Caleg Perempuan Dikalahkan Aturan, Tapi Kita Kurang Bersuara Kencang

Suara Caleg perempuan digoyang, tak ada Capres perempuan di pemilu 2024. Rasanya perempuan masih dipandang sebagai kelompok yang belum cukup representatif.

Pemilu 2024 kurang 3 bulan lagi, tapi hiruk pikuk dan carut-marutnya sudah sangat terasa dari sekarang.

Ini terutama ketika banyak orang menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang memudahkan anak Presiden Jokowi, bisa melenggang gampang dan bertarung sebagai Calon Wapres dalam kontestasi pemilu 2024 mendatang.

Banyak yang bereaksi kencang atas kondisi demokrasi buruk yang digerakkan presiden dan keluarganya ini.

Namun pernahkah terbersit dalam pikiran kamu, mengapa kita seperti kurang bereaksi “kencang” bahkan “kasar” jika kita melihat masalah yang muncul terkait representasi perempuan Indonesia dalam politik? 

Kencang atau kasar di sini sebenarnya terkait dengan keseriusan kita memandang representasi perempuan dalam politik di Indonesia, karena masih ada kesan bahwa perempuan dipandang belum cukup representatif secara politik. 

Tengok saja fakta sekarang bahwa calon presiden dan wakil presiden tidak satu pun mengusung perempuan. Padahal, banyak politisi-politisi perempuan Indonesia yang nampaknya mampu bersaing dengan para politisi laki-laki, termasuk yang senior.

Keputusan MK di atas, jika sebenarnya dapat digunakan secara bijaksana, dapat menyasar kepada para pemimpin perempuan di bawah 40 yang juga berperan sebagai kepala daerah untuk dapat melahirkan calon-calon pemimpin perempuan yang dapat berperan dengan signifikan.

Jauh sebelum ada keputusan MK tersebut, Indonesia telah meratifikasi Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam UU no. 7/1984 terkait Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dengan memuat perlindungan hak politik perempuan.

Ini tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8, yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemerintahan dan juga hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Pun, kita telah mengafirmasi kedudukan perempuan dalam ranah politik, seperti dielaborasi khususnya representasinya dalam legislatif. 

Baca Juga: Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

Mengutip Ignatius Mulyono, Ketua Badan Legislasi DPR RI tahun 2020 silam, representasi politik perempuan dalam legislatif telah mengalami peningkatan sejak dimulai pada Pemilu 1999 sebesar 9%, Pemilu 2004 sebesar 11,8%, serta Pemilu 2009 sebesar 18%. Melansir dari laman DPR, pada periode 2014-2019, total anggota DPR perempuan berjumlah 17 persen. Namun pada periode 2019-2024, jumlah tersebut meningkat menjadi sekitar 21 persen

Sementara itu, polemik terkait jumlah representasi perempuan dalam legislatif pernah muncul dan menjadi perdebatan terkait jumlah yang harus diakomodasi. 

Munculnya Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) No. 10 Tahun 2023 Tentang Keterwakilan Perempuan Dalam Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota pada Pemilu 2024 menggambarkan jumlah pembulatan ke bawah jika terjadi angka desimal di bawah 50 persen. 

Hal ini jelas berlawanan dengan ketentuan sebelumnya, yaitu terkait pengaturan Pemilu 2019, menyoal Pasal 6 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 yang mengatur penghitungan 30 persen jumlah bakal caleg perempuan di setiap Dapil. 

Jika menghasilkan angka pecahan, maka dilakukan pembulatan ke atas (DPR RI). Terjadi kekhawatiran jika aturan terbaru diberlakukan, maka jumlah representasi perempuan dalam legislasi akan mengalami penggerusan, yang berarti berdampak pada setiap keputusan atau kebijakan politik yang dapat memihak kepentingan perempuan.

Ironi Pemenuhan Representasi Perempuan

Kualitas tata kelola pemerintahan yang baik pasti akan mempertimbangkan sikap publik terkait representasi perempuan yang semakin imbang dan meningkat dalam lingkup perpolitikan. 

Khususnya di negara-negara dengan kualitas tata kelola yang baik, mereka sudah memiliki warga negara yang sudah lebih yakin terkait kapasitas politik negaranya, kebijakan-kebijakan politik untuk publik, serta kuota terkait representasi gender secara umum dalam politik, dalam hal ini perempuan. 

Barnes and Cordova, dikutip dari European Political Science Review, menjelaskan dalam negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang baik, mereka merasa lebih yakin terkait stabilitas dari institusi-institusi politik, terutama ketika menghadapi keseimbangan gender dalam representasi politik. Hal ini akan berdampak pada sikap warga negaranya yang jauh lebih suportif untuk mendukung jumlah perempuan yang lebih besar dalam politik.

Lebih jauh lagi, keterlibatan lebih banyak representasi perempuan dalam politik dapat menantang struktur politik yang sudah lama terbentuk. Struktur politik itu didominasi laki-laki di dalamnya. Serta perlu juga bagi kita mengkritisi proses pengambilan keputusan yang sudah sejak lama tidak mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan perempuan (Asiedu, Branstette, Babulal,dan Malokele). 

