Dunia Kedokteran Terlambat Meneliti Tubuh Perempuan, Apa Dampaknya?

Penelitian di dunia kedokteran masih mengandalkan laki-laki sebagai subjek. Sementara, ada keterlambatan dalam meneliti kesehatan perempuan, meski kondisi fisiologis perempuan dan laki-laki berbeda.

Kamu perempuan dan pernah bingung memikirkan kenapa banyak sistem dan pelayanan kesehatan belum ramah untuk perempuan? Ada penjelasan yang menarik tentang hal ini.

Rinke van den Brink, redaktur Kesehatan NOS, menjabarkan perbedaan kesehatan laki-laki dan perempuan. Menurutnya, masih terdapat kekurangan pengetahuan yang signifikan mengenai hal itu.

“Sistem layanan kesehatan saat ini belum cukup menyesuaikan dengan karakteristik khusus tubuh perempuan,” tulis Rinke. “Hal ini menyebabkan diagnosis yang salah, pengobatan yang tidak bekerja, dan biaya yang lebih tinggi.”

Menteri Schippers di Belanda pun diperkenalkan dengan Agenda Pengetahuan yang secara rinci memetakan apa yang diketahui tentang perbedaan laki-laki dan perempuan dalam dunia kesehatan. Titik-titik kosong yang masih perlu diisi melalui penelitian juga dibahas dalam agenda tersebut.

Ternyata, sebagian besar penelitian kesehatan dan fisiologi lebih banyak dilakukan pada laki-laki. Baru berpuluh-puluh tahun kemudian, perempuan mulai menjadi subjek penelitian medis. Padahal, melansir The Conversation, perempuan dan anak perempuan menyumbang 50% dari populasi.

Hal ini terutama terjadi pada penelitian dasar untuk pengetahuan sebelum penerapan, serta penelitian praklinis pada hewan. Jenis penelitian ini sering kali hanya fokus pada manusia laki-laki, hewan, dan bahkan sel.

Perempuan Terlambat Diteliti karena ‘Rumit’

Lantas, kenapa bisa perempuan sampai terlambat menjadi subjek penelitian dalam dunia kedokteran?

Severine Lamon dan Olivia Knowles dalam tulisan mereka di The Conversation menyebut, alasannya adalah karena perempuan merupakan organisme model yang lebih ‘rumit’ ketimbang laki-laki.

Secara keseluruhan, hal ini membuat penelitian perempuan lebih memakan waktu dan mahal. Namun ini justru masalah yang penting untuk menjadi perhatian. Sebab laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan secara fisiologis—maka tindakan medis bagi laki-laki tidak bisa serta-merta diterapkan pula pada perempuan. Sayangnya, itulah yang masih terjadi hingga saat ini.

Ilmu Kedokteran yang Bias Gender Merugikan Perempuan

Ada beberapa temuan kesehatan yang berkaitan dengan perempuan serta ketimpangan pengetahuan dengan kesehatan laki-laki. Salah satunya terkait perempuan hidup 3,6 tahun lebih lama daripada laki-laki. 

Tapi, lebih memungkinkan fisiologis terkait dengan siklus menstruasi. Akibatnya, pemahaman mengenai respons tubuh terhadap stimulus eksternal, seperti mengkonsumsi obat atau melakukan jenis latihan tertentu, datang terlambat.

Tidak hanya itu, perempuan juga mengalami menopause sekitar usia 50 tahun. Ada perubahan fisiologis lain yang secara mendasar mempengaruhi cara tubuh berfungsi dan beradaptasi.

Bahkan ketika penelitian dengan subjek perempuan dilakukan dengan benar, temuan tersebut mungkin tidak berlaku untuk semua perempuan. Dalam konteks yang lebih inklusif, salah satu pengaruhnya identitasnya sebagai cisgender atau tidak, sesuai gender yang ditetapkan.kecanduan zat dan mengalami kematian akibat kanker.

