Kelompok masyarakat adat Papua di Konferensi Tenurial 2023, Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta pada Senin (16/10/2023). (Foto: dok. Konde.co/Salsabila Putri Pertiwi)

Papua Bukan Tanah Kosong, Tanah bagi Kami adalah Mama

Konferensi Tenurial 2023 mengangkat berbagai masalah agraria dan perampasan lahan yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Termasuk, Papua hingga Aceh.

Naomi Marasian datang jauh dari Papua ke Senayan, Jakarta. Ia berdiri di atas panggung bersama sejumlah tokoh perwakilan masyarakat lainnya untuk membuka Konferensi Tenurial 2023, di Gedung Serbaguna Senayan Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, Senin (16/10/2023).

Direktur Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (pt. PPMA Papua) itu, mendesakkan kedaulatan kepemilikan atas sumber daya alam bagi adat Papua. Tanah bagi masyarakat Papua layaknya ibu atau mama, yang begitu penting bagi kehidupan. 

“Tanah bagi kami adalah ibu atau mama. Sosok perempuan yang menjaga kehidupan kami untuk tetap hidup, melakukan kerja-kerja produktif bagi kelangsungan hidup kami. Beranak-pinak, serta menjaga lingkungan untuk kehidupan dan keberlangsungan alam dan generasi sebagai pewaris,” ucap Naomi Marasian. 

Namun, masyarakat asli Papua justru kerap ditindas di atas tanahnya sendiri. 

“Kami masyarakat adat sering diancam dan diintimidasi ketika hendak berdaulat dan berdaya atas tanah kami sendiri,” tegasnya. 

Baca Juga: ‘Burung pun Tak Ada Lagi’: Riset Kondisi Perempuan Papua

Bagi rakyat Papua, fungsi tanah bukan hanya secara ekonomi. Ia berfungsi secara sosial, berkaitan dengan hubungan kekerabatan dalam kelangsungan hidup mereka. Maka dari itu, mereka mengecam berat perampasan tanah secara sepihak dan memaksa oleh para korporasi dan pihak tidak bertanggung jawab.

Keprihatinan terkait konflik agraria dan perampasan tanah oleh penguasa itu memprakarsai Konferensi Tenurial 2023. Konferensi tersebut diadakan selama tanggal 16-17 Oktober 2023 di Gedung Serbaguna Senayan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta. Kali ini, Konferensi Tenurial mengusung tema ‘Mewujudkan Keadilan Sosial dan Ekologis Melalui Reforma Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam’.

Konferensi Tenurial 2023 dihadiri oleh masyarakat dari berbagai elemen, antara lain masyarakat adat, petani, nelayan, buruh, perempuan, rakyat miskin kota, dan sebagainya, dari seluruh penjuru Indonesia. Dalam perhelatan ini, elemen-elemen masyarakat mendiskusikan krisis lahan dan konflik agraria yang kian marak dan represif, serta menilai pentingnya reformasi agraria sejati untuk keadilan tenurial dan kedaulatan rakyat.

Isu Agraria di Indonesia: Proyek Pembangunan sampai Represifitas Aparat

Konferensi Tenurial 2023 mengangkat berbagai masalah agraria dan perampasan lahan yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Di Kalimantan, misalnya, terjadi kemiskinan dan pemiskinan struktural yang khususnya dirasakan oleh perempuan. Lalu, lebih dari 40 jiwa melayang akibat lubang-lubang bekas penggalian tambang. Ditambah proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang tidak hanya mencaplok, tetapi juga menghilangkan hak 53 desa di Kalimantan.

Kemudian di Sulawesi, krisis agraria salah satunya mengancam para perempuan pesisir. Menurut raportur Konferensi Tenurial Region Sulawesi 2023, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Sulawesi menjadi target PSN, reklamasi, tambang pasir laut, hingga kawasan industri. Akibatnya, air laut menjadi keruh, pantai mengalami abrasi, sumber mata pencaharian nelayan hilang, dan sebagainya. Ditambah adanya intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terhadap rakyat yang menuntut keadilan.

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini

Di wilayah Jawa, penanganan konflik agraria kerap berjalan lambat. Ada pula perdagangan karbon yang manfaatnya bagi masyarakat adat dipertanyakan. Konferensi Tenurial Region Jawa juga menekankan pentingnya peran perempuan dalam perjuangan dan reforma agraria dengan perspektif gender.