Baca Juga: Gimana Nasib Perempuan di Pemilu 2024? Kita Hanya Lihat Barisan Bapak-bapak Politisi sampai Politik Dinasti

Representasi perempuan dalam politik merupakan hak asasi manusia. Ini juga merupakan hak perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan untuk masalah-masalah publik dan pemerintahan (Steiner, 1988; Bunch 1990). 

Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, perkara ini seperti masih menjadi hambatan. Terutama ketika hal ini nampaknya berasal dari pihak otoritas penyelenggara Pemilu dan legislatif sendiri. Ini terkait dengan hal pembulatan ke bawah jumlah representasi perempuan di politik seperti yang dibahas di atas. 

Melansir dari BBC, masalah ini belum kunjung terselesaikan karena walaupun Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjanji akan merevisi aturan tersebut, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Terutama ketika dalam dengar pendapat dengan DPR, ternyata ditemukan fakta bahwa telah terjadi kesepakatan aturan tersebut tidak akan direvisi. 

Jelas hal ini mengkhawatirkan. Mike Verawati, Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik, menengarai bahwa keterwakilan perempuan sebesar 30 % dianggap sebagai beban. Celakanya, penyelenggara pemilu dianggap tunduk kepada kepentingan partai.

Kuota Politik dan Signifikansi

Terkait partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia, representasi perempuan dalam politik akan memudahkan pencapaian kebijakan publik yang ramah terhadap kepentingan perempuan. 

Hal ini dapat memutus pelabelan dan stereotip yang sudah membudaya di Indonesia. Ini dikarenakan, perempuan di sini selalu dikaitkan dengan peran domestik di rumahan dan sebaliknya. Dunia politik dianggap hal maskulin yang selalu didominasi perannya oleh laki-laki. 

Kebijakan afirmasi terkait peningkatan kuota perempuan dalam politik sudah dijalankan walaupun masih terdapat hambatan.

Pada akhirnya kita akan melihat bagaimana induksi perempuan dalam signifikansinya terkait kebijakan publik. Ini dampaknya dapat mendukung kepentingan perempuan. Kita masih mengingat betapa jalan panjang dialami terkait pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi UU membutuhkan 10 tahun. Pengesahannya penuh berbagai polemik. Salah satunya secara politik RUU ini dilansir akan melanggengkan perzinaan dan LGBT.

Baca Juga: Menggerutu Lihat CATAHU 2023, Bukti Nyata UU TPKS Belum Efektif Terlaksana

Sementara kasus kekerasan seksual sudah sangat darurat penyelesaiannya, dan pada akhirnya kekuatan perempuan yang diwakili tidak hanya dari legislatif, namun elemen perempuan lainnya, seperti Komnas Perempuan, Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia hingga para aktivis perempuan, menurut Tyas Retno Wulan, Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman, mengutip dari BBC. 

Sementara itu, jalan panjang menuju pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah digulirkan selama 19 tahun. Namun, malah menemui penundaan pengesahan berdasarkan perlunya pendalaman situasi kondisi. Serta belum tepat diagendakan dalam rapat Badan Musyawarah. Hal ini bahkan dikatakan sendiri oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, dilansir dari inews.id. 

Sejatinya, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di DPR, Puan seharusnya dapat punya kekuatan lebih. Yaitu, untuk dapat mendorong RUU ini menjadi salah satu prioritas untuk disahkan. Terutama kepentingannya sudah jelas. Yaitu perlindungan bagi pekerja rumah tangga, yang didominasi oleh perempuan. 

Baca Juga: Puan Maharani Dalam Pusaran RUU PPRT

Di sini pula yang mesti dilihat adalah bagaimana persentase anggota komisi laki-laki dan perempuan di DPR yang membahas masalah ini. Apakah masih merupakan dominasi laki-laki sehingga suara anggota komisi perempuan menjadi buntu untuk didengar?

Pemilu 2024 sudah di depan mata. Jangan sampai keterwakilan perempuan di politik dipertanyakan ulang. 

Kita sudah melihat calon legislatif perempuan mulai berkampanye. Foto-foto mereka sudah terpampang di mana-mana. Sekarang yang dilihat adalah kekuatan representasi mereka, sehingga dapat memuluskan perjuangan terkait isu perempuan.

Supaya hasilnya dapat terlihat secara nyata lewat keputusan dan kebijakan publik yang mendorong pemberdayaan perempuan. Serta berani untuk mematahkan sistem politik yang cenderung dikuasai laki-laki. Sehingga, semakin banyak jumlah politisi perempuan pada Pemilu 2024. Semoga dapat dimanfaatkan oleh para perempuan untuk dapat lebih bersuara dan berdaya di ranah politik.

Fanny S Alam

Alumni of Australia Awards for Indonesia 2020, Alumni of IVLP US Dept. of State Program 2020, Regional Coordinator of Bandung School of Peace Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!