Penampilan Paguyuban Gejog Lesung "Maju Lancar" dari Dusun Sawit, Desa Panggungharjo dalam pembukaan Biennale Jogja 17 di Kampoeng Mataram, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)

Ceritaku Berkunjung ke Biennale Jogja 2023, Musik Bisa Jadi Seni Terapi Bagi Lansia

Tema Biennale Jogja tahun ini mengajak kita membaca ruang kehidupan desa dan alam sekitar. Termasuk, para warga lanjut usianya yang mengalami demensia atau Alzheimer. Mereka bisa lupa nama anaknya, namun tidak lupa saat diajak menyanyi.

Suara-suara mendesau memecah suasana hening di atas panggung pembukaan Biennale Jogja ke-17 di Kampoeng Mataraman di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. 

Disambut suara kokok ayam saling bersahut sebagai penanda pagi telah tiba. Ada suara beras yang beradu dengan tampah dari anyaman bambu dalam prosesi napeni (membersihkan beras). Dilanjutkan suara-suara antan atau alu beradu dengan lesung saat menumbuk padi. Menggiring imajinasi penonton akan kehidupan pagi di desa yang mulai hiruk pikuk.

 Sore nutu, esuk ngliwet, anak putu pada wareg… (sore menumbuk padi, pagi menanak nasi, anak cucu menjadi kenyang…). Tak tek tok… tak tek tok..

Penampilan Paguyuban Gejog Lesung “Maju Lancar” dari Dusun Sawit, Desa Panggungharjo dalam pembukaan Biennale Jogja 17 di Kampoeng Mataram, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)
Baca Juga: ‘Diarak dan Dibuka Jilbab Secara Paksa’ Pemulung Tua Jadi Korban Kekerasan di Yogyakarta 

Belasan ibu-ibu paruh baya berkain jarit dan berkebaya menyanyikan tetembangan berbahasa Jawa diiringi alunan gejog lesung. Menghidupkan panggung yang didesain eksotik dari dua unit bak mobil truk. Sementara seniman Monica Hapsari sesekali memberi aba-aba sembari berdiri di balik meja dengan seperangkat komputer jinjing di sisi tengah panggung.

Penyanyi, musisi, komposer, juga seniman visual asal Tangerang itu menginisiasi kolaborasi warga Dusun Sawit, Desa Panggungharjo yang bergabung dalam Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar untuk membuat lagu. Ada tiga lagu yang ditampilkan malam itu, yakni Gejog Lesung, Goa Garba dan Lesung Jumengglung.

 “Ini karya kolaborasi kami. Ibu-ibu ini bikin lagu sendiri tentang keluh kesah sehari-hari,” kata Monica dari atas panggung.

Seni Menjadi Terapi

Rupanya, sebelum mengiyakan ajakan Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika untuk ikut serta dalam gelaran Biennale Jogja 17, Monica sempat mempertanyakan secara personal tentang apa guna seni-seni tersebut? Apakah kalau karya seninya sudah terjual, kemudian dianggap beres? Atau apakah hanya menunjukkan eksistensi sebagai seniman saja?

Monica Hapsari: Seniman Biennale Jogja 17, Monica Hapsari. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)

Seiring waktu, Monica menemukan ide untuk membuat karya seni yang diberi judul “Garba”. Karya itu terinspirasi penyakit Alzheimer — penyakit degeneratif berupa penurunan daya ingat — yang diderita ibunya yang belum lama ini meninggal dunia. Dan ia melakukan riset tentang penyakit yang diderita para lanjut usia itu.

“Ada pendekatan terapi seni untuk manula demensia dan Alzheimer,” kata Monica saat konferensi pers di Taman Budaya Yogyakarta pada 4 Oktober 2023.

Sementara tak dipungkiri banyak warga usia lanjut di desa. Namun persentase lansia dengan demensia atau pun Alzheimer masih sedikit karena terdiagnosa. Tak banyak yang tahu soal penyakit itu, sehingga upaya penanganannya acapkali tak tepat.

Kondisi itu memantapkan hati Monica untuk mengikuti Biennale Joga. Bahkan menjadi seniman residensi di Dusun Sawit dan melakukan kolaborasi dengan warga di sana selama dua bulan.

