Film ‘Ice Cold’, Soroti Kejanggalan Kasus Kopi Sianida Jessica Wongso

Film dokumenter Netflix 'Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso' membuka kembali perbincangan publik soal kasus kopi sianida. Berbagai pertanyaan yang tak terjawab seputar persidangan Jessica Wongso bermunculan lagi usai 7 tahun putusan peradilan.

Pada tahun 2016, persidangan kasus kopi sianida yang menyeret nama Jessica Kumala Wongso sebagai terdakwa pembunuhan sahabatnya, Mirna Salihin, ramai di berbagai pemberitaan media massa. Tayangan televisi pun menyoroti jalannya persidangan selama berjam-jam. 

Ini jadi salah satu kasus paling kontroversial di Indonesia kala itu. Tak kurang dari 20 kali persidangan selalu penuh sesak dihadiri banyak orang yang bersimpati terhadap kasus itu. 

Mayoritasnya mendukung penegakkan keadilan untuk Mirna. Satu sisi, hukuman setimpal untuk Jessica, meskipun di pertengahan proses sidang narasi dukungan untuk Jessica menguat akibat saksi ahli yang didatangkan memunculkan berbagai pertanyaan kejanggalan. 

Meski begitu, tepatnya pada 27 Oktober 2016, Jessica akhirnya ditetapkan terbukti bersalah oleh pengadilan atas pembunuhan berencana pada Mirna Salihin. Dia divonis hukuman penjara selama 20 tahun. 

Sekitar 7 tahun ini sepi dari pemberitaan, film dokumenter ‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’ kembali menyedot perhatian publik atas kasus kopi sianida. 

Dokumenter Netflix yang disutradarai Rob Sixsmith asal Amerika Serikat itu, mengulas berbagai pertanyaan yang tak terjawab seputar persidangan Jessica Wongso— bertahun-tahun setelah kematian sahabatnya, Mirna Salihin. 

Memutar Memori Kasus Kopi Sianida

Kembali ke peristiwa 6 Januari 2016 lalu, tiga orang sahabat mengadakan pertemuan di restoran Olivier, West Mall, Grand Indonesia di Jakarta Pusat. Mereka adalah Jessica, Mirna, dan Hani. Dari penuturan Jessica, sebetulnya ada satu orang lagi sahabat yang menyusul akan datang yaitu Vera. Namun, dia belum sempat tiba di Olivier saat Mirna sudah dibawa ke rumah sakit. 

Mereka adalah sahabat yang sama-sama menjalani pendidikan di Australia. Saat tragedi terjadi, Jessica sedang berlibur di Indonesia setelah empat tahun tinggal di Australia. Lalu, mereka merencanakan ketemuan bersama. 

Jessica yang tiba lebih dulu, memesankan es kopi Vietnam untuk Mirna usai mereka berbincang via grup chat. Bahwa Mirna menyukai kopi Vietnam di kafe Olivier. 

Tak lama setelah meminum kopi itu, Mirna sempat mengatakan bahwa kopinya rasanya tidak enak. Baunya pun menyengat. Mirna lantas kejang-kejang dan mengeluarkan busa di mulutnya. Dia kemudian dilarikan ke rumah sakit terdekat, hingga dia dinyatakan meninggal dunia tak berapa lamanya. 

Baca Juga: ‘200 Pounds Beauty’: Buruknya Perlakuan Pada Plus Size atau Tubuh Gendut

Kematian Mirna mengundang kecurigaan dan terasa janggal. Hingga akhirnya kepolisian meminta izin untuk mengautopsi jenazah Mirna. Keluarga Mirna yang semula tidak mengizinkan, akhirnya bersedia. Dari hasil autopsi itu, ditemukan 0,2 mg sianida yang diambil dari sampel lambung Mirna.

Di film ‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’ ada kejanggalan yang kemudian jadi pertanyaan. Bahwa ternyata, Mirna tak pernah diautopsi secara lengkap, alias hanya sebatas sampel lambung. 

