Rasanya obsesi society atau masyarakat yang terobsesi mengatur baju atau pakaian perempuan sudah sangat keterlaluan.
Ini menjadikan perempuan mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan terus di berbagai belahan dunia.
Perempuan yang berpakaian openly manner di negara yang hidup berdampingan dengan nilai-nilai keagamaan. Mereka rentan menjadi sasaran persekusi. Begitu pula perempuan yang tinggal di negara non sekuler dilarang untuk berpakaian yang mengandung simbol-simbol keagamaan.Â
Catatan Paw Research tahun 2020 berjudul âWomen in many countries face harassment for clothing deemed too religious â or too secularâ menyatakan bahwa perempuan di 56 negara menjadi korban permusuhan sosial. Hal itu mengarah pada penggunaan kekerasan, baik verbal maupun fisik, termasuk pembunuhan, yang dilatarbelakangi oleh pilihan pakaian.Â
Sementara 61 negara lainnya melarang perempuan untuk menggunakan pakaian tertentu, termasuk penutup kepala. Artinya, tidak ada pakaian yang benar-benar bebas dari prejudice selama itu digunakan oleh perempuan. Betapa menyedihkannya.Â
Baru-baru ini, beredar video di lini masa tentang perempuan hamil yang difoto dan direkam tanpa izin kemudian marah kepada si perekam. Diduga, ia dicemooh lantaran mengenakan pakaian yang digunakan. Biasanya yang menggunjingkan ini kebanyakan adalah mereka yang maskulin, bisa laki-laki dan perempuan. Tapi mirisnya, yang merekam dan menggunjingkannya di percakapan grup adalah sesama perempuan.
Tentu saja tidak ada pembenaran dari merekam orang lain secara diam-diam dan tanpa izin. Tapi sedih sekali menyadari bahwa sesama perempuan pun punya kans yang sama besarnya untuk melakukan penghakiman pada perempuan lain.Â
Padahal, sebagai kelompok rentan terhadap diskriminasi dan kekerasan, memberikan ruang aman seluas-luasnya bagi perempuan untuk berdaulat atas tubuhnya sendiri amatlah penting.
Pakai Pakaian Terbuka Dicap Salah, Prasangka Sosial dan Politik Tubuh
Hapsari Dwiningtyas Sulistyani dalam jurnal penelitiannya âWomen, Fashion and Social Prejudiceâ menyebut bahwa pakaian perempuan seringkali menjadi sumber prasangka. Hal itu digunakan sebagai pembenaran atas persekusi, pelecehan dan kekerasan seksual pada perempuan.Â
Penelitian yang dilakukan oleh Mariela E. JaffĂ© et al dalam jurnal âYou should go for diversity, but Iâd rather stay with similar others: Social distance modulates the preference for diversityâ menyimpulkan bahwa manusia menyadari pentingnya menghormati keberagaman secara umum. Namun, dalam hal interaksi yang lebih engaging diperlukan, manusia cenderung memilih untuk berinteraksi dengan orang-orang yang serupa atau homogen.Â
Hasil penelitian Hapsari kemudian menemukan bahwa mayoritas responden penelitiannya memberikan tanggapan negatif terhadap perempuan yang berpakaian terbuka. Ini sejalan dengan simpulan Mariela et al.
Besarnya prasangka dan bias sosial yang mengintervensi kendali perempuan atas ekspresi ketubuhannya. Ini berpengaruh pada seberapa besar keinginan seseorang untuk membangun interaksi sosial dengan perempuan yang berpakaian exposing body.Â
Prasangka negatif yang didasarkan pada pilihan pakaian perempuan melahirkan stereotype yang berpengaruh pada perspektif mereka memandang orang lain.Â
Baca Juga: Pakaian Perempuan Diatur Dari Masa ke Masa: Stop Pengaturan
Perempuan masih menjadi sasaran utama atas labelling berkonotasi buruk hanya karena pakaiannya tidak sama dengan pilihan mayoritas. Hal ini didukung dengan kecenderungan orang untuk mengasosiasikan pakaian perempuan dengan nilai moral, spiritual bahkan faktor terjadinya kekerasan seksual.
Budaya penghakiman ini sangat tidak adil bahkan sejak dalam pikiran. Ini dikarenakan keinginan untuk menyeragamkan perempuan menabrak jalur-jalur damai tentang jaminan atas hak dasar manusia.