Harapan hidup sehat perempuan pun lebih pendek satu tahun lebih, dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan cenderung mengalami penyakit kronis lebih dari enam tahun lebih awal daripada laki-laki, dan mengalami keterbatasan fisik enam bulan lebih awal daripada laki-laki.

Kemudian, jika mencakup angka untuk kehamilan dan persalinan, jumlah rawat inap untuk perempuan lebih tinggi sebanyak sepuluh persen.

Perempuan lebih sering mengunjungi dokter dan mengonsumsi lebih banyak obat. Ironisnya, obat-obatan ini justru pertama kali diujikan pada laki-laki sehat. Perbedaan gender dan kondisi fisiologis menyebabkan obat-obatan tersebut memberikan lebih banyak efek samping pada perempuan.

Baca Juga: Aktivis Kecam UU Kesehatan: Tidak Transparan, Abaikan Kelompok Rentan

“Lebih sulit untuk menguji obat pada perempuan karena tingkat hormon yang bervariasi akibat siklus menstruasi mereka,” ungkap Rinke.

Perempuan juga lebih rentan absen karena sakit dan memiliki risiko disabilitas lebih tinggi, begitu pula dengan risiko penyakit kardiovaskular. Berbagai gangguan psikologis juga lebih umum terjadi pada perempuan.

Perempuan mungkin menderita migrain atau sakit kepala parah dua kali lebih parah ketimbang laki-laki. Tidak hanya itu, perempuan lebih sering mengalami tekanan darah tinggi, dan jauh lebih sering mengalami gangguan pada lutut atau pinggul.

Kita tahu betul bagaimana perempuan juga sangat rentan mengalami kekerasan. Penelitian menunjukkan, perempuan lima kali lebih mungkin mengalami kekerasan oleh pasangan (mantan) mereka. Rinke dalam artikelnya menyebut, persentasenya adalah 11,8 persen perempuan dibandingkan dengan 2,3 persen laki-laki. Perempuan juga jelas lebih sering menjadi korban kejahatan seksual serta pelecehan dan ancaman lainnya.

Di sisi lain, justru perempuanlah yang kerap harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk kesehatan. Dari total anggaran belanja, sebesar 55,2 persen bisa habis untuk kesehatan perempuan.

Kesehatan adalah Hak Semua Orang

Faktor kerumitan hingga biaya lebih yang diperlukan untuk penelitian tentang kesehatan perempuan, mestinya tidak lantas membuat kesehatan perempuan dinomorduakan. Apa lagi dengan menggeneralisir penelitian yang dilakukan hanya kepada laki-laki dan diterapkan kepada semua orang, sehingga perempuan justru terdampak buruk olehnya.

Penelitian kedokteran diperlukan semua orang dan berlaku untuk semua orang. Kabar baiknya, organisasi penelitian medis internasional kini mulai mengakui hal ini.

Dunia kedokteran bisa mulai meneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berperspektif gender. Seperti, apakah fenomena yang diteliti dipengaruhi oleh hormon perempuan? Atau, apakah semua perempuan menggunakan kontrasepsi yang sama? Kalau tidak, pada hari berapa siklus menstruasi sebaiknya diadakan pengujian pada peserta untuk hasil yang lebih akurat?

Penting untuk menghilangkan bias gender dalam dunia kedokteran dan industri kesehatan. Ini agar para profesional kesehatan dapat memberikan perawatan yang tidak diskriminatif dan sesuai dengan kebutuhan kesehatan individu, terlepas dari jenis kelamin mereka.

Kita juga perlu mendorong akses yang merata terhadap layanan kesehatan. Termasuk pemeriksaan kesehatan yang terkait dengan gender. Seperti pemeriksaan payudara dan panggul, yang dapat membantu dalam mendeteksi dan mencegah penyakit secara dini pada populasi perempuan.

Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif terhadap perbedaan gender dalam dunia kedokteran dan akses kesehatan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan responsif terhadap kebutuhan kesehatan dari semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!