Bagaimana Rasanya Peringati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Di Tengah Konflik di Gaza?

Saat ini, perempuan hamil di Gaza ada sekitar 50.000 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 5.522 orang diprediksi yang akan melahirkan di bulan Desember 2023.

Laporan UN Women per 11 November 2023 itu menunjukan sedikitnya dua hal. Pertama, genosida di Gaza terhadap warga perempuan yang jumlahnya 1% lebih dari warga laki-laki—mereka beresiko melipatgandakan kematian manusia, bila menyasar perempuan hamil. 

Kedua, peristiwa Gaza juga menuntut kita memperluas cakrawala definisi kekerasan fisik, pisikis, seksual berbasis gender pada Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang dikeluarkan PBB. Hal itu mengacu pada bentuk kekerasan baru, yaitu dihentikannya, dirusaknya, sumber air, sumber listrik, dibomnya rumah sakit—yang mengakibatkan tidak tertolongnya ibu hamil dan melahirkan, bahkan menjadi bagian dari yang dimusnahkan – dibom.  

Dan ya, up date UN Women juga menyebutkan 7.533 perempuan telah dibunuh melalui serangan Israel. 2.056 perempuan dipaksa menjadi kepala keluarga, akibat suami mereka dibunuh. 788.800 perempuan dan anak-anak perempuan saat ini juga meninggalkan rumah mereka dan menjadi pengungsi. 

Nyawa satu orang perempuan di Gaza sama harganya dengan  nyawa kehidupan sedunia. Nyawa satu orang perempuan Palestina harganya sederajat dengan nyawa satu orang Perempuan Israel. 

Kebrutalan Zionis: Mimpi Buruk para Ibu Sedunia

Kawanku mengalami kesulitan tidur, sejak genosida berlangsung di Gaza. Ia seorang ibu dengan satu balita. Ia berkewarganegaraan Filipina dan tumbuh besar dalam tradisi Katolik. Laman facebooknya dipenuhi postingan untuk memberikan dukungan kepada warga Palestina.

Terutama, postingan balita dan anak-anak yang bertahan di bawah kolonialis  Israel.  “Aku tahu, mengikuti pemberitaan di Gaza sungguh mengerikan. Tapi aku tak bisa menghentikannya. Aku tak dapat membayangkan bagaimana bila kengerian itu, menimpa anakku.” 

Solidaritasnya terhadap pendertitaan umat manusia berkelindan dengan kekhawatirannya sebagai ibu, terhadap anak-anak di Gaza, anak kandungnya, dan anak bangsa-bangsa di masa yang akan  datang. Aku memahami kegelisahannya. Aku sendiri butuh mempersiapkan kondisi mental yang prima untuk menelusiri situasi Palestina dalam penulisan artikel ini.

Apa yang dikhawatirkan temanku, tidak menutup kemungkinan menjadi nyata, bila kita semua tidak menunjukan perlawanan sebaik-baiknya terhadap apa yang sedang berlangsung di Gaza. Suatu kekerasan global sistemik yang dimanipulasi sedemikian rupa dan normalisasi genosida oleh mereka yang berdiri bersama pemerintah Israel.

“Di negaraku, hampir tidak ada pemberitaan langsung dari lapangan, sebagaimana pemberitaan di Indonesia. Kami mengetahui situasi Palestina dari berita yang sudah diolah. Kami tidak melihat apa yang sebenarnya sedang berlangsung,”  keluh temanku. 

Baca Juga: Aktivis Serukan Gencatan Senjata dan Akhiri Genosida di Gaza 

Aku mencoba memahami Filipina yang pernah dijajah dan dalam geoplitik masih sanggat dipengaruhi Amerika Serikat.

“Aku tidak terlalu tahu tentang genosida terhadap Yahudi. Tapi aku melihat apa yang sedang berlangsung di Palestina. Itu bukan perang antara Hammas dan tentara Israel, itu  genosida yang tidak dapat kita terima,” tutur temanku.

Ya, aku mengerti negara-negara yang berdiri untuk pemerintah Israel  berupaya memframing genosida Israel terhadap Palestina sebagai luka sejarah akibat mereka pernah mengalami genosida. Bumi hangus Palestina mereka bela sebagai perlawanan terhadap antisemit.  Hammas dan lalu segenap warga Palestina diinterprestasi sebagai teroris.

Genosida terhadap Yahudi yang dilakukan pemerintah Hitler di German, hingga sekarang menjadi pengetahuan kelam dan ngeri dalam pikiranku. Tapi luka genosida terhadap Yahudi, kekecewaan terhadap antisemite, tidak dapat menjadi pembenar apalagi pengimbang dengan genosida yang saat ini dilakukan terhadap Palestina.

Tidak akan ada keraguan dalam cinta yang radikal: Bila nurani kita menolak genosida di German maka sebanding lurus dengan menolak genosida di mana pun, termasuk di tanah Palestina. Bila kita menolak antisemit, maka sejalin dengan rasisme terhadap ras apapun, termasuk ras Arab (Palestin).

Ya, bisa jadi Yahudi di Israel juga ada yang memiliki ras Arab. Tapi kita tahu dalam politik kontemporer, ras dapat dipolitisasi sedemikian rupa untuk menyingkirkan kelompok tertentu.   

Bersyukur,  kawanku yang tumbuh dalam Katolik di negara yang dipengaruhi Amerika Serikat, tidak termakan cara berpikir mereka yang berdiri untuk zionisme. Barangkali,  karena ia mengikuti hati nuraninya, tubuhnya yang diberkati rahim dan nilai-nilai feminis yang dihayatinya sejak muda.

Semoga ibu-ibu yang lain juga dapat melihat genosida di Palestina melampaui agamanya, bangsanya, rasnya bahkan pandangan politik negaranya. Karena kekerasan global ini hanya dapat dibela dengan pandangan-pandangan interseksional tersebut.

Kekerasan Tradisional yang Dikukuhkan Kolonialisme dan Kekerasan Baru yang Brutal

Tanah Arab mewarisi sistem patriarki dan tribalisme yang buruk. Pada kontek kini timbul istilah isqat siyassy–pelecehan seksual terhadap warga Palestina karena alasan politik dalam bahasa Arab. 

Jasmina Vloreta V.D mengutif buku Militarization and Violence against Women in Conflict Zones in the Middle East A Palestinian Case-Study (2009) menuliskan Israel memobilisasi kekerasan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan Palestina dengan tujuan untuk memperkuat struktur kuasa patriarki sekaligus membantu pengusiran warga Palestina dari tanah mereka. 

Lebih lanjut Vloreta juga mengutif pernyataan Rasmea Odeh, tahanan Israel yang berbicara secara terbuka di pengadilan Amerika tentang bagaimana dia diperkosa oleh interogator intelijen Israel.

Odeh, yang ditangkap pada 1969 pada usia 19 tahun, melaporkan selama interogasinya, disiksa secara seksual dengan disetrum. Alat kelamin, payudara, perut, lengan, dan kakinya diikat dengan kawat, dan dalam keadaan bingung, dia diperkosa dengan tongkat, sementara ayahnya dipaksa menonton.

Kesaksian itu juga mengingatkan kita bahwa kekerasan berbasis gender dalam penguasaan Israel terhadap Palestina, bukan peristiwa tahun ini, melainkan berpuluh tahun lalu. Ya, sejak berpuluh tahun lalu, perempuan-perempuan Palestina hidup dalam kengerian ini, meski tahun ini kengerian itu semakin menjadi.

Kekerasan berbasis gender yang berakar pada tradisi patriarki itu juga kini diperburuk dengan cara pemusnahan secara perlahan. Dibomnya  rumah sakit-rumah sakit, dihancurkannya instalasi air, listrik dan internet. Dihadangnya bantuan-bantuan dunia yang akan memasuki Gaza. Sebagaimana tulisan di awal, hari ini warga dunia punya PR untuk menyelamatkan 50.000 perempuan yang sedang hamil di Palestina.

Israel tidak dapat lagi menipu dunia dengan tuduhan Hamas berkelindan dengan warga sipil untuk mengubah peperangan menjadi kejahatan perang.

Dukungan Perjuangan Interseksional Untuk Perempuan Gaza

“Ini bukan lagi persoalan agama,” kata adikku, saat kami menonton pemberitaan Gaza di Tivi. Teman hidupku  juga sudah tidak pergi ke kedai kopi tempat ia biasa bekerja. “Aku tidak dapat memberi dana untuk membantu warga Palestina, tapi setidaknya aku bisa melakukan boykot produk-produk yang mendukung Israel.” 

Memang kita tak dapat membaca penderitaan di Gaza dengan hanya dengan satu cara pandang. Ya, setiap dari kita memang dipanggil Gaza untuk berdiri dan melakukan apa pun yang mampu kita lakukan.

Terima kasih kepada kelompok feminis yang sudah melakukam aksi bersama untuk pembebasan Palestina, juga melakukan diskusi-diskusi solidaritas yang mendalam. Jabat erat kepada para seniman yang mulai bergerak melalui seni. Juga gerakan antar agama/keyakinan yang memberikan dukungan pada kemerdekaan Palestina.

Selamat hari anti kekerasan terhadap Perempuan sedunia. Semoga setiap gerakan perempuan di belahan mana pun di dunia, mengintegrasikan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina melalui hajat tahunan kita dalam memperingati-mendesak dunia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan.

Tiada peringatan hari anti kekerasan terhadap perempuan tanpa mengingat-mendukung  perjuangan sesama perempuan di Palestina.

Dewi Nova

senang belajar hidup bersama semesta, menulis puisi, cerpen, esai sosial dan naskah akademis. Bukunya antara lain Perempuan Kopi, Burung Burung Bersayap Air, Mata Perempuan ODHA, Di Bawah Kaki Sendiri: Pengabaian Negara Atas Suara Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama /Berkeyakinan, Akses Perempuan Pada Keadilan dan Mengkreasi Bisnis yang Produktif dan Inklusif Keragaman Seksual. Dewi dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!