Saksi ahli —dokter ahli sianida– juga mengungkap bahwa kandungan sianida 0,2 mg baru ditemukan tiga hari usai kematian Mirna. Sementara sesaat setelah kematiannya, negatif sianida. 

Anehnya lagi, kandungan sianida justru mencapai 7.400 mg di sampel gelas kopi Mirna. Dengan dosis segitu, saksi ahli bilang, harusnya sudah bisa membuat seluruh ruangan di kafe itu pingsan jika memang ada kandungan sebesar itu. 

Pun dengan kejanggalan penampakkan kebiruan di jenazah Mirna, yang harusnya kemerahan untuk orang yang meninggal karena sianida. Serta sederet kejanggalan lainnya, yang menimbulkan pertanyaan kembali atas kasus ini yang disorot film dokumenter ini. 

‘Tidak Cantik, Maka Perilakunya Tak Baik’?

Dokumenter ini juga menyajikan wawancara salah seorang jurnalis yang bernama Fristian Griec, yang saat itu menjadi jurnalis televisi menyebut bahwa Jessica terlihat seperti seorang yang manja, bahkan terkadang ia makan dengan disuapi oleh ibunya.

Anggapan ini menjadi menarik karena bertolak belakang dengan pendapat saksi ahli yang dihadirkan di ruang sidang. Saksi ahli berpendapat bahwa Jessica adalah seorang yang terstruktur dan penuh perencanaan.

Saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum yaitu Ronny Nitibaskara menyebut bahwa Jessica memiliki karakter sebagai pendendam hanya dinilai dari raut mukanya.

“Sakit hati, ya, dendam, membuat dia sunyi. Ingin diperhatikan, narsisnya keluar. Seperti anak kecil. Cukup dengan melihat fisiognomi raut muka, dan sebagiannya itu, ini orang tipe pendendam” ucap Ronny.

Baca Juga: ‘Petualangan Sherina 2’ Nostalgia Persahabatan dan Kampanye Stop Perdagangan Orangutan

Dari pernyataan itu, pengacara Jessica, Otto Hasibuan mempertanyakan dasar keilmuan yang digunakan Ronny untuk menilai karakter Jessica.

“Dasar teori saudara mengatakan ini semua tadi itu apa?” tanya Otto Hasibuan.

“Dari studi empiris, studi bintang film di Amerika dan sebagainya” jawab Ronny.

Sementara psikolog dari Universitas Indonesia, Dewi Taviana Warida, yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli dalam sidang ini mengatakan sebaliknya.

“Dari sudut pandang ilmu ya, kalau misalnya ada orang yang dikira jahat, kebetulan misalnya orangnya tidak cantik, tidak ganteng, dianggap perilakunya negatif, akhirnya semua jadi negatif. Kemudian menjadi kisah telenovela,” ujar Dewi.

Bak telenovela yang dimaksud Dewi ini pun, senada dengan pendapat Hardly Stefano Fenelon Pariela, mantan anggota komisioner KPI menyebut tayangan persidangan kasus ini bahkan mengalahkan rating sinetron pada waktu itu. Saat itu sebagian besar publik meyakini bahwa Jessica benar membunuh Mirna. 

Ditambah adanya opini publik yang dugaannya, ikut-ikutan menilai fisik dan pembawaan Jessica yang dianggap menunjukkan bahwa Jessica memang bersalah.

Sorotan dari Pemerintah Australia

Hal lain yang menarik dari dokumenter ini adalah dijelaskannya status saksi ahli dari pihak Jessica yang dideportasi oleh pemerintah karena permasalahan izin tinggal. 

Beng Beng Ong, yang merupakan ahli Patologi dari Australia dideportasi setelah memberikan kesaksian yang meringankan Jessica, hal ini karena Beng Beng Ong memiliki masalah administratif izin tinggal. Dimana seseorang yang memberikan kesaksian di pengadilan harusnya menggunakan izin tinggal terbatas bukannya izin kunjungan.

Setelah dideportasinya Beng Beng Ong, kasus ini makin melebar. Bukan hanya saksi ahli dalam negeri saja yang dihadirkan, karena pihak jaksa penuntut umum juga menghadirkan saksi ahli dari kepolisian Australia. Jessica yang merupakan warga dengan izin tinggal tetap Australia disebutkan memiliki sederet catatan di kepolisian Australia. Hal ini yang dianggap memberikan keyakinan pada hakim untuk nantinya menjatuhkan vonis.

Meskipun begitu, media Australia menyebut bahwa pemerintah Australia melakukan upaya bantuan hukum untuk Jessica. Diantaranya adalah berkirim surat kepada Menteri Hukum dan Ham Indonesia waktu itu, Yasonna Laoly. Media Australia menyebut bahwa Indonesia menjamin bahwa Jessica tidak akan mendapatkan hukuman mati.

Menurut pedoman Australian Federal Police (AFP) tentang bantuan polisi internasional dalam situasi hukuman mati, persetujuan dari menteri diperlukan jika seseorang telah ditahan, ditangkap, dituduh, atau dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang dapat dikenai hukuman mati.

Sudah Adilkah Peradilan Kita?

Dokumenter ini juga berupaya mewawancarai langsung Jessica. Namun hanya beberapa pertanyaan dan tanggapan yang dijelaskan Jessica, pihak keamanan Lapas Kelas II A Pondok Bambu langsung menghentikan sesi wawancara tersebut dengan alasan wawancara ini sudah terlalu dalam. 

Setelah wawancara tersebut, pihak lapas menolak wawancara berikutnya terhadap Jessica. Pihak produksi film ini pun mempertanyakan kejadian ini, sedangkan seorang teroris dan pembunuh saja bisa diwawancarai namun Jessica tidak mendapatkan hak itu.

Tokoh lain yang diwawancarai dalam dokumenter ini adalah Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu. Erasmus Napitupulu menyebut polisi dan jaksa memiliki kekuatan yang begitu besar dalam peradilan di Indonesia.

Bahkan Erasmus mengatakan, karena hal itulah, Jessica Wongso dinyatakan bersalah. Menurutnya, dengan sistem peradilan Indonesia seperti saat ini seolah harus ada orang yang dinyatakan bersalah atas kematian seseorang, meski kepolisian tidak bisa menemukan siapa tersangka lainnya.

Baca Juga: Anggota DPR Hentikan Tayangan Film ‘His Only Son’? Ini Film Perjuangan Perempuan

“Bukan masalah benar atau salah, tapi yang terpenting cara sistem peradilan pidana Indonesia menunjukkan bahwa dia membuktikan seseorang bersalah dengan keraguan yang masih tersisa. Kalau kasus Jessica anda kategorikan sebagai lumayan, maka saya akan membiarkan imajinasi anda untuk membayangkan bagaimana kasus-kasus lain di Indonesia dilakukan. Kalau ini dilakukan oleh orang biasa, saya bisa pastikan, anda akan dihukum mati”

Lebih lanjut, Erasmus mengatakan bahwa sistem peradilan pidana perlu direformasi, supaya seluruh rakyat Indonesia bisa mendapatkan akses terhadap keadilan.

“Kita perlu mereformasi sistem peradilan pidana. Karena apa? Karena semua orang bisa kena. Semua orang bisa menjadi korban selanjutnya,” tegasnya.

Jessica mengajukan Peninjauan Kembali (PK) setelah kasasi yang dia ajukan ditolak Mahkamah Agung pada 21 Juni 2017. Namun Mahkamah Agung menolak PK yang diajukan Jessica sehingga dia tetap harus menjalani vonis hukuman 20 tahun penjara. Terbaru, melansir CNN Indonesia, pihak pengacara Jessica Wongso akan kembali mengajukan PK dalam waktu dekat ini.

Kejanggalan-kejanggalan yang diungkap dalam film tersebut telah menimbulkan pertanyaan baru di masyarakat tentang sistem hukum pidana Indonesia. Apakah sistem hukum Indonesia telah memberikan keadilan bagi kasus ini? Atau justru masih hukum jadi perpanjangan tangan menindas pihak yang rentan? 

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!