David Beckham saat masih kecil. (Sumber foto: Instagram @davidbeckham)

Film Dokumenter David Beckham Kisahkan Bagaimana Orang Tua Mengontrol Anak dalam Olahraga

Film dokumenter David Beckham menunjukkan---juga tidak menunjukkan---bagaimana orang tua punya kontrol atas anak dalam olahraga.

Dalam film dokumenter Netflix, pesepakbola David Beckham ditanya bagaimana ia mengatasi caci maki dan kekerasan masyarakat Inggris yang ditujukan padanya setelah Piala Dunia 1998. Ia menjawab:

Saya mampu menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh para penggemar […] karena perlakuan ayah saya terhadap saya.

Sebuah adegan mengharukan menunjukkan ibu David, Sandra, berjuang dengan betapa kerasnya ayah David, Ted, terhadap putra mereka. Teriakan Ted kerap membuat David menangis.

Ketika ditanya apakah dia terlalu keras pada David, Ted berkata:

Tidak […] jika saya memberi tahunya kalau dia sudah bagus, dia tidak akan berkembang.

Sepanjang film dokumenter, perilaku Ted dianggap normal oleh Ted dan bahkan David Beckham sendiri, sebagai hal yang diperlukan untuk mendukung perjalanan karir olahraga David. Namun, David juga mengatakan dia takut terhadap masukan ayahnya sehingga merasa terdorong untuk berlatih berjam-jam setiap hari.

Atlet lain dengan cerita serupa termasuk atlet golf Tiger Woods, petenis Andre Agassi dan atlet tenis asal Australia, Jelena Dokic.

Seringnya, kontrol orang tua digambarkan sebagai hal yang diperlukan atlet untuk sukses. Namun, bukti menunjukkan gagasan ini salah. Faktanya, pendekatan seperti itu dapat merugikan peluang anak untuk sukses dalam olahraga dan wellbeing-nya.

Dan ini bukan hanya masalah olahraga elit. Penelitian kami menunjukkan hal ini juga terjadi pada olahraga komunitas.

Temuan kami

Dalam penelitian yang kami lakukan, satu dari tiga orang yang kami survei mengatakan bahwa mereka pernah mengalami kekerasan oleh orang tua selama mengikuti olahraga komunitas di Australia.

Kekerasan psikologis yang dilakukan oleh orang tua dilaporkan oleh kurang dari sepertiga responden kami, dan mencakup perilaku seperti:

  • kritik berlebihan
  • ejekan dan penghinaan
  • latihan berlebihan hingga kelelahan/muntah
  • mengabaikan anak setelah pertandingan.

Perilaku mengontrol dan kekerasan yang dijelaskan di atas telah dinormalisasi secara konsisten oleh orang tua, pelatih, dan organisasi olahraga sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menciptakan atlet yang “tangguh secara mental” dan siap menghadapi kompetisi tingkat tinggi.

Namun, tidak ada bukti bahwa perilaku kasar dan suka mengontrol berdampak positif terhadap performa olahraga.

Baca Juga: Piala Dunia U-20: Kenapa Sepakbola Indonesia Lekat Sama Politik?

Sebaliknya, ada banyak bukti yang menunjukkan hal ini:

  • merusak rasa percaya diri dan harga diri anak
  • meningkatkan kecemasan terhadap persaingan
  • menyebabkan anak meninggalkan olahraga
  • dikaitkan dengan depresi dan kecemasan.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika orang dewasa dalam olahraga komunitas menggunakan “pendekatan yang mendukung otonomi” – yang berarti generasi muda diberdayakan untuk membuat keputusan sendiri dan perasaannya diakui – anak-anak dapat lebih termotivasi.

Sebuah eksperimen di Olimpiade 2012 menemukan bahwa pelatih dengan pendekatan yang lebih suportif meraih perolehan medali lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

Sebagian besar bukti ini berfokus pada pembinaan, tapi mengingat banyak orang tua bertindak sebagai pelatih bagi anak-anak mereka, temuan ini tetap relevan.

Jadikan pengalaman sebagai yang utama

Tidak ada bukti bahwa praktik pengendalian atau kekerasan meningkatkan performa anak dalam olahraga. Bahkan kalaupun ada, performa olahraga tidak boleh dianggap lebih penting daripada kesehatan dan wellbeing anak.

Perilaku ini tidak akan ditoleransi di lingkungan yang berbeda, seperti tempat kerja atau sekolah. Sehingga sudah saatnya dihilangkan dalam dunia olahraga ini.

Bagaimana langkah selanjutnya?

Sistem olahraga itu rumit, dan meskipun mudah untuk berpikir bahwa hanya segelintir orang yang bermasalah, praktik-praktik ini kenyataannya telah dinormalisasi dari generasi ke generasi.

Orang tua mengulangi pola dari pengalaman mereka sendiri dan mencerminkan praktik yang mereka anggap normal dalam olahraga elit.

Tidak ada cara cepat untuk memperbaiki hal ini. Namun, kita semua dapat berperan dengan merefleksikan perilaku kita sendiri dan mempertimbangkan bagaimana kita dapat memprioritaskan pengalaman dan wellbeing anak-anak.

Orang tua harus mempriotaskan bagaimana anak-anak bisa menikmati olah raga, mempelajari keterampilan baru, menikmati momen, dan menjadi bagian dari tim sehingga anak-anak mereka dapat memperoleh hasil maksimal dari permainan yang mereka sukai.

Meskipun David Beckham sendiri mengatakan bahwa semua proses yang dia alami itu sepadan, bukti menunjukkan bahwa dia sukses bukan karena mendapatkan tekanan tinggi di lingkungan rumahnya, tapi karena kehebatannya untuk tetap bisa sukses terlepas dari adanya tekanan tersebut.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Mary Woessner, Alexandra Parker, dan Aurélie Pankowiak

Lecturer in Clinical Exercise and Research Fellow, Institute for Health and Sport (iHeS), Victoria University, Victoria University | Executive Director of the Institute for Health and Sport, Professor of Physical Activity and Mental Health, Victoria University | Research Fellow, Institute for Health and Sport, Victoria University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!