M adalah anak perempuan yang dipenjara dan tinggal di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) di Kupang. Jarak LPKA ke rumahnya 110 kilometer. Rumahnya jauh di kampung.
Jarak yang amat jauh membuat M hanya bisa terhubung dengan keluarganya melalui sambungan telepon, hingga ia dinyatakan bebas nanti. M seperti terisolasi, jauh dari keluarga. Padahal untuk anak-anak yang tinggal di LPKA, mendapat dukungan dari keluarga sangat penting.
Banyak anak perempuan yang saat ini tinggal di Lapas. Orang menyebutnya Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Jika Lapas diisi oleh orang-orang dewasa, maka LPKA adalah Lembaga Pembinaan Khusus Anak atau tempat anak menjalani masa pidananya. Bagi anak-anak yang tinggal di kampung, orangtua jadi jauh atau sulit untuk menengok. Anak-anak ini jadi jauh dari keluarga.
M sendiri adalah satu-satunya anak perempuan di LPKA Kupang sejak Maret sampai Agustus 2023. Ia dipenjara karena membunuh orang yang memperkosanya. Padahal anak perempuan ini sedang membela diri, namun tetap dianggap bersalah. Keluarganya juga dikucilkan.
Anak yang berkasus atau berhadapan dengan hukum ini jika sudah keluar dari penjara, juga mendapatkan perlakuan kerap dikucilkan dan mendapatkan stigma. Ini membuat mereka makin terdiskriminasi oleh lingkungannya.
Setiap tanggal 11 Oktober seperti hari ini, kita memperingati Hari Anak Perempuan Sedunia. Realitanya, masih banyak persoalan terkait anak perempuan yang kini terjadi. Salah satunya, anak perempuan yang berkonflik hukum.
Selain M, ada juga anak perempuan berkebutuhan khusus (ABH) lain yang tinggal di LPKA.
Baca Juga: Hari Anti Hukuman Mati 10 Oktober, Tahukah Kamu 500 Perempuan Jadi Terpidana Mati
Community Officer PKBI DKI Jakarta, Zahrah Ayu menyebut, salah satu kendala yang sering ditemui pada anak perempuan yang sedang berkonflik dengan hukum adalah stigma buruk yang disematkan pada mereka.
“Stigma bahwa anak yang berada di LPKA, terutama perempuan, stigmanya selalu negatif. Itu yang menjadi hambatan untuk mereka lebih bisa menerima dirinya dan lebih bisa membaur di masyarakat saat sudah menjalani masa hukuman,” ucapnya saat diwawancarai Konde.co usai sesi diskusi acara ‘Bestie YPKA Bercerita tentang LPKA‘ yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Selasa (10/10/2023).
Pengucilan ini ternyata tidak hanya dialami oleh ABH perempuan, tetapi juga dialami oleh keluarga dan kerabatnya.
Gidion Isa Pally, Pelaksana Tugas (PLT) Kepala LPKA Kelas I Kupang, Nusa Tenggara Timur, berbagi cerita dari LPKA tempatnya bertugas. Ia melanjutkan ceritanya tentang M, anak perempuan yang didakwa 5 tahun pidana karena membunuh orang yang hendak memperkosanya. Keluarga mereka dikucilkan karena yang memperkosa adalah orang yang berpengaruh di kampung mereka.
“Memang ada penilaian masyarakat di sana,” jelas Gidion saat diwawancara oleh Konde.co. “Jadi keluarga mereka, adik-adik mereka itu dikucilkan, karena yang dibunuh itu orang yang berpengaruh di kampungnya.”
Baca Juga: Melihat Hukum di Indonesia yang Diciptakan Bukan untuk Perempuan
Anak perempuan berkonflik hukum juga harus terpenuhi hak-haknya, ini yang diperjuangkan oleh organisasi anak dan perempuan. Maka Zahrah Ayu menjelaskan, mereka harus memastikan jika anak perempuan akan mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Termasuk hak akses atas edukasi dan kesehatan reproduksi, yang secara spesifik diperlukan anak perempuan.
Menurutnya, meski saat ini ABH perempuan masih kerap ditempatkan bukan di LPKA, melainkan di Lapas perempuan, LPKA tetap berupaya memenuhi hak-hak anak perempuan tersebut.
Sementara itu, Gidion menyebut bahwa LPKA Kupang saat ini menurutnya telah mengakomodir pendampingan kerohanian hingga keterampilan bagi anak perempuan berkasus di sana. Mereka juga menyediakan blok terpisah bagi anak perempuan, tapi tetap memberikan waktu untuk berbaur dengan sesama ABH dan masyarakat luar dan memberikan pendampingan kerohanian.
Kata Gidion, ini demi menghentikan stigma negatif terhadap anak berkonflik hukum, terutama anak perempuan.
Sulitnya Mendapat Pekerjaan Setelah Keluar dari LPKA
Alif Amunawar, salah satu orang yang pernah tinggal di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) melontarkan keresahannya soal sulitnya dapat pekerjaan setelah dari Lapas.
“Apakah ada suatu kegiatan dari program pemerintahan bahwa orang-orang yang keluar dari LPKA bisa mendapatkan pekerjaan? Karena kan, stigma dari masyarakat itu, orang keluar dari LPKA itu pasti dia buruk.”