Ia mencontohkan, seorang lansia dengan demensia bisa jadi lupa nama anaknya. Namun tidak lupa saat diajak untuk bernyanyi.

“Nggak perlu nyanyi yang aneh-aneh, yang simpel saja dicoba. Ingatannya bisa balik lagi, tiba-tiba bisa komunikasi dengan orang yang belum dikenal,” papar Monica.

Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Pemilihan tema “Garba” pun bukan tanpa alasan. Ia menjelaskan, garba adalah rahim, tempat janin berkembang sebelum kemudian dilahirkan menjadi bayi oleh seorang ibu. Dikutip dari ayat kedua Surat Al Fatihah, Arrahmanirrahim atau Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Monica mengartikan garba adalah mengenai kasih sayang.

Lewat Garba, Monica ingin menjadikan persoalan kecil sehari-hari dalam keluarga sebagai tema. Tak muluk-muluk mengangkat persoalan kaliber yang mendunia. Ia ingin menyampaikan pesan, sebelum mampu merampungkan persoalan dari kolektif yang terbesar, yaitu global lebih baik berangkat dari kolektif yang terkecil, yaitu keluarga.

“Kita lupa dengan keluarga. Padahal interaksi kolektif pertama terjadi dalam keluarga, tempat kita bisa mengaku salah dan meminta maaf,” papar Monica.

 Acapkali anak tidak tahu ayah ibunya mengalami Alzheimer. Lantaran masing-masing anak punya banyak kepentingan untuk merampungkan banyak urusan.

“Tapi dengan mengamati, niteni (mengamati untuk mengingat dan menandai), jadi tahu masalahnya,” imbuh seniman yang mempelajari beragam praktik spiritual untuk belajar memahami kehidupan.

Lewat project Garba untuk Biennale, Monica punya impian mengajak warga Sawit untuk bisa membuat lagu sendiri. Lagu yang bisa dikenang anak cucu karena mengandung kisah hidup. Namun upaya itu tak mudah. Lantaran warga tak cukup punya rasa percaya diri untuk bisa membuat lagu. Bagi mereka itu sulit.

Setidaknya Monica butuh waktu satu bulan untuk menumbuhkan rasa kepercayaan itu. Bahwa membuat lagu tak harus benar-benar mencipta lagu dari yang semula tak ada menjadi ada. Bisa menggunakan irama yang sudah ada, tinggal mengubah liriknya. Pun lirik lagu bisa diambil dari keseharian.

Sementara alat musik yang digunakan adalah gejog lesung. Lantaran alat itu pula yang akrab digunakan ibu-ibu di sana untuk menumbuk padi sembari berdendang.

Baca Juga: ‘The New Grey’, Gerakan Lansia untuk Tampil Fashionable dan Gaya
Penampilan Paguyuban Gejog Lesung “Maju Lancar” dari Dusun Sawit, Desa Panggungharjo dalam pembukaan Biennale Jogja 17 di Kampoeng Mataram, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)

Dan, berhasil. Lahirlah lagu “Gejog Lesung” yang mengisahkan keseharian warga dari sore hari menumbuk padi, lalu pagi hari menanaknya menjadi nasi. Dan makanan disiapkan untuk anak-anaknya untuk bekal sebelum ke sekolah. Sembari menabur doa dan harapan agar anak-anak mereka menjadi anak-anak yang punya bekal pengetahuan ilmu dan agama untuk meluhurkan nama orang tua, bangsa dan negara.

Begitu pun lagu berjudul “Gua Garba”. Biyung matur nuwun, panjenengan sampun paring gesang, paring pepadhang…

Dari potongan liriknya berisi ucapan terima kasih kepada ibu — yang telah mengandung dan melahirkan, sekaligus ibu bumi. Dan meminta maaf karena telah merusak alam. 

Pun lirik lengkapnya mengisahkan sejarah Panggungharjo. Salah satunya Panggung Krapyak yang merupakan salah satu dari sumbu filosofi yang ditetapkan Unesco menjadi warisan dunia pada September 2023 lalu. Ada nama-nama tempat yang disebut dari Panggung Krapyak hingga Karanggede.

Dan warga pun bungah dengan hasil karyanya.

“Lho, itu kata-kataku yang kuucapkan kemarin to?” seru seorang ibu saat celetukannya “sore nutu, esuk ngliwet” masuk menjadi bagian dari lirik lagu.

