(Sukarti (60), perempuan yang tinggal di bawah kolong jembatan Soekarno Hatta, Semarang/Dok. Pribadi Farras Pradana)

‘Tertindas Nasib’ Ceritaku Datangi Kehidupan Kolong Jembatan di Semarang

“Yang penting aku diberi sehat. Aku miskin nggak papa, yang penting sehat. Mati, dunia tidak dibawa. Yang penting sehat, mulutnya mau makan. Yang aku minta seperti itu, nggak ada halangan apa pun.”

“Ketindes Dening Nasip”

Sebaris tulisan berbahasa Jawa—dengan kesalahan ejaan—bercat putih yang mulai pudar oleh waktu, asap, dan debu terpampang di tembok salah satu kolong jembatan di Semarang. 

(Coretan ‘Ketindes Dening Nasip’ di kolong jembatan di Semarang/Dok.Pribadi Farras Pradana)
(Coretan ‘Ketindes Dening Nasip’ di kolong jembatan di Semarang/Dok.Pribadi Farras Pradana)

Secara harfiah tulisan itu berarti berarti ‘Tertindas oleh Nasib’. Ini bisa bermakna sebagai sebuah nasib malang yang mesti diterima. Semacam realitas yang kupikir sedikit banyak menggambarkan nasib manusia-manusia yang hidup di bawah kolong jembatan ini. 

Semarang sedang panas-panasnya pada pukul setengah satu siang, Kamis (7/9/2023). Saat aku mulai menyusuri sepanjang kolong jembatan yang ada di Jl. Soekarno-Hatta, Semarang itu. 

Aku melipir di pinggir barat sungai Banjir Kanal Timur dan sebelah timur Jl Barito. Kala itulah, aku menjumpai seorang perempuan paruh baya, Sukarti (60). Nenek Sukarti dan keluarganya hidup di bawah kolong jembatan Jl. Soekarno-Hatta, Semarang itu. 

Tak ada dinding rapat yang menutupi tempat tinggal Sukarti. Dia beralaskan tanah dan beratapkan kolong jembatan dengan sekeliling yang terbuka. Semua ‘harta benda’ berupa perabotan rumah pun terpampang. Ada dua dipan dari kayu-kayu bekas dan sebuah kasur yang sudah lapuk.

Baca Juga: ‘Mereka Menginterogasi dan Membotaki Kepalaku’ Hukum Tak Adil bagi Warga Miskin Kota
(Sukarti (60), perempuan yang tinggal di bawah kolong jembatan Soekarno Hatta, Semarang/Dok. Pribadi Farras Pradana)
(Sukarti (60), perempuan yang tinggal di bawah kolong jembatan Soekarno Hatta, Semarang/Dok. Pribadi Farras Pradana)

Kondisi tempat tinggal Sukarti itu, bisa dilihat siapapun yang lewat sekitar jembatan itu. Meskipun, hanya satu sisi jalan, karena satu sisi lainnya berada di balik tiang jembatan. Sehingga tak bisa mudah terlihat. 

Di balik tiang jembatan yang tak terlihat jalan itu, Sukarti menaruh lemari kayu berisikan pakaian-pakaian di dalamnya. Ada pula dua tong besar plastik yang berguna menampung air, meja untuk menaruh perabotan, dan sebuah kompor gas dua tungku serta gas melonnya. Di sekitarnya ada perabotan dapur seperti panci, wajan, gelas, sendok, piring, termos, baskom, dan lainnya. 

Salah satu ruangan tempatnya tinggal yang bersekat semi permanen adalah kamar mandi. Mirip seperti bilik kecil yang terbuat dari kayu bekas dan tripleks. 

Sementara tak jauh dari situ, tampak pula gerobak angkringan beserta kursi-kursi panjang, yang selama ini membantunya mencari nafkah. 

Di tempat Sukarti tinggal itu, ada juga yang tidak terlihat dari pinggir jalan. Ia terletak di balik tembok tanggul sungai Banjir Kanal Timur. Ini bisa disebut sebagai lantai dua, karena untuk melihatnya saya harus naik tangga kayu menaiki tembok setinggi kurang lebih dua meter. 

Kemudian, saya dapati dua bilik dari kayu dan tripleks bekas yang menapak tanah, satu bilik dibuat di atas sela-sela rangka jembatan bagian bawah—yang harus naik dengan tangga, kandang-kandang ayam, dan tiga buah kasur di tempat terbuka. Di lantai dua ini, sampah-sampah plastik berserakan dengan jumlah yang banyak, mungkin terbawa saat sungai Banjir Kanal Timur meluap.

(Tangga kayu untuk naik ke “lantai 2” tempat tinggal Sukarti/Dok. Pribadi Farras Pradana)
(Tangga kayu untuk naik ke “lantai 2” tempat tinggal Sukarti di kolong jembatan/Dok. Pribadi Farras Pradana) 
Kehidupan di Kolong Jembatan

Sukarti asli berasal dari Semarang. Walau dia sudah tua secara usia, tetapi semangat dan kesegarannya masih terpancar. Paling tidak, ketika dia bercerita tentang kehidupan dirinya dan keluarganya di kolong jembatan.