Maraknya penghakiman atas pilihan pakaian perempuan bukan terjadi baru-baru ini. Tapi, sudah melalui sejarah panjang yang penuh dengan opresi. Disadari atau tidak, perkembangan pakaian perempuan dan segudang aturannya bertalian erat dengan situasi politik dan konstruksi sosial di suatu negara.Â
Mengutip pendapat sejarawan University of Michigan, Charley Sullivan dalam disertasinya yang berjudul âYears of Dressing Dangerously: Modern Women, National Identity, and Moral Crisis in Sukarnoâs Indonesia, 1945-1966â, pada masa pasca kemerdekaan, kain batik dan kebaya menjadi simbol modernitas dan kebanggan kultural. Namun jangan salah, perempuan di masa ini dibebani âtugasâ untuk menampilkan statement politik anti-kolonialisme dan imperialisme.
Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, tubuh perempuan yang berbalut kain nusantara dicitrakan sebagai bentuk perlawanan pada hegemoni budaya barat, khususnya Amerika Serikat.
Ketika tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Presiden Soeharto, tubuh perempuan dan pakaian apa yang boleh dikenakannya terikat erat dengan citra perempuan âidealâ dengan segala keterbatasannya.Â
Baca Juga: Mitos, Perempuan dengan Baju Terbuka Adalah Perempuan yang Merangsang Pelecehan Seksual
Orde Baru me-redefinisikan peran dan image perempuan seiring diperkenalkannya ideologi ibuisme. Penggunaan jilbab sangat dilarang pada masa ini karena dianggap bagian dari ekstrimisme beragama. Orde Baru yang mengopresi kebebasan berbicara dan berpendapat memang mereduksi berbagai peran perempuan, termasuk gaya berpakaian.
Belenggu pelarangan jilbab berakhir manakala kejayaan Orde Baru runtuh. Pada masa reformasi, perempuan lebih leluasa untuk berjilbab dan memilih pakaiannya sendiri.
Namun, seiring dengan meningkatnya konservatisme Islam di Indonesia, jilbab yang tadinya merupakan pilihan yang bebas bagi perempuan muslim mulai bergeser menjadi kewajiban. Perempuan lagi-lagi kehilangan haknya untuk memilih apapun yang melekat di tubuhnya karena besarnya stigma yang mungkin diterima.
Apabila pada tahun 1980an penggunaan jilbab dianggap sebagai simbol perlawanan atas pelarangan jilbab yang digencarkan oleh pemerintah Orde Baru, situasi kontras justru ditampilkan saat ini manakala pemaksaan jilbab bagi perempuan semakin masif dilakukan.
Laporan Human Right Watch berjudul âAku Ingin Lari Jauhâ merekam fenomena pemaksaan jilbab bagi siswi sekolah dan pegawai pemerintahan, baik itu perempuan muslim maupun bukan, yang dilegitimasi oleh peraturan daerah yang menerapkan syariat islam. Tidak ada penghormatan atas keberagaman dan kebebasan perempuan dalam berpakaian yang sekaligus memberi ruang bagi tindakan persekusi, diskriminasi dan penggunaan kekerasan.
Jangan lupa bahwa segala prasangka dan labelling negatif yang ditujukan kepada pakaian perempuan dapat berakhir sebagai kejahatan serius.
Di Iran, kematian Mahsa Amini, seorang perempuan yang disiksa oleh polisi moral karena melanggar aturan jilbab yang diskriminatif. Kemudian menuai protes besar-besaran dari perempuan-perempuan Iran yang terbelenggu sekian lama. Kematiannya merupakan satu dari sekian banyak penyiksaan dan pembunuhan pada perempuan atas nama kehormatan.
Baca Juga: Peringatan Setahun Kematian Mahsa Amini di Iran, Aktivis Ditangkap dan Keluarga Ditekan
Penggunaan kekerasan berlebihan, termasuk perkosaan, dan honor killing pada banyak perempuan karena jilbab dan pakaian masih terus terjadi terutama di negara-negara di Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan.
Keyakinan yang dipegang oleh masyarakat patriarki yang menempatkan kehormatan sebagai basis kedudukan sosial, membuat honor killing tidak dianggap sebagai kejahatan, melainkan hal yang biasa dilakukan untuk mengembalikan honor dan status sosial keluarga. Penghilangan nyawa seseorang jelas merupakan pelanggaran hak hidup dan sungguh menyesakkan bagaimana perempuan diopresi sedemikian berat hari demi hari hanya karena memilih pakaian yang ia suka.
Masyarakat harus berhenti mengatur pakaian perempuan. Aturan diskriminatif yang dipaksakan hanya menghadirkan lebih banyak harassment dan penghakiman massal, disamping meminggirkan kebebasan perempuan atas tubuhnya sendiri.
Menghadirkan ruang aman bagi perempuan dapat dimulai dengan berhenti memaksakan kehendak personal dan mulai belajar menghormati pilihan orang lain atas tubuhnya sendiri.