Arif khawatir mengenai stigma dan diskriminasi yang kerap dialami oleh anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) di lingkungan sosial, setelah mereka keluar dari lembaga pembinaan. Padahal, menurut Alif, LPKA justru membantu mereka untuk berubah menjadi lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Hal itu ia rasakan dan saksikan sendiri.
Dirinya merasakan betul di LPKA itu benar-benar banyak kegiatan positif. Namun menurutnya, banyak orang awam hanya melihat penjara itu buruk. Sementara itu tidak seburuk apa yang banyak dipikirkan.
“Banyak juga kok di LPKA, orang-orang yang tadinya nggak bisa mengaji, di luar hanya sekadar tahu dia siapa dan lain sebagainya, itu banyak,” ujar Alif. “Karena dia di LPKA, dia dibimbing. Dia jadi bisa belajar itu.”
Selain itu, anak-anak yang putus sekolah akibat kondisi ekonomi keluarganya, malah bisa mendapatkan pendidikan dengan mengambil paket B atau C di LPKA. Alif berharap anak-anak dari LPKA bisa mendapatkan kesempatan kedua di lingkungan masyarakat.
Anak Sebagai Kelompok Marjinal, Tindak Pidana Ada Faktor Penyebabnya
Anak termasuk ke dalam kelompok marjinal yang rentan mendapatkan diskriminasi, terutama anak yang berhadapan dengan hukum. Hal itu juga dibahas oleh Hario Danang Pambudhi, Research and Advocacy Officer Puskapa UI di acara yang sama.
“Kerentanan itu ada tiga aspek. Pertama, dari kondisi sosial ekonomi. Kondisi tersebut yang beragam, membuat anak kesulitan untuk menavigasi sistem peradilan,” kata Danang.
“Yang kedua, masalah dari responsibilitas sistem. Indonesia kan luas, nggak hanya di Jakarta, tapi juga berbagai macam daerah mungkin punya sistem yang bisa jadi beragam dan bisa jadi tidak responsif terhadap kebutuhan anak yang juga berbeda-beda.”
Terakhir, menurut Danang, identitas usia, gender, hingga kondisi disabilitas kerap menghambat anak saat masuk sistem peradilan pidana.
Giyanto, Ditjenpas Kemenkumham, menyebut bahwa perundang-undangan Indonesia sesungguhnya telah sejak lama ramah anak. Dalam cakupan anak berhadapan dengan hukum, anak tidak harus dipenjara. Ia bisa diserahkan ke lembaga sosial, menjadi ‘anak negara’, atau dikembalikan ke orang tua.
“Anak-anak pada dasarnya, dia melakukan sebuah tindak pidana, ada yang di luar kesadaran dia,” ucap Giyanto.
“Apakah itu karena faktor lingkungan kah, atau mungkin pergaulan kah? Atau kurang banyak makan di meja makan?”
Baca Juga: Saya Mengalami KDRT Karena Coming Out Orientasi Seksual
Perumpamaan dengan kebiasaan duduk di meja makan, lanjut Giyanto, berkaitan dengan keutuhan keluarga. Kebiasaan itu menjadi hal yang penting dalam hal menunjukkan kasih sayang dan kepedulian kepada anak. Giyanto mengatakan, beberapa anak yang menjadi pelaku atau berhadapan dengan hukum sebetulnya adalah korban pengabaian keluarga dan kurang kasih sayang.
“Atau jangan-jangan, bosan sekolah. Ia enggak minat bersekolah, capek,” kata Giyanto.
Pemaksaan rutinitas kegiatan pendidikan juga mempengaruhi sikap dan perilaku anak. Belum lagi pengaruh lingkungan di sekitarnya.
Hal itu diamini oleh Zahrah Ayu, usai acara. Pada kesempatan terpisah, Ayu mengungkapkan pandangannya mengenai lingkungan sosial yang justru jadi salah satu penyebab anak melakukan tindakan pidana dan berhadapan dengan hukum.
Menurut Ayu, anak-anak itu sebetulnya terbentuk dari lingkungannya. Anak-anak adalah hasil dari apa yang dibentuk oleh lingkungannya.
“Menurutku nggak ada anak yang salah. Yang salah adalah lingkungan tempat dia berkembang. Yang salah adalah bagaimana dia dibesarkan, kenapa sampai saat ini hak-hak dasar anak dan hal-hal yang penting jadi concern kita dalam membesarkan anak itu masih menjadi luput bagi orang dewasa?”
Harapan
Ayu mengingatkan, apa pun yang anak lakukan tentu bukan tanpa alasan. Oleh karena itu, anak berkonflik hukum jangan dijauhi, dikucilkan, atau serta-merta dicap buruk.
“Mereka butuh dampingan kita sebagai orang dewasa, sehingga mereka bisa jadi pribadi yang lebih baik,” ucap Ayu. “Juga bisa memutus rantai hal negatif yang mungkin diturunkan dari lingkungan.”
Timbul juga harapan agar ABH yang keluar dari LPKA dapat menjadi orang yang lebih baik dan berguna. Masyarakat sebaiknya menerima dan memberikan kesempatan kedua bagi anak, agar mereka tidak terjebak dalam siklus yang sama terus-menerus.
“Jangan langsung menilai buruk buat orang-orang yang baru keluar dari LPKA,” pesan Alif, menutup sesi diskusi pada hari itu.