Duduk di tempat tidurnya yang jaraknya dua langkah dari gerobak angkringannya, dia memulai kisahnya.

Awal mula Sukarti berjualan di angkringan adalah dari ibunya. Selama 40 tahun, ibunya kala itu berjualan angkringan, mengais rezeki di bawah jembatan. Sementara, Sukarti masih bekerja di pabrik pembuatan minyak urang-aring. 

Seiring waktu, ibu Sukarti semakin menua dan tidak kuat lagi berjualan. Maka, ibunya menyuruhnya untuk menggantikannya berjualan. Terlebih, Sukarti juga sudah menikah pada tahun 1984.

Usai tak berjualan, ibunya kembali ke rumah mereka di Tambak Dalam—tidak jauh dari kolong jembatan Sukarno-Hatta. Rumah orang tuanya itu kemudian diwariskan ke dirinya dan saudara-saudaranya. Setelah pembagian waris, Sukarti mendapatkan Rp 15 juta dari itu. 

Sejak tahun 1984 hingga sekarang, Sukarti mulai berjualan angkringan sekaligus memulai kehidupan rumah tangga di kolong jembatan. Dia tinggal dan berjualan di bawah kendaraan-kendaraan yang melintas di atas kepalanya. Lalu, beranak-pinak.

Sukarti memiliki satu putra, bernama Asep, hasil perkawinannya dengan sang suami. Putranya itu kini sudah menikah dan memberinya dua cucu, laki-laki dan sulung perempuan yang sebentar lagi akan masuk TK. 

Dia dan keluarga putranya itu tinggal bersama di kolong jembatan.

Baca Juga: Perempuan Marjinal Kota: Kemiskinan Seperti Nyawa yang Tak Pernah Lepas dari Kehidupan Mereka
(Anak, menantu dan cucu-cucu Sukarti yang tinggal di kolong jembatan di Semarang. Dok/Pribadi Farras Pradana)
(Anak, menantu dan cucu-cucu Sukarti yang tinggal di kolong jembatan di Semarang. Dok/Pribadi Farras Pradana)

 Selama hidup di kolong jembatan, Sukarti mengalami berbagai peristiwa. Salah satunya, tempatnya tinggal dan berjualan itu pernah diobrak-abrik Satpol PP. Rumah yang terbuat dari kayu dibongkar, pakaiannya dibakar, gerobak jualannya diangkut semua. Alasannya, tempat itu ingin dibuat taman.

Perseteruan terjadi. Anak semata wayangnya yang laki-laki, bahkan menantang duel orang-orang yang datang mengacak-acak tempat tinggalnya. Menyaksikan itu, Sukarti menangis.

“Orang kita ini jualan, bukan ngemis, bukan maling. Barang-barang diambil dan diangkuti. Pada tidak tahu rasa kasih sama orang ga punya,” katanya kepada saya.

Pasca penggusuran itu, dia dan keluarganya dibantu mendapatkan sewa unit rusun di daerah Genuk. Lokasinya jauh dari kolong jembatan Sukarno-Hatta, sekitar 6,5 kilometer, dan sewanya Rp 115 ribu per bulan.

Ya, Sukarti menyewa unit rusun itu, tetapi bukan dia yang mendiaminya, tetapi suaminya. Sehingga suaminya tidur di rusun saat malam. Pada pagi hari suaminya datang ke kolong jembatan, dan kembali ke rusun sekitar pukul 10.00 WIB. Ketika saya berbincang dengannya saat itu, dia mengatakan suaminya sedang di rusun mencuci baju.

Menurut penuturan Sukarti, unit rusun itu harus ditinggali. Sebab, jika tidak ditinggali, dia khawatir kunci unit rusunnya diganti oleh pengurus rusun. Dan, agar itu tidak terjadi, suaminya menjadi penghuni yang senantiasa tinggal di sana.

Dulu, keluarga anaknya juga tinggal di rusun dengan suaminya. Namun karena di sana, menurutnya masih desa, akses untuk mencari makan sulit, dan tidak memiliki kendaraan, putranya itu memutuskan untuk tinggal dengannya. Alasannya, di bawah kolong jembatan dekat dengan warung, atau lebih mudah untuk akses mencari rezeki. 

“Cucuku lahir di sini, (kolong jembatan—pen). Ari-arinya yang perempuan saya pendam di bawah beton penyangga jembatan, dan satunya yang laki-laki di rusun. Sehingga yang perempuan di sini kerasan,” katanya menerangkan alasan cucunya betah tinggal di kolong jembatan.

Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Sukarti jarang pulang ke rusun. Dia pulang hanya setahun sekali. Sehingga, suaminya pernah bilang kepada dirinya, “Sekali-sekali libur, orang kok jualan terus. Tengokin rusun.” Namun, nyatanya hidupnya lebih banyak dihabiskan di bawah kolong jembatan.

Menurutnya, di rusun panas, sementara di kolong jembatan dingin. Ucapannya itu bukan omong kosong, saat aku datang ke kolong jembatan itu, suasana di kolong jembatan memang sejuk. Berbeda dengan keadaan di luar yang panasnya menyengat—apalagi untuk perantau seperti saya yang belum terbiasa. 

Di bawah kolong, panas terik matahari tertutup oleh jembatan yang melintang di atas kepala, dan udara berhembus melewati kolong.

(Perabotan milik keluarga Sukarti. Dok/Pribadi Farras Pradana)
(Perabotan milik keluarga Sukarti. Dok/Pribadi Farras Pradana)

 Hal lainnya yang kutau saat berbincang dengan Sukarti, hidup di kolong jembatan juga lumayan sulit dapat akses air dan listrik. Meskipun hidup di pinggir salah satu sungai besar yang membelah Semarang, tidak lantas membuatnya memanfaatkan airnya yang kotor itu. 

Untuk itu, Sukarti memilih untuk membeli air dan menampungnya dalam dua tong plastik besar. Air itu dimanfaatkan untuk mandi dan memasak. Sementara untuk listrik, dia memanfaatkan aki untuk membuat penerangan di gerobak angkringannya kalau malam.

Apakah pernah malu tinggal di kolong jembatan? Aku sempat menanyakan hal itu kepada Sukarti. 

“Dibilang malu, ya rumahnya di sini. Cucu saya juga di sini bareng saya,” jawab Sukarti. 

Selama hidup di bawah kolong jembatan dekat sungai, banyak hal pula telah Sukarti saksikan. Dia pernah melihat seorang gali (preman–red) digebukin massa orang karena maling sepeda motor, maling ditelanjangi, orang gantung diri, mayat mengambang di sungai, sampai orang terseret arus sungai. 

Kejadian-kejadian seperti itu, selalu membuat Sukarti mengingatkan cucu-cucunya yang masih kecil. Dia melarang mereka jauh-jauh bermain. 

Kata Sukarti “Nanti bisa diambil orang gila.” Sebuah pesan yang dulu juga sama pernah ibuku katakan kalau aku keasikan main dan lupa waktu.

Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya

Sukarti dan keluarganya menjalankan usaha yang berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhan hidup. Yang paling tampak adalah angkringan. Usaha yang diteruskannya dari ibunya itu menghasilkan pendapatan yang baginya sudah lumayan, meskipun, katanya, untuk mendapatkan Rp 70-80 ribu itu susah. 

Meski tak besar, yang terpenting baginya, dia dapat memutar modal agar usaha tetap berjalan. Sukarti juga termasuk orang yang selalu berusaha menghindari utang, agar tidak makin susah hidupnya.

“Tak jalani dengan makan sama sambal, tetap tidak bisa kaya. Mau meraih bulan tidak bisa. Tapi, kalau meraih tai cepat,” katanya, dan aku pun terkekeh.

Selama berjualan di kolong jembatan, dia pernah hampir diusir oleh lurah setempat. Namun dia menolak. Katanya, “Lurahnya nyuruh tidak boleh jualan di sini. Tapi, aku ndableg. Aku jualan kok, bukan maling.”

Sukarti berjualan ditemani tiga anjingnya. Satu anjing yang besar—mungkin induk, dan dua anjing kecil. Anjing-anjing itu setia menemaninya dan membantu menjaga angkringan, jika dia tertidur. Anjing-anjing itu akan menggonggong jika ada orang yang datang, dan dia akan terbangun.

Berbeda dengan Sukarti dan suaminya yang bekerjanya dengan menetap, hanya di kolong jembatan. Asep—anaknya bekerja dengan berpindah-pindah. 

Asep yang sekolah hanya sampai kelas 4 SD itu, bekerja sebagai pengamen. Dia biasa berangkat pukul 4 sore, ke arah Tlogosari, Sayung, Mrangen, dan tempat lainnya yang jauh dan pulang sekitar pukul 10 malam. Biasanya dia bisa membawa uang kadang Rp 100 ribu, kadang Rp 150 ribu, bahkan sampai kadang Rp 180 ribu.

Sebelum mengakhiri kisahnya dan keluarganya, Sukarti menyampaikan sebuah pesan kepadaku—irisan antara doa dan kenyataan yang harus dihadapi:

“Yang penting aku diberi sehat. Aku miskin nggak papa, yang penting sehat. Mati, dunia tidak dibawa. Yang penting sehat, mulutnya mau makan. Yang aku minta seperti itu, nggak ada halangan apa pun.”

Farras Pradana

Sedang merantau di Semarang. Dia sudah menerbitkan kumpulan cerpennya Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!