia maya.

Baca Juga: Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

Interaksi yang tidak real-time di dunia maya memberikan jeda waktu yang membuat seseorang bisa berubah menjadi lebih benign atau toxic disinhibition

Ketidakmampuan untuk mendengar ‘suara’ dan intonasi suatu postingan, juga akan mempengaruhi tingkat emosional seseorang dalam merespons sebuah postingan. Ditambah lagi, dunia maya ‘menyembunyikan’ status dan kekuasaan. Sehingga seseorang merasa punya kesempatan untuk merespon secara setara.

Saya percaya bahwa pengalaman dan nilai-nilai yang dipercaya juga akan mempengaruhi cara seseorang merespons suatu postingan online. Dunia maya memang seolah meleburkan batasan etika dalam interaksi sosial. Bila ancaman akun disuspend akibat ujaran kebencian tidak terlalu ‘mempan’ menghentikan seseorang sebagai seorang trolls, maka sebaiknya berhati-hati dengan jejak digital yang tidak mudah dihapus.

Sependapat dengan Germany Kent dalam bukunya You Are What You Tweet: Harness the Power of Twitter to Create a Happier, Healthier Life,if we treat our social media accounts like we live our lives offline, there is no way some of us would share what we post online. Your digital footprint is your legacy, think before you post.”

Shofia Shobah

Saat ini saya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang renewable energy. Saya tidak tergabung di komunitas atau lembaga apapun, kecuali setiap satu bulan sekali mengikuti kegiatan mendongeng adik-adik di satu sekolah di Bekasi Timur. Saya punya concern yang besar pada isu-isu gender dan minority group dan saat ini sedang begitu bersemangat untuk menyuarakan hal tersebut terutama melalui tulisan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!