“Wah bagus jelek nggak penting, yang penting bahagia ya. Anak cucu kita jadi punya lagu,”

 “Nyanyi biar nggak stres,”

 Monica tersenyum dengan hasil kolaborasi seni bersama warga itu.

 “Mungkin itu dampak (berkesenian) secara mental,” kata Monica yang juga aktif dalam organisasi pelestarian hutan, Tree Of Heart.

Baca Juga: 29 Mei Hari Lansia Nasional: Pentingnya Perhatikan Kebutuhan Ayah dan Ibumu
Penampilan Paguyuban Gejog Lesung “Maju Lancar” dari Dusun Sawit, Desa Panggungharjo dalam pembukaan Biennale Jogja 17 di Kampoeng Mataram, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)
Binennale 17 Melibatkan Desa

Usai selama 10 tahun (sejak 2011-2021) mengangkat tema Ekuator, kini Biennale Jogja ke-17 memasuki putaran baru bertema Trans-Lokalitas & Trans-Historisitas. 

Lewat tema baru itu, Biennale menjadi titik temu antara pandangan de-kolonial dengan merawat kembali cara hidup di luar cara pandang Eropa. Menjadi langkah awal untuk mulai melihat kembali budaya dan pertemuan ideologi antar sesama wilayah bekas jajahan yang terpinggirkan.

Praktik kesenian yang diterapkan pun lebih partisipatoris dengan melibatkan masyarakat pedesaan di pinggiran Yogyakarta. Ada dua desa yang dipilih, yaitu Desa Panggungharjo di Kecamatan Sewon dan Bangunjiwo di Kecamatan Kasihan, yang keduanya berada di wilayah Kabupaten Bantul.

Alia Swastika: Direktur Yayasan Biennale Jogja, Alia Swastika. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)

“Kami membawa praktik-praktik seni kontemporer menjadi bagian dari kehidupan bersama di pedesaan,” kata Alia.

Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds pun dipilih menjadi judul dari tema besar Biennale Jogja 17 itu. Titen yang diambil dari frasa bahasa Jawa menjadi acuan seniman bekerja bersama dengan warga dua desa itu untuk mendokumentasikan pengetahuan agar kembali kepada alam. Juga mencoba membaca ruang kehidupan desa.

 “Jadi seniman bergerak langsung dalam kehidupan desa,” imbuh Alia.

Dengan tema Translokalitas, menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Melani Budianta sekaligus membongkar konteks berkesenian yang berkiblat ke Eropa yang cenderung menyimpan relasi kuasa. Lantaran karya-karya seni dianggap adiluhung apabila bisa dipamerkan di galeri-galeri dengan standar perkotaan. Sementara karya-karya seni yang dihadirkan di pedesaan, pegunungan dianggap kampungan, ndeso, sehingga terpinggirkan.

“Tapi Biennale membuat terobosan. Seni diletakkan di desa. Bukan sekadar tempat selfie, tapi juga menjadi ruang dialog dengan masyarakat desa. Dan masyarakat desa adalah bagian dari seniman itu,” kata Melani.

Baca Juga: 6 Hari Penting Perempuan di Bulan Mei: Hari Marsinah sampai Hari Kanker Ovarium
Penampilan tari Sigrak Pramesti dalam pembukaan Biennale Jogja 17 di Kampoeng Mataram, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Jumat, 6 Oktober 2023 malam. (Foto: dok. Pito Agustin Rudiana)

Gelaran yang berlangsung sejak 6 – 25 Oktober 2023 itu diikuti 70 seniman dari kawasan Asia Selatan, Eropa Timur, dan Indonesia. Karya-karya mereka tersebar antara lain di Taman Budaya Yogyakarta, Monumen Bibis, Sekar Mataram, The Ratan, Kampoeng Mataraman, Pendapa Art Space. 

Sebelumnya, karya-karya yang dipamerkan itu dikurasi para kurator dari beragam negara juga, yakni Adelina Luft (Rumania), Eka Putra Nggalu (Indonesia), Sheelasha Rajbhandari dan Hit Man Gurung (Nepal). 

Pito Agustin Rudiana

Jurnalis berdomisili di Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!