Sementara di Sumatera, ada beberapa isu masyarakat adat yang menjadi highlight. Seperti masyarakat Pantai Cermin di Aceh yang masih belum mendapat pengakuan dari pemerintah daerah hingga nasional. Serta masyarakat adat Mentawai yang belum mendapat pengakuan atas hutan adat dan wilayah pesisir mereka dari pemerintah. Masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi juga terusir dari wilayah adat mereka sendiri.

Lalu yang baru-baru ini terjadi adalah konflik terkait PSN di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Aparat bertindak represif terhadap masyarakat yang bertahan di pulau tersebut, bahkan menembakkan gas air mata ke wilayah pemukiman dan sekolah. Konflik Pulau Rempang masih berlangsung hingga saat ini.

Paradigma Pro-Pasar: Mana Keadilan Sosial dalam Pancasila?

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, menyoroti keprihatinan terhadap paradigma politik pro-pasar dan berorientasi pemodal yang terjadi saat ini.

“Sistem dan model pembangunan semacam ini telah diperkuat agar Indonesia dinilai ramah pada investor. Sayangnya, model ini dilakukan dengan cara yang melanggar konstitusi kita. Mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria, membalikkan badan pada mandat rakyat,” tutur Dewi Kartika dalam sambutannya pada Konferensi Tenurial 2023, Senin (16/10/2023).

Baca Juga: YLBHI: Kapan Negara Akan Hentikan Kesewenangan Atas Ruang Hidup Perempuan?

Monopoli tanah oleh konglomerat hingga negara juga meletuskan beragam konflik di tengah masyarakat. Ini termasuk Proyek Pembangunan Nasional (PSN), yang menimbulkan perampasan lahan represif di sejumlah wilayah di Indonesia. Belum lagi militerisme pertanian dan pangan yang menjadi salah satu faktor kemiskinan petani dan masyarakat adat.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyebut terjadinya perubahan petani, nelayan, dan masyarakat di Nusantara, dari posisinya sebagai produsen pangan, kini menjadi konsumen pangan.

“Tiga hal ini bukan hal yang sepele untuk masyarakat yang berada di Ring of Fire, yang akan menghadapi bencana skala besar,” ungkap Zenzi dalam konferensi pers Konferensi Tenurial 2023.

Konferensi Tenurial 2023, Latar Belakang dan Harapan

Menurut Dewi, yang juga merupakan Ketua Steering Commitee Konferensi Tenurial 2023, ada lima poin yang melatarbelakangi penyelenggaraan konferensi tersebut. 

Dari kelima poin tersebut, yang pertama adalah masalah agraria struktural secara realita yang terus diabaikan. Kedua, penurunan drastis atau degradasi orientasi ekonomi politik dan kebijakan terkait agraria sumber daya alam, termasuk demokrasi dan HAM. Ketiga, Koalisi Masyarakat Sipil dari berbagai sektor tersebut lalu bergabung demi mengantisipasi tantangan dan ancaman menjelang pergantian kekuasaan 2024.

Baca Juga: ‘Open Mic’ Perempuan Pemilu: Politisi Sibuk Pasangkan Capres, Tak Ada Tawaran Konkret untuk Perempuan

Keempat, adanya rekonsolidasi gerakan rakyat untuk mengantisipasi penggusuran dan perampasan tanah. Terakhir, Konferensi Tenurial mendorong solusi dan panduan bagi gerakan masyarakat sipil untuk rekonsolidasi internal serta rekomendasi solusi bagi pemerintahan ke depan.

“Kurang lebih ada 105 konflik PSN dalam 3 tahun terakhir ini,” ujar Dewi. “Artinya, agenda Konferensi Tenurial itu juga akan mendorong bagaimana upaya-upaya perjuangan itu tidak hanya pada saat proses advokasi saja, atau mitigasi. Tetapi justru penguatan organisasi rakyat yang soal soliditas.”

Salah satu persoalan dalam konflik agraria, ungkap Dewi, adalah politik devide et impera atau politik pecah-belah. Ketika beberapa elemen masyarakat sudah menerima ganti rugi lahan dalam berbagai bentuk, politik tersebut akan masuk dan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat itu sendiri. Itulah alasan penguatan gerakan masyarakat jadi penting.

“Apa yang membuat rakyat bertahan di atas tanahnya? Penguatan organisasi rakyat. Itu yang paling penting menurut saya,” pungkas Dewi.

(Video pendek Konferensi Tenurial 2023/Dok. Konde